Happy reading,
Louise pov,
Sinar matahari menembus dari balik tirai jendela kamar, menerpa wajahku hingga aku merasa sedikit terusik. Tak lama kemudian bunyi jam beker yang berada di atas nakas berdering menganggu mimpi indahku.
" Aish! jam berapa ini?" gerutuku kesal,
Setelah itu aku memilih meninggalkan kasur empukku, lalu melangkah ke kamar mandi untuk membersihkan diriku namun sebelumnya aku sempat mematikan suara jam beker itu. Hari ini aku memilih mengenakan gaun santai berwarna putih yang sudah disediakan para pelayan.
Dan kubiarkan saja rambut pirangku tergerai bebas. Aku menuruni tangga untuk menuju ke arah ruang makan, karena sepertinya cacing diperutku meronta minta di kasih makan.
Saat melewati lorong yang menuju ke arah ruang makan, aku melihat sebuah pintu geser yang menuju ke arah kolam renang. Tiba - tiba aku terkejut melihat pemandangan yang disugguhkan kepadaku, tatapan matanya yang tajam seolah menarikku ke dalam pusaran kegelapan tanpa batas. Pipiku terasa panas, lidahku kelu tak mampu mengucapkan satu katapun. Apa yang sebenarnya terjadi?
Kedua tanganku mengepal erat menyalurkan rasa yang kurasakan. Sejujurnya aku bingung, aku membencinya karena dia berhubungan dengan penembakan yang terjadi terhadap daddy dan pria itu juga yang membunuh teman - temanku, ya.. team pertama ku!
Tetapi aku juga tidak bisa memungkiri bahwa aku merasakan kupu - kupu berterbangan dan menari di dalam perutku, saat mataku bertabrakan dengan matanya yang tajam. Sejak hari dimana terakhir ia mengunjungi kamarku aku mulai terus memikirkan sosoknya.
" Apa yang harus ku lakukan? " teriakku dalam hati.
Wajahku mungkin sudah terlihat seperti kepiting rebus melihat sosoknya yang hanya mengenakan handuk putih, handuk tersebut melilit erat di tulang pinggulnya. Menampakan garis yang indah dan kokoh. Aku tak bisa sedikitpun mengalihkan pandanganku, terlalu indah jika disia - siakan.
Pada akhirnya pria itulah yang lebih dulu membuang pandangannya, sehingga akhirnya aku dapat mengerjapkan kedua mata. Ia melangkah perlahan mendekatiku membuat jantungku berdetak cepat, keringat dingin membasahi punggungku.
Namun ia dengan acuhnya melewatiku begitu saja, tidak sedikitpun melirik ke arah aku berdiri, seolah aku tidak ada dihadapannya. Walaupun begitu mataku tidak bisa berhenti untuk melihat dan mengikuti sosoknya hingga menghilang dari pandanganku,
Entah mengapa di hati kecilku terselip kekecewaan yang tidak dapat kujelaskan, aku memutuskan melanjutkan langkah kakiku ke ruang makan, kejadian barusan membuatku tidak bersemangat seperti sebelumnya.
Aku memakan sarapanku dengan perlahan berharap ia akan datang untuk sarapan bersamaku. Lagi - lagi aku harus menelan kekecewaan, ternyata dia memilih untuk tidak sarapan dan langsung pergi meninggalkan rumah, dari mana aku tahu? Jelas aku mendengar bunyi suara mobil dari arah luar yang semakin lama semakin hilang.
Louise pov end
***
Louise memutuskan mengisi waktu luangnya dengan bermain piano dengan satu tangan. Karena tangannya yang lain belum pulih, Ia akan menunggunya pulang, dan mencoba memberanikan dirinya untuk menemui Ritz.
Ia sadar bahwa ia bukanlah Louise yang dulu angkuh, dan manja. Nona muda yang berani melakukan apapun, tetapi semuanya hilang setelah kejadian waktu itu.
Jujur saja Louise mengakui saat ia bertemu Davi, ia merasa kesal karena pria itu mencium seenaknya. Namun ia tidak bisa memungkiri bahwa hatinya berdetak kencang saat itu dan kali ini saat ia bertemu Ritz, ia juga tidak bisa berbohong bahwa ia terjerat oleh pesona Ritz. Louise juga merasakan jantungnya berdetak lebih kencang saat menatap mata berwarna dark brown milik Ritz.
Ketika malam hari tiba..
Louise menolak berulang kali untuk makan malam, ia memilih mondar - mandir di kamarnya. Berulang kali Bibi Iori mengetuk pintu kamarnya berusaha mengingatkannya untuk makan malam.
Tok! Tok! Tok!
" Ada apa Bi? " tanya Louis setelah membuka pintu kamarnya.
" Nona, ini saya bawakan makan malamnya biar Nona bisa makan di kamar " jawab bibi Iori dengan sopan.
" Terima kasih Bi, tolong taruh saja di meja " ucap Louisa pasrah sambil membuka pintu kamarnya selebar -lebarnya agar bibi Iori bisa masuk,
" Permisi Nona! Bila ada yang Nona butuhkan Nona bisa memberitahu saya " seru Bibi Iori sebelum meninggalkan kamar itu. Saat Bibi Iori sudah melangkah keluar kamar,
" Tunggu Bi! " panggil Louise panik,
" Ada apa Nona? " tanya Bibi Iori penasaran.
" Hm.. Apa.. dia sudah pulang? " tanya Louisa ragu - ragu sekaligus penasaran.
" Maksud Nona? Tuan muda? " tanya Bibi Iori memastikan.
" Memangnya ada lagi yang lain " keluh Louisa sambil memutarkan kedua bola matanya.
" Tuan baru saja pulang, sekarang berada di kamarnya " jawab Bibi Iori sambil tersenyum geli melihat kelakuan Louise.
Mendengar jawaban bibi Iori, tubuh Louise menegang sedangkan bibir mungilnya merajuk karena merasa digoda oleh bibi Iori
" Ada lagi Nona? " tanya bibi Iori sambil tersenyum hangat.
Louise hanya menggelengkan kepalanya pelan. Sejak Louisa berada di rumah ini, Bibi Iori sudah menganggapnya seperti puteri kandungnya sendiri.
Sepeninggalnya Bibi Iori dari kamarnya, Louise langsung melangkahkan kakinya ke lorong yang menuju sebuah kamar utama yang berada dilantai tiga. Louise mengabaikan makan malam yang disiapkan untuknya.
Tok! Tok! Tok!
Dengan lembut ia mengetuk pintu kamar itu, menunggu dengan cemas reaksi si pemilik kamar tersebut. Setelah beberapa menit kemudian, pintu kamar akhirnya dibuka,
" Mm.. maaf.. aku.. mengganggu waktu istirahatmu, bisakah aku berbicara denganmu? " tanya Louisa gugup.
" ... "
Tanpa menjawab Ritz membuka pintu kamarnya lebih lebar, lalu ia masuk lebih dahulu meninggalkan Louis yang terperangah.
Ritz mengambil air minum untuk dirinya sendiri, mengacuhkan keberadaan Louise yang mulai melangkah masuk kedalam kamarnya.
" Apa maumu? " tanya Ritz tanpa basa - basi.
" Aku ingin bebas! " jawab Louise cepat tanpa berpikir lagi.
Mendengar jawaban Louisa, Ritz membalikkan badannya menghadap kearah Louis dan menatapnya dengan tajam.
" Apa hakmu berbicara kebebasan denganku? " tanya Ritz sambil mendengus sinis.
" Lalu untuk apa kau mengurungku disini? " tantang Louisa sambil mengepalkan kedua tangannya dengan erat, ia memberanikan diri untuk memprotes perkataan Ritz.
Mendengar perkataan Louis, Ritz menghampirinya perlahan. Suhu ruangan langsung terasa semakin dingin dan mencekam, aura membunuh mulai menguar menghimpit keberadaan Louise. Secara reflek Louis pun melangkah mundur dengan gugup dan rasa takut merayap di dalam hatinya,
Namun hal itu tidak bertahan lama karena tubuhnya telah membentur tembok yang berada di belakangnya. Akhirnya ia tidak bisa melarikan diri lagi. Setitik penyesalan hinggap dalam dirinya karena memprovokasi Ritz.
Ritz meraih rahang Louise dengan kasar dan mencengkeramnya dengan kencang seolah ingin menghancurkannya.
" Semakin berani huh!! " bisik Ritz dengan suara seraknya.
" Ahh.. le.. pas " seru Louise lirih sambil meringis kesakitan,
" Apa tujuanmu menyerangku?!! " desis Ritz masih mencengkram erat rahang Louise.
" Kau?!! kau yang lebih dulu!! kau menghapus rekaman cctv di cafe itu!!!" teriak Louise di tengah kesakitannya.
" Cihh!! Apa kalian punya bukti bahwa aku yang menghapus rekaman itu??!" seru Ritz tidak mau mengakui,
" Brengsek!! karena ulahmu aku belum menemukan pembunuh Daddy!!" maki Louise dengan marah,
" Dia mati karena ulahnya sendiri!! kau dan orang - orangmulah yang seenaknya menyerangku!" desis Ritz sambil mendorong kasar tubuh Louise ke arah pojok ruangan.
" Ahhh!! sssshhh!! " ringis Louise ketika kepalanya membentur sudut meja yang berada tidak jauh dari dia jatuh,
" Apa maksudmu??!! dasar bastard!! " seru Louise yang sudah terlempar ke sudut,
Mendengar makian Louise, Ritz melangkah mendekati tubuh Louise. Saat ia berjongkok dan berada tepat dihadapan Louise, dia langsung menarik rambut pirang Louise dengan kasar.
" Kau meminta hukuman huh!!"
" Ahhh!!! "
" Merepotkan! " desis Ritz, ia menarik tubuh Louise keluar dari kamarnya dengan cara terus menjambak rambut pirang milik Louise.
" Ahh! lepas! lepaskan bastard!!! " teriak Louise sambil meronta.
Namun Ritz tidak mengubrisnya, ia terus menyeret Louise ke ruang bawah tanahnya. Tidak ada satupun pelayan berniat menolong Louise karena takut akan kemarahan Ritz.
Diruang bawah tanah, Louise bergidik melihat berbagai macam alat penyiksaan yang berada di sana. Dalam sekejap ia menyesali perbuatannya. Lagi - lagi Ritz melempar tubuh Louise ke arah ranjang besi yang berada di ruangan itu.
" Hiks.. hiks.. apa yang ingin kau lakukan? " tanya Louise di sela - sela isak tangisnya
Ritz melangkah menuju meja hitam yang ada di sudut ruangan dan mengambil sebuah cambuk berukuran sedang dan ujungnya berduri seperti tulang ikan yang dapat mengoyak daging si korbannya. Sambil mengelus cambuk itu Ritz menyeringai, membuat tubuh Louise semakin meremang melihat perbuatan Ritz tersebut.
Ritz melangkah dengan perlahan menuju ke tempat Louise berada. Louise langsung bangkit dan berusaha melarikan diri, namun..
" Kau harus dihukum! "
Ctarr!!
Ctarrr!!!
" Arghh!!! ahh!!" teriak Louise langsung jatuh telungkup menahan rasa sakit,
Belum sempat ia meninggalkan ruangan itu, punggungnya dihantam dua cambukan sekaligus. Kini ia tergeletak di lantai yang dingin dengan punggung yang bersimbah darah segar.
" Jangan menilai dirimu terlalu tinggi! dasar jalang! " ucap Ritz menghina Louise.
Setelah itu Ritz melempar cambuknya ke lantai dan meninggalkan ruangan bawah tanah, tetapi Ia memerintahkan para pelayan untuk menangani luka - luka Louise.
" Arrrrrggghhhhh!!!! " teriak Louise sambil menangis.
Saat mendengar perkataan Ritz, ada ribuan jarum menusuk hati Louise sehingga ia hanya bisa menjerit sedih melampiaskan rasa frustasinya. Sepanjang hidupnya sebagai nona muda keluarga Hansel tidak satupun berani menghinanya.
Louise pun berhasil dipindahkan kembali ke kamarnya, dan dokter Kenta sudah selesai memeriksa keadaannya. Bibi Iori membantu mengoleskan salep obat ke punggung Louise dan membalut luka - lukanya.
Sebelum pergi Dokter Kenta menyarankan agar lukanya tidak terkena air terlebih dahulu sampai kering dan berbentuk keropeng, serta meminta Louise untuk tidak banyak bergerak agar lukanya tidak terbuka lagi.
" Sebaiknya Nona istirahat " ucap bibi Iori dengan prihatin,
" Terima kasih, Bi "
" Sudah menjadi tugas saya membantu Nona " jawab bibi Iori sebelum meninggalkan kamar Louise.