Chereads / Wisteria - Cinta Sang Penguasa (re-published) / Chapter 2 - Misteri Gedung Timur

Chapter 2 - Misteri Gedung Timur

Chika menghela napas. Sudah lama ia tidak se-nervous ini, seperti saat ia mengenalkan diri pada Tante Bunga untuk tinggal bersama.

Semua mata memandang Chika, ingin mengupas kepribadian murid baru yang sedang berdiri di depan kelas. "Hai, salam kenal. Gue Chandrika Angela. Panggil aja gue Chika," ucapnya sambil mengepal kuat.

Berbagai macam reaksi muncul dari teman-teman di kelas barunya. Beberapa cowok yang duduk di pojok belakang bersiul menggoda, diikuti tawa keras karena sesuatu yang mereka anggap lucu. Ada juga yang menatapnya datar, tanpa ekspresi. Beberapa cenderung tidak peduli dan lebih milih nge-Date dengan buku cetak masing-masing.

"Kamu boleh duduk, Chika." Cewek itu mengembuskan napas lega setelah dengar perkataan Bu Ina, wali kelasnya di X MIPA-3.

"Baik, kita mulai pelajaran. Semuanya buka buku paket kalian halaman 56!" Bu Ina berbalik. Ia mulai memenuhi papan putih yang menempel di dinding kelas dengan pengetahuan biologinya.

"Psssttt! Woi!" Chika menoleh ke cewek teman sebangkunya. "Anak baru, nama lo Chika, kan?" Tidak perlu Chika jawab, cewek itu langsung lanjut bicara, "kenalin, gue Ayu Darmaya. Tapi, gue dipanggil Dora sama anak sekelas. Lo boleh ketawa karena, Ya! Gue penggemar Dora, si anak petualang yang ada di teve itu. Lo liat sendiri, kan? Tas pink dan model rambut gue udah sama kayak tuh bocah. Tapi sayang, gue nggak punya monyet. Apalagi yang pake sepatu boots merah."

Chika berusaha menahan tawa.

"Lo pindahan mana?"

"SMA Gading Emas. Lo tahu, kan? Yang di Bandung itu."

"Oh... lo anak Bandung?"

Chika menggeleng pelan. "Bukan, gue asli Jakarta. Tapi, sempet tinggal di Bandung selama sepuluh tahun."

"Lo tinggal sama tante lo? Emang Bonyok (Bokap dan Nyokap) lo mana?"

"Mereka udah lama nggak ada."

Dora sontak menutup mulut dengan satu tangan. "Oops... sorry..."

Chika tersenyum kecil. Enam tahun jadi anak yatim piatu, sudah cukup menempa hati cewek itu sekeras baja. "Oh iya, Dora. Lo udah sekolah di sini sejak awal semester, kan?"

Dora mengangguk.

"Lo tahu gedung timur?" tanya Chika lagi.

Wajah Dora memucat. Keringat dingin mengucur di pelipis. Pemandangan yang cukup untuk membuat kedua alis Chika bertaut heran. Terutama ketika Dora gelagapan melihat ke sekeliling, memastikan tidak satu pun yang akan mendengar percakapan mereka. "Lo tahu dari mana?" bisik Dora takut-takut.

"Oh... gue..." Chika tidak lanjut bicara. Apa yang harus ia katakan? Jujur dan bilang kemarin ia tersesat ke gedung itu? Ayolah, ia tidak bodoh. Hanya menyebut gedung itu di depan Dora saja, sudah membuat cewek ini begitu ketakutan. "Gu-gue baca dari kertas yang dikasih Pak Budi." Ia tidak berbohong, kan?

Dora mengembuskan napas lega. "Oh.... gue pikir lo punya masalah sama salah satu anak di gedung itu." Sangat pelan. Bahkan, nyaris tidak terdengar jika Chika tidak memiliki pendengaran tajam.

"Lo tahu gedung itu?" tanya Chika dengan sangat hati-hati.

Dora mendekat ke arah Chika. Berbisik sangat pelan agar hanya cewek cantik itu yang mendengar. "Chik, SMA di sekolah ini, tiap angkatan punya gedung masing-masing," ucap Dora penuh ketegangan sampai membuat Chika menelan ludah. "Lo tahu gedung di deket gerbang masuk? Itu gedung selatan, gedungnya kelas XI. Gedung barat yang kita tempatin sekarang, itu gedung kelas X. Nah, kalo gedung timur yang lo maksud—"

"Gedung kelas XII?" timpal Chika.

Dora mengangguk takut, membenarkan ucapan Chika.

"Terus, emang kenapa kalo tuh gedung punya anak kelas XII? Kok, sampe segitunya kita dilarang masuk ke gedung itu? Emang kalo gue masuk, bakal terjadi sesuatu?"

"Lo masih baru sih, Chik. Jadi, lo belom tahu sistem kekuasaan yang ada di sekolah ini."

"Maksud lo?" Chika memicing.

Lagi-lagi Dora menoleh ke kanan-kiri. Saat teman-teman sekelasnya sedang asik mendengarkan celotehan Bu Ina, Dora lanjut cerita, "anak kelas XII yang ada di sekolah ini, beda sama anak kelas XII bayangan lo."

Dora menarik napas panjang. "Hampir semua anak kelas XII di sini, anak orang kaya. Kayak di drama-drama gitu. Kebanyakan orang tuanya pada sibuk, nggak ada waktu buat nunjukin kasih sayang ke mereka. Anak kurang perhatian suka cari pelampiasan, kan? Temperamen mereka buruk. Parah malah. Dipanggil ke ruang BK udah hal pokok. Skorsing jadi liburan buat mereka. Lo tahu nggak, empat bulan lalu, gedung SMA nggak dipisah-pisah kayak gini. Gedung barat, timur, atau selatan, semua gedung milik bersama. Tapi...."

"Tapi...?" Chika yang sudah tidak sabar mendengar kelanjutannya, menggigit bibir bawah kuat-kuat.

"Waktu itu, bagi anak kelas X sama XI, tempat ini bukan sekolah. Tapi, NERAKA! Dalam sehari, bisa lebih dari 10 orang yang jadi korban. Anak-anak cowok berangkat pagi seragam lengkap, pulang sore bisa cuman kaos kutang! Kalo buat cewek, kudu ikhlas jadi gulingnya anak-anak kelas XII. Peluk sinilah, nemplok sana. Belom lagi anak-anak kelas XII yang betina. Wuih... kalo merasa ada cewek yang resek, dengan senang hati mereka adain pangkas rambut gratis sampe gundul."

Mulut Chika ternganga. "Mereka... bullying?" tanya Chika lirih. Dora mengangguk, membenarkan omongan Chika.

"Loh? Kok, lo pada bego, sih? Kenapa nggak lapor Pak Budi?"

"Nggak segampang bayangan lo."

"Kenapa?

"Siapa juga yang berani lapor? Mereka anak pengusaha sukses. Lah, kita cuman rakyat jelata. Kalo mereka ngebuat kita keluar dari sekolah doang sih, masih mending. Masalahnya, bisa-bisa keluarga berantakan gara-gara usaha ortu diancurin. Money can do everything, iya nggak?" Dora mengangkat alis.

"Lagian ya, Chik, gue rasa guru-guru sebenarnya udah mulai curiga. Cuman nggak ada bukti. Soalnya aksi mereka kagak ada yang dilakuin di depan guru. Makanya yang bisa guru-guru lakuin buat ngelindungin kita ya, ngejauhin kita dari anak kelas XII. Gedung dipisah. Aktifitas juga dipisah. Bahkan, kita nggak pernah upacara bareng anak kelas XII lagi."

Chika meringis. Merinding. Ngeri banget, sumpah.

"Anehnya ya, mereka tunduk banget sama kasta yang lebih tinggi," ucap Dora lagi.

"Kasta?" kedua alis Chika bertaut.

"Mereka nggak berani ngelawan orang yang lebih berkuasa. Berkuasa dalam hal harta dan power. Lo tahu, nggak? Di sekolah ini, ada yang dipanggil kaisar dan permaisuri."

Chika terkekeh geli. Seketika Dora berdecak kesal. "Kok, lo malah ketawa, sih?"

"Sorry, Dor. Abis lucu, sih. Emangnya ini komik kerajaan?"

"Jangan ngomong sembarangan lo meskipun di kawasan kelas X! Kadang-kadang ada pengkhianat. Bisa – bisa, ucapan lo dilaporin buat carmuk (cari muka) sama anak kelas XII."

"Oh, ya?" Chika melotot kaget. Ia menutup mulut dengan kedua tangan. Kemudian, ia melirik seisi kelas untuk memastikan tidak ada yang mendengar ucapannya. Setelah merasa aman, ia mengembuskan napas lega. "Emangnya siapa sih, si kaisar sama permaisuri ini?"

Dora menurunkan volume suara, semakin memperkeras usaha Chika untuk memasang telinga. "Yang dipanggil kaisar, cowok kelas XII. Orang terkaya, terlebih lagi ter-HOT di sekolah ini. Namanya... Ravelio Leoniel!"

Buset, ribet amat namanya!

"Orang bule?"

"Bukan! Biasa, anak kota. Semua orang takut banget sama si kaisar. Bahkan menurut rumor yang beredar, lo kudu nundukin kepala kalo kaisar lewat di depan lo."

Chika mengerutkan kening. Sama sekali tidak paham jalan pikir siswa-siswi di sekolah ini. "Terus, si permaisuri siapa?"

"Nah, itu dia! Sampe sekarang posisi itu masih kosong."

"Kenapa?"

"Permaisuri itu pendamping kaisar, kan? Cuman kaisar yang berhak nentuin siapa cewek yang jadi permaisuri. Banyak banget deh, yang ngincer posisi itu. Lo bayangin aja! Posisi permaisuri, posisi yang berada persis di sebelah kaisar. Kurang tentram apa hidup lo nanti?"

"Ya, udah. Deketin aja sono si kaisar. Siapa tahu dia kepincut sama lo," ucap Chika santai.

Dora kontan melotot. "Lo pikir segampang itu? Sebelum kaisar kepincut, gue udah ko-it duluan kali. Apalagi sama Kak Luna."

"Kak Luna?"

"Iya, cewek paling cantik di kelas XII. Menurut gosip, si Kak Luna ini permaisuri masa depan. Apalagi dia cewek yang selalu gelayutan di lengan si kaisar."

"Mereka pacaran?"

"Nggak kayaknya, deh. Atau pacaran, ya? Gue juga nggak tahu. Si kaisar misterius banget, sih."

"SIAPA YANG MISTERIUS?"

Chika dan Dora sontak terlompat kaget. Di depan meja mereka, Ibu Ina berdiri dengan wajah super gualak! Matanya melotot. Kedua tangannya terlipat di depan dada. Tidak lupa sambil mengetukkan sepatu hak hingga mempertegang suasana.

Mampus! Demon Queen! jerit Chika dalam hati.

"Chandrika! Ayu! Ibu perhatiin dari tadi kalian ngobrol terus. Nggak keberatan kan, kasih tahu kami apa yang kalian omongin?" tanya Bu Ina yang lebih mirip perintah.

Cerita isi obrolan tadi di depan kelas? Wih... kagak ada pilihan bunuh diri yang lebih kerenan dikit apa?

"Kalian nggak ada yang mau cerita?" tanya Bu Ina galak.

Chika dan Dora hanya bisa menunduk. Sesekali mereka bertukar pandang, siapa tahu teman senasib mempunyai ide untuk keluar dari situasi mematikan ini.

Bu Ina mengangguk-angguk. "Baik, kalo kalian tidak mau cerita, kalian harus terima oleh-oleh dari saya. Saya mau kalian berdua, ringkas seluruh Bab 6 buku paket Biologi. Tulis tangan! Kumpulin besok paling lambat istirahat makan siang. Mengerti?"