Chereads / Goresan untuk Almeera / Chapter 9 - Nuansa Baru

Chapter 9 - Nuansa Baru

"Ra, jangan lupa yo. Nanti ada kelas jam 8 di ruang kelas Fatimah" ujar Nadia sembari merapikan buku-buku yang ada di rak nya

"oh iya nad makasih. udah diingetin" jawabku

"Iyo ra, podo-podo. oh Iyo, kanggo jadwal piket Ten ndalem, kamu kebagian hari Jum'at Yo Ra, jadi nanti semua urusan ndalem kamu yang ngurusin. tapi tenang, ada temennya kok. nggak kamu sendirian"

"iya nad, sekali lagi makasih ya"

" ya udah, aku duluan Yo Ra, aku mau piket dulu Ten ndalem, Assalamualaikum"

"iya nad, wa'alaikumussalam"

ya ini kesibukan baruku, aku harus siap menerima semua aturan di pesantren ini. diantaranya adalah kita harus memanfaatkan waktu yang ada semaksimal mungkin. pasalnya di pesantren ini banyak sekali kegiatan yang harus dilakukan, jika tidak mengikuti salah satu dari kegiatan tersebut tanpa suatu halangan apapun itu, sudah pasti akan kena takzir. Dan aku berusaha semaksimal mungkin, agar aku tak mendapatkan hukuman tersebut. Kulihat jam yang melingkar dipergelangan tanganku, waktu masih menunjukkan pukul 6 pagi, setidaknya masih ada waktu 2 jam sebelum kelas dimulai. aku memutuskan untuk mencuci bajuku, ya mumpung masih ada waktu luangnya.

Aku membawa setumpuk baju-baju kotorku, ke tempat cuci pondok ini, tepatnya di bagian belakang, sebelah kamar mandi.

"oh, ini ya yang sok caper sama keluarganya Abah" ucap seseorang

"Maaf, maksud anda apa ya?" tanyaku

"alah, udah. jangan sok nggak tau deh, kamu itu modus kan sama keluarganya Abah, supaya kamu bisa dijodohin sama Gus Thoriq" bentak perempuan itu

" Astaghfirullah, apa maksud kamu ngomong seperti itu, Gus Thoriq siapa. aku juga nggak kenal siapa dia"

" Udah deh, nggak usah sok polos, asal Lo tau ya, aku itu santri kesayangannya Abah, dan seisi pesantren ini juga sudah pada tau kalau aku tuh bakal dijodohin sama Gus Thoriq" bentaknya

" Aku peringatkan lagi ya sama Lo, jangan sok sokan caper lagi sama keluarganya Abah, kalau mau hidup Lo tenang di pesantren ini" sambungnya sambil berlalu

" Astaghfirullah, kok gini amat ya, udahlah bodo amat, lagian aku juga nggak kenal siapa itu Gus Gus tadi"

***

senyum cakrawala masih menghiasi di hari ini, tapi sayang, hatiku tak seperti cakrawala yang tersenyum hangat. Saat ini, hatiku telah dirundung kemalangan. Aku tak menyangka, jika di pesantren pun masih ada orang yang punya sifat seperti itu. Kukira di tempat suci seperti ini tak mungkin ada orang yang seperti itu. tapi ternyata anggapanku salah. Sejujurnya, aku belum mengetahui siapa itu Gus Thoriq, dan apa kaitannya dengan mba Kay. ini terlalu rumit jika harus diutarakan.

" Ra, kok ngelamun to, enten nopo to?" tanya Nadia sembari meletakkan kitab di atas meja.

" iya Ra, kamu kenapa. kok kayak masih ada pikiran gitu?" timpal Fathin

" nggak papa kok nad, thin. aku cuman kangen aja sama orangtuaku." jawabku penuh kepalsuan.

(maafkan aku nad, tin. Aku tak mau kalian terlalu kepikiran apa yang sedang aku rasakan saat ini. Biarlah aku memendamnya sendiri)

" oh iya Ra, inget ya. kalau ada apa-apa jangan sungkan untuk cerita ke kita." jelas Fatin

"iya Ra, Ojo sungkan sungkan cerito Yo" sambung Nadia.

ya saat ini, kami sedang berada di ruang kelas Fatimah. Jangan salah ya, dengan nama Fatimah. Fatimah di sini bukan berarti nama orang, tetapi nama ruang kelas. Karena di Kelas ini, kita belajar tentang akhlak. Agar bisa memiliki akhlak seperti Fatimah Az-Zahra.

Tak selang beberapa lama, Ustadzah Aisyah masuk dalam kelas. Seketika kelas yang tadinya riuh bak pasar. Kini menjadi sunyi. Semuanya telah duduk manis pada deretannya masing-masing. Tatapanku masih fokus pada ustadzah Aisyah, jika dilihat lihat usianya tak jauh dari Ning Kayla. Memiliki paras cantik, kulit putih bersih. Sungguh sempurna.

"Assalamualaikum" salam Ustazah Aisyah

"Wa'alaikumussalam warohmatullahi wabarokatuh dzah" Jawab kami serempak

Ustadzah Aisyah mulai memandang ke sekeliling ruangan itu. Menatap setiap inci wajah santrinya. Mungkin ini caranya dalam mengabsen atau hanya sekadar ingin mengedarkan pandangannya saja. Tatapannya mulai terfokus padaku, seketika aku menunduk takut.

" Anti, yang duduk di sebelah Nadia, santri baru itu kan?" Tanyanya, sembari menunjuk ke arahku

" Iya. . . zah," jawabku dengan gemetar.

"Boleh maju ke depan, untuk perkenalan diri. Mungkin di sini ada yang belum mengenalmu" Pintanya

" Baik zah,"

Aku mulai beranjak dari tempat dudukku, dan melangkah menuju ke depan. Sesekali aku menatap Nadia, dan Fatin, mereka tersenyum padaku. Seolah mereka mengerti apa yang aku rasakan saat ini. Tentu saja gerogi berada di depan santriwati sebanyak ini. Ya, memang dalam kelas ini terdapat banyak santriwati. Bahkan mungkin bisa di katakan seluruh santriwati berada dalam ruangan ini. Karena memang dalam kelas Fatimah ini semuanya harus mengikuti, bisa di katakan seperti kajian akbar mingguan.

Bibirku mulai berucap, memperkenalkan diri di hadapan santriwati, dan Ustazah Aisyah. Awalnya memang sulit sekali untuk mengawali sebuah kata. Tapi akhirnya, aku bisa mengucapkannya dengan lancar.

"salam kenal Ara, semoga betah ya. oh iya nanti kalau ada sesuatu yang belum kamu mengerti, bisa tanya sama Sela ya, dia lurah pondok santriwati di sini" ujar ustazah Aisyah sembari menunjuk ke arah seorang perempuan.

"baik zah," jawabku

"ya udah, silakan. kamu boleh kembali ke tempat dudukmu"

"baik Bu"

Pikiranku masih menerka-nerka, jadi perempuan yang tadi berperilaku seperti itu adalah Sela, lurah pondok di sini. Tapi kenapa perilakunya seperti itu. Mataku tak sengaja menangkap sosok perempuan yang di tunjuk ustazah Aisyah tadi, aku hanya tersenyum melihatnya. Dan, lagi-lagi dia membalas dengan tatapan sinisnya.

"Baik mari kita lanjut kajiannya, pertemuan kali ini kita akan mengulas kembali bab tentang macam-macam Air".

Ustazah Aisyah mulai menjelaskan materi. Aku menyimak dengan seksama. Aku merasa insecure di sini. Ternyata ilmu pengetahuan agama yang aku miliki masih sangat-sangatlah minim. Aku bersyukur, masih diberi kesempatan untuk menambah ilmu di sini. Khususnya mendalami ilmu agama. Meskipun awal-awal aku merasa tidak setuju. Tapi, akhirnya aku mengerti. Kenapa ayah dan ibu memasukkan aku ke dalam sini. Karena mereka tahu, aku masih amat kurang dalam hal agama. Aku jadi merindukan mereka. Semoga Allah selalu menjaga mereka di sana. Dan, semoga cepat kembali lagi ke tanah air.