Sebelumnya ...
Flashback
Kediamanan Wijaya
Pukul. 20:00 WKS
Di ruang keluarga kediaman kaluarga Wijaya sedang ada pertamuan, bukan pertemuan serius. hanya pembahasan tentang pesta kepulangan anak tertua dari pasangan Dirga dan Kiara, yang 10 tahun belajar dan meniti karir di negara paman sam sana.
Di sana sudah berkumpul kepala keluarga, kakek-nenek dan tentu saja dua anak keturunan si empunya rumah.
Dirga sebagai Daddy hanya bisa mengiyakan apa yang diusulakan sang istri, karena baginya jika istri dan seluruh keluarga setuju dan senang, itu juga artinya ia setuju dan senang.
Kiara sebagai ratu yang mengambil keputusan hanya menagih janji sang putra, yang katanya akan mengiyakan rencana perayaan saat sudah pulang yang artinya adalah saat ini.
Pesta akan di adakan di ballroom Hotel Luxury milik keluarga Wicakono, dengan Selyn si manager yang turun
langsung memantau persiapan acara.
Selyn tentu saja antusias, meski jabatannya baru jalan beberap bulan tapi ia yakin, hasil kerjanya nanti
melebihi Event organizer kelas atas, ia juga akan meminta bantuan teman dekatnya untuk membantunya.
Sedangkan kakek dan nenek mereka hanya bisa memantau dari jauh, tanpa turun tangan mengingat jika performa tubuh mereka sudah tidak seperti dulu.
"Jadi Mommy dan Selyn sudah mengurus ini, hanya tinggal menunggu waktunya, Gav sayang. Iya kan, El sayang?"
papar Kiara dengan antusias kemudian bertanya kepada anak bungsunya yang mengangguk, mengiyakan.
"Benar itu, Mas."
"Hn. Thanks Momm, El, semuanya," sahut Gavriel dengan senyum tipis, di sebelahnya ada Selyn yang duduk dengan senyum senang ke arahnya.
Flashback end
Saat ini ....
Kediaman Wardhana
Queeniera yang mendengar perkataan sang Mama melotot kaget, telinganya seketika berdenging saat mendengar nama Gavriel diucapkan oleh sang Mama.
Bagaimana bisa sang Mama mengatakan, jika Gavriel sengaja memberikan sepasang sepatu kepadanya karena ingin ia menghadiri pesta penyambutan kepulangan. Sedangkan dirinya, sama sekali tidak mendengar tentang
pesta dari lisan sahabatnya, Gavriel.
"Apa?"
"Eh!"
Bukan hanya Elisa yang memekik dan memandang Queeneira kaget, tapi juga Faro yang menatap anaknya dengan raut wajah penasaran.
"Loh, kenapa sayang. Kok kaget gitu?" tanya Elisa bingung.
"Eh! Em , itu, maksud Que-que, pesta penyambutan? Maksudnya pesta penyambutan buat Gavriel?" tanya Queeneira dengan nada canggung.
"Loh, kamu belum tahu?" tanya Elisa kaget, ia kira Gavriel memberitahu tentang pesta sekalian memberikan sepatu kepada anaknya. Tapi nyatanya tidak dan justru anaknya seperti kaget saat mendengarnya.
Queeneira menggeleng dengan bibir tersenyum canggung, menatap sang Mama dengan tangan mengusap pucuk hidung pelan.
"Onty yang merencanakan ini jauh-jauh hari, tepatnya sebelum Gavriel pulang. Mungkin Gavriel juga belum di beritahu, makanya tidak memberitahumu," jelas Elisa dengan pikiran positifnya.
Queeneira mengangguk mengerti dan hanya ber-oh ria, kemudian memutuskan untuk beristirahat lebih dulu, mengingat ia baru saja mengalami hal yang membuatnya letih lahir-batin.
"Um … Que istirahat dulu, Ba-Mah. Que ada pekerjaan penting, Que harus memeriksa hasil kerja tim kreatif buat konsep pemotretan kerja sama baru," jelas dan pamit Queeneira, menghindari kedua orang tuanya yang saat ini
sedang melihatnya penasaran.
"Ada kerja sama lagi? Sepertinya semakin maju saja," sahut Faro dengan nada senang, menatap putrinya dengan sorot mata bangga.
"Em ... Masih perusahaan kecil, belum yang besar sekelas perusahaan unkel," tandas Queeneira merendah, namun tetap saja sebagai seorang ayah Faro sangat bangga.
"Eum, dari yang kecil jika kita selalu rajin dan berusaha, akan menjadi besar dan tentu saja semakin sukses. Iya kan, Mah?" timpal Faro, kemudian bertanya kepada teman hidupnya yang mengangguk menyetujui.
"Benar, terbukti dengan butik Mama yang sekarang semakin maju. Mama dan Baba bangga denganmu," imbuh Elisa dengan senyum khasnya.
"Que-que yang beruntung memiliki orang tua seperti Baba dan Mama, love you all," timpal Queeneira, kemudian bangkit dari duduknya, untuk mengecup dan memeluk keduanya bersamaan.
"Love you too, Que."
Queeneira meninggalkan ruang tamu dan berjalan ke arah kamarnya, dengan menenteng paper bag dan juga tas berisi perlengkapan kerjanya.
Satu per satu anak tangga ia tapaki, dengan pikiran melayang entah kemana. Hingga tidak terasa ia sampai di depan pintu kamarnya, membuka pintu dan masuk dengan segera setelah menutup pintu pelan.
Ia meletakan tas dan paper bag di bawah kaki ranjangnya, sedangkan ia sendiri segera masuk kamar mandi, hendak membersihkan diri sebelum ia benar-benar tenggelam dalam pekerjaannya.
Queeneira yang memasuki kamar mandi, tidak memeriksa lagi handphone di tasnya yang beberapa bahkan puluhan kali berdering, kemudian berhenti dan berdering lagi dengan nomor sama, nomor yang belum tersimpan di
dalam jajaran kontak ponselnya.
Sekitar lima belas menit kemudian, Queeneira keluar dengan tubuh segar.
Tubuh dengan kulit putih sempurna nampak berbalut handuk, serta rambut yang ikut terbungkus dengan handuk lainya membuatnya nampak menggoda. kedua tangan pun terampil membuka dan mengeringkan rambutnya yang sudah setengah kering, sambil berjalan ke arah meja rias dan kemudian duduk menghadap cermin.
Di depan cermin, ia bisa melihat pantulan wajahnya sendiri, yang saat ini sedang menampilkan ekspresi asem.
Hum … Bagaimana tidak asem, kalau nyatanya ia lagi-lagi menjadi satu-satunya orang yang tidak tahu apa-apa tentang sahabatnya.
Kabar keseharian, tentang dia yang sedang apa di sana, sibuk apa, berita kepulangan bahkan pesta penyambutan pun ia menjadi orang terakhir yang tahu.
Itu pun dari kedua orang tuanya dan ia yakin jika bukan karena ia pulang ke rumah, ia juga tidak akan tahu apa-apa sampai hari pesta diselenggarakan.
Benar-benar menyebalkan, lihat saja aku tidak akan datang ke pesta penyambutanmu.
Dengan gerakan bar-bar, Queeneira kembali melanjutkan acara mengeringkan rambutnya, kemudian menyisirnya hingga rapih.
Berdiri dari duduknya, Queeneira berjalan ke arah ruangan penyimpanan bajunya untuk mengganti handuk dengan pakaian rumahannya.
Di tempat lainnya, tepatnya di gedung perkantoran milik keluarga Wijaya.
Gavriel berdecak sebal, saat panggilan telepon darinya sama sekali tidak di terima si empunya milik nomor. Dalam hati ia ingin sekali menemui orang yang dari tadi ia hubungi, namun sayang pekerjaannya sedang tidak
bisa di tunda.
Bahkan sebenarnya pun ia saat ini sedang mengerjakan pekerjaannya, dengan netra bolak-balik melihat layar laptop dan layar handphone bergantian.
Di panggilan entah yang keberapa Gavriel menyerah dan melempar asal handphonenya tanpa takut rusak.
Oh, sebenarnya jika rusak pun ia tidak perduli, ia hanya perlu membeli lagi dan jika rusak lagi ia akan kembali membelinya.
Sekalian menghilangkan jejak, saat ada beberapa pesan tidak enak untuk dibaca masuk di kotak pesannya.
Lupakan, saat ini ia hanya harus fokus dengan perusahaan dan juga seseorang yang dulunya manis sekarang berubah menjadi garang.
"Kemana dia, seharusnya dia sudah pulang ke kediaman Wardhana,kan."
Meskipun di luar ia tampak tenang, nyatanya dalam hati ia resah luar biasa.
Ia hanya ingin bertanya tentang hadiahnya, apakah sudah di lihat atau bahkan sudah di coba oleh Queeneira.
Bila perlu, ia ingin sekalian melihat bagaimana kaki jenjang sahabatnya berbalut sepatu heels tinggi darinya.
"Ah! Sial, membayangkannya saja membuatku ingin segera melihat langsung" batin Gavriel dengan perasaan tak menentu.
Kembali kepada Queeneira, yang saat ini sudah berpakaian rumahan, kaos longgar dengan bahu mulus yang terekspos, juga celana hot pants yang menjadi andalanya jika sedang dalam kamar, terlebih jika sedang ada di kediamanannya sendiri.
Mengelung asal rambutnya, leher jenjangnya semakin terlihat kemudian dengan segera membuka tas berisi laporan pekerjaanya, tanpa niat mengecek handphone yang ada di tas kecilnya.
Hingga ia pun larut dalam pekerjaanya dan entah berapa lama, sampai akhirnya matanya pun tidak sengaja melihat paper bag dari Gavriel yang isinya adalah sepatu, dengan merek yang kata Mamanya sepatu merek mahal, serta jenis limited edition.
Keningnya mengernyit memikirkan ingin diapakan sepatu itu nantinya.
Ia belum melihat jelas, tapi selera ia dan sang Mami dalam hal fashion hampir sama, jika menurut Mamanya bagus dan wah artinya benar adanya seperti itu.
Memutuskan untuk melihat sekali lagi sepatu itu, Queeneira melangkahkan kakinya mendekati ranjang, mengangkat paper bag dan membukanya segera.
Sepatu dengan merek mahal berwarna gold lagi-lagi terlihat oleh netranya dan benar apa kata sang Mama, jika selera fashion Gavriel sangatlah berubah.
Tapi Queeneira sudah terlanjur kesal, akibatnya ia pun mengelak dan tidak ingin mengakui, jika sepatu pemberian Gavriel memanglah sangat cantik.
"Tidak, kamu sama sekali tidak cantik," batin Queeneira sambil menatap sepatu tak berdosa itu dengan tajam.
Kesal dengan hadiah dari Gavriel, Queeneira kembali menyimpannya ke dalam paper bag dan meletakkannya di samping kaki ranjang, namun tidak lama saat ia kembali membuka untuk di pakainya segera.
Kini terpasanglah sepatu itu di kedua kaki jenjang Queeneira, yang segera berdiri di depan cermin dengan tubuh berputar kanan-kiri, memastikan dari setiap engel.
"Cantik," gumamnya tanpa sadar, kemudian menggeleng dan segera melepas sepatu itu.
"Ah! Apa yang tadi aku ucapkan, tidak kamu tidak akan aku pakai sampai kapanpun, titik," gerutu Queeneira sebal..
Tidak ingin lagi-lagi tergoda dengan rayuan sepatu cantik itu, Queeneira pun segera menyimpan kotak itu di tempat tersembunyi, di dalam lemari tempat ia menyimpan hadiah untuk Gavriel di empat tahun terakhirnya.
Benar, ia memang menyiapkan hadiah, namun sejak tahun ke-6 kepergian Gavriel tanpa kabar untuknya, ia sudah tidak mengirim hadiah-hadiah lagi untuk Gavriel.
"Diam disitu, aku akan kembalikan kamu kepada orang yang membelimu, paham," sewot Queeneira menunjuk sepatu itu kesal, kemudian menutup lemari, laku menyandar di daun pintu lemari dan helaan napas kesal terdengar setelahnya.
"Sialan, aku seperti orang gila, lihat saja Gavriel aku tidak akan mudah menerimamu lagi," janji Queeneira dalam hati.
Bersambung.