Flashback on
10 tahun yang lalu ...
4 April pertama dari kepergiannya
Hari ini adalah tepat hari ulang tahun anak pasangan Faro dan Elisa Wardhana.
Di kelas 2IPS1, sedang ramai siswa-siswi yang mengucapkan selamat ulang tahun, untuk salah satu teman sekelas mereka yaitu Queeniera Wardhana.
Senyumnya merekah saat menerima ucapan selamat, juga ada beberapa fansnya yang memberikannya hadiah.
Tapi, meskipun bibirnya tersenyum, nyatanya hatinya sedang tidak tersenyum.
Bagaimana ia mau tersenyum, jika ucapan selamat dari seseorang yang ditunggunya belum juga diterimanya.
Ucapan selamat sederhana pun tak apa, yang penting itu dari seseorang yang sangat dirindukannya.
Ucapan selamat dari sahabatnya, yang sudah tinggal beberapa bulan di Amerika sana.
Di sampingnya saat ini ada Ezra, sahabatnya yang sedang duduk dengan handphone di tangannya.
Ezra sesekali mengecek notif pesan yang ditunggu, namun sayang sama sekali tidak ada hingga bel pelajaran di mulai dan mereka pun terpaksa harus kembali memulai pelajaran.
"Mungkin dia sedang sibuk," ucap Ezra menenangkan saat itu, dengan Queeneira yang akhirnya mengangguk mencoba mengerti.
Tahun berikutnya ...
4 april ke-dua
Di sebuah kamar dengan aroma khas cherry blossom, ada si empunya kamar sedang duduk dengan seorang lainnya, yang sedang tiduran dengan laptop menyala.
Seseorang yang sedang tiduran adalah bungsu dari pasangan Wijaya, ia sedang mencoba menghubungi sang kakak via skype, berharap sang kakak menerimanya karena setahunya sang kakak tidak lepas dari laptop.
Beberapa kali ia mencoba dan beberapa kali juga tetap gagal, panggilan tidak di terima.
Menghela napas lelah, Selyn melihat ke arah mbanya, yang menatap banyak kado di atas meja dengan pandangan kosong.
Dari tahun kemarin, bukan kado yang diinginkan kesayangan Baba Faro ini, tapi sahabatnya yang yang absen mengucapkan sebaris kalimat selamat untuknya.
"Mba," panggil Selyn, namun hanya senyuman yang Queeeneira berikan, dengan kepala menggeleng sebagai tanda jika ia ...
"Mba, baik-baik saja."
Tahun ke-enam ....
Universitas kota S
4 april berikutnya
Di perpustakaan dengan berbagai macam aktivitasnya, ada seorang mahasiswi yang sedang fokus dengan pekerjaan dan tugas akhirnya.
Ini adalah ulang tahun ke-enamnya, ia menghindari orang-orang yang hendak memberinya selamat.
Umurnya saat ini sudah 22 tahun dan ia merasa jika ucapan selamat saat ini tidak terlalu penting lagi untuknya.
Tapi jauh di dalam lubuk hatinya, sebenarnya ia masih mengharapkan seseorang mengucapkan selamat kepadanya. Seseorang yang sangat ia harapkan dari enam tahun yang lalu, seseorang yang sangat mustahil mengecapkan selamat saat kirim pesan singkat pun tidak.
Apa hanya untuk mengirim sebaris kata kamu tak ada waktu, huem, Gavriel.
Lamunannya tercerai, saat merasakan getaran pada handphonenya. Dengan semangat dan harapan sia-sia, ia kembali menampilkan wajah suram saat pesan itu adalah pesan dari sahabatnya yang lain, yang mencarinya untuk merayakan pesta ulang tahunnya.
"Bagaimana aku akan berpesta, jika yang aku pikirkan adalah dia, Maaf."
Memutuskan untuk menghampiri sahabatnya, Queneira memutuskan untuk menjadika ini penantian terakhir kalinya, karena selanjutnya ia hanya akan menyerahkan semuanya kepada takdir.
Karena saat ini aku hanya bisa bertahan untuk memenuhi janji menantimu.
Flashback end
Saat ini ....
W&M Boutique And Photo Studio
Sepeninggalnya Gavriel dari dalam ruangannya, Queeneira terdududk dengan perasaan takut.
Bukan, bukan takut jika ia akan di sakiti oleh sahabatnya. Tapi lebih takut saat ia tidak mengenali sosok sahabatnya yang baru, sosok hangat yang di gantikan dengan sosok sombong sahabatnya, cintanya.
Duduk dengan tangan menutup bibirnya, Queeneira juga mengingat bagaimana ciuman tiba-tiba dari sahabatnya pada bibirnya.
Tangannya mengusap permukaan bibirnya dengan perlahan, ada berbagai rasa yang dirasakannya saat ini.
"Aku ambil canduku, bukankah sudah aku katakana jika suatu hari nanti, aku akan ambil apa yang seharusnya jadi milikku. Dan itu sekarang, maka bersiap lah."
Deg! Deg! Deg!
Queeneira meletakan tangannya di atas dada di atas jantungnya yang berdetak kencang.
Nada posesif yang digunakan sahabatnya jelas terasa di hatinya dan itu membuatnya merasakan perasaannya yang tidak mampu ia lukiskan.
Senang?
Tentu saja, tapi ...
Marah?
Itu juga yang ia rasakanya.
Lalu, bagaimana selanjutnya.
Apa yang ia lakukan, seperti apa sikap yang harus ia tunjukan nanti, jika kemarahannya saja tidak diperhatikan oleh sahabatnya.
Gavriel ...Aku membencimu.
Matanya melirik paper bag yang tadi dibawa oleh Gavriel, tepatnya hadiah dari Gavriel, dengan ucapan selamat yang sangat telat datangnya.
Jika saja ucapan itu ia terima sepuluh tahun yang lalu, mungkin ia akan menerima dan membalasnya dengan pelukan erat untuk sahabatnya.
Tapi lihat, bahkan ulang tahunya sudah lewat berapa waktu dan ia sudah terlanjur untuk tidak menantinya lagi.
Tangannya berpindah, menutupi seluruh wajahnya berharap isakannya tidak keluar, namun percuma saja karena butiran keristalnya sudah lebih meluncur bebas.
Hiks ... Bodoh, Gavriel bodoh.
Di lain tempat ....
Lampu lalu lintas saat ini sedang menunjukan warna merah, yang artinya berhenti.
Di belakang garis batas kendaraan, ada sebuah mobil dengan warna silver berlist biru. Di dalamnya, si pengendara atau juga Gavriel, melihat jalanan di depannya dengan perasaan marah.
Bagaimana bisa, sahabatnya yang dulu sangat menurut dengannya kini berani membantah perkataanya.
Ini memang salahnya, terlalu dingin dan tidak peduli saat ia tinggal di Amerika sana. Tapi, bukankah sudah ia katakan jika ia sendiri tidak yakin sempat memikirkan seseorang, saat ia sudah tenggelam dengan fokusnya dalam menggapai cita-cita.
Tangannya yang ada di atas kemudi stir mengepal, menahan perasaan marah yang sudah ia tahan dari awal melihat wanitanya dekat laki-laki lain.
Sialan, ini yang aku takuti, jika aku merasa memiliki hak atas seseorang.
Ini adalah salah satu alasannya, untuk tidak mengekang perasaan sahabatnya. Karena ia bukanlah orang yang mudah melepas, jika sudah ada pernyataan kepemilikan atas namanya.
Dan alasan lainnya yang belum bisa ia jelaskan.
Lagi pula sahabatnya sudah berjanji menunggunya, bukankah itu artinya sama saja dengan jika ia kembali maka Queeneira akan menjadi miliknya? Bukan kah begitu.
Lampu berganti menjadi hijau, dengan segera Gavriel menekan dalam gas mobilnya dan memindahkan persneling sehingga mobilnya mengeluarkan suara deruan, sebelum meluncur dengan kecepatan tinggi.
Brummm!!!
Wijaya Tbk
Mobil yang di kendarai oleh Gavriel akhirnya sampai, turun dengan segera Gavriel di sambut dengan petugas keamanan dengan sikap hormat, juga sapaan ramah untuk pegawai kantor yang baru beberpa hari ini bekerja di gedung baru perusahaan cabang.
Sekitar 300 kepala di bawah kepemimpinannya, jumlah yang akan semakin bertambah seiring perkembangannya.
Lift yang mengantarnya ke atas akhir terbuka, di depannya ada meja sekertaris yang masih kosong, belum sempat dicari olehnya saat ia merasa jika Aksa lebuh dari cukup untuk membantunya.
Daddynya menyarankan untuknya mencari seseorang lagi, untuk cadangan saat Aksa sedang ada pekerjaan lainya.
Dan sepertinya ia tahu, siapa yang bisa ia andalkan untuk menjadi sekertarisnya.
Nanti aku hubungi.
Melangkahkan kakinya ke arah ruangannya, pintu samping rungannya terbuka dengan Aksa yang keluar dari dalam dan membawa sebuah map, yang membuat senyum miringnya terbit seketika.
"Selamat siang, Bos."
"Hn."
Dengan Aksa yang mengekor di belakangnya, Gavriel memasuki ruangannya dengan Aksa yang menutup pintu rapat namun tidak meninggalkan debaman setelahnya
Kini ruangan dengan desain elegan khas Gavriel terlihat, ruangan dengan jendela besar di belakang kursi, juga rak dengan berbagai isi serta perangkat komputer di atas meja.
Gavriel duduk di kursi kekuasaanya, kemudian menatap Aksa dengan datar, pandangan mata yang di mengerti apa masksudnya oleh Aksa sebagai tangan kanan seorang Gavriel hampir 8 tahun ini.
"Laporannya sudah ada di sini semua, Bos," ucap Aksa dengan nada hampir sama datarnya dengan sang Bos.
Gavriel mengangguk singkat, kemudian memasang anting yang ia keluarkan dari saku celanaya, sebelum menghubungi seseorang untuk eksekusi.
"Hn. Mereka sudah memberitahu?" tanya Gavriel sambil menekan beberapa kode pada perangkat komputernya.
"Sudah, Bos."
"Bagus, setelahnya tunggu keputusan dia. Aku ingin lihat, bagaimana reaksinya," sahut Gavriel dingin.
"Apa tidak apa-apa, jika kita melakukan ini? Bagaimana kal-
"Kita hanya memulai peluang, bukankah walau bukan kita, banyak yang ingin memiliki pasar kecil untuk mendapatkan yang besar? Lagian aku hanya membantu mereka untuk menjadi perusahaan besar, tapi tentunya di bawah kekuasaanku," sela Gavriel tanpa melihat Aksa yang terdiam.
"..."
"Aksa, kamu sudah liat sendiri apa yang aku lalui 10 tahun ini. Yang aku tahu, jika kita tidak memulai untuk melangkah, bagaimana kita bisa sampai," lanjut Gavriel dengan nada datar, kali ini menatap Aksa yang mengangguk mengerti.
"Hn, aku mengerti," sahut Aksa, kemudian meninggalkan ruangan Gavriel saat Gavriel memulai obrolannya.
"Miss me, heum. honey,"
Gavriel mendengkus saat mendengar nada manis dari seorang wanita di sambungan Skype, yang sedang mereka lakukan saat ini.
"In your dream, and don't call me honey. I already have my own women, (Dalam mimpimu, dan jangan panggil saya sayang. Saya sudah punya wanita)" sahut Gavriel dengan nada sinis.
"Ha-ha-ha!"
Gavriel kembali mendengkus kali ini dengan decihan sinis, saat wanita lahiran campuran jepang ini malah membalasnya dengan gelak tawanya.
"Hai-hai, wakatta-wakatta ... Jadi ada apa?"
"Jadi sekertarisku, aku akan mengirim visa secepatnya."
Bukan permintaan tapi perintah yang dikeluarkan Gavriel, membuat wanita di seberang sana berdecih tak kalah sinis.
"Cih ... Tahu saja aku butuh pekerjaan, baiklah, tapi satu bulan lagi. Aku sedang ada pekerjaan dengan kakak yang lain."
"Hn. Aku tutup panggilannya," jawab Gavriel kemudian mengakhiri panggilan tanpa menanti jawaban dari lawan bicaranya.
Gavriel terdiam saat mengingat kilasan 10 tahun yang ia lalui, banyak yang mengira jika kehidupannya hanya seputar belajar dan bekerja. Tapi sebenarnya kenyataanya tidaklah begitu, ini di mulai saat ia sedang ada kerja sama di Jepang sana, dengan ia yang pulang memakai anting di telinganya sebagai simbol.
Memegang anting di telinganya, Gavriel hanya berharap kepulangannya benar-benar dengan kondisi damai, tanpa ada lagi bahaya di dalamnya.
Di balik usaha yang semakin maju, banyak perjuangan di dalamnya. Tidak ada yang namanya aman, saat sudah menyelam di dunia Daddynya.
Bahkan jika saja sang Daddy tidak ada organisasi pelindung, nyawa sang Daddy pun tidak mungkin aman sampai sekarang.
Terakhir sang Daddy bercerita, jika beliau hampir kehilangan nyawa saat insiden kecelakaan 24 tahun silam, begitu pula dirinya yang harus menutupi ini dari keluarga apalagi dari wanita yang dicintainya.
Awal dari segalanya, yang membuatnya berubah menjadi sekarang.
Pergaulannya, orang di sekitarnya juga luka yang ada di tubuhnya.
Bersambung.