"Gadis unik memang. Tapi gue suka."
***
Hari ini sudah mulai masuk sekolah kembali setelah libur semester selama satu minggu. Iya, sekarang aku sudah di semester dua kelas dua belas. Setelah kejadian di rumah Bagas tiga hari yang lalu, gadis itu—Jannah— masih tetap cuek. Pesanku dibalas, tapi sumpah jawabannya menjengkelkan.
Kira-kira seperti ini balasannya:
Jannah Syauqiah
Assalamu'alaikum...
Wa'alaikumussalam Warohmatullah...
Saveback ya no Saya.
Oho, aku harus terlihat seperti goodboy-goodboy pake kata "Saya".
Maaf ndak bisa...
Kenapa nggak bisa?
Memori penuh.
Waaaahhhh... sepertinya alasannya terdengar cukup menarik. Beda dari yang lain nih. Oke, aku coba balas lagi.
Waaah, kok bisa penuh? Mau saya belikan memori biar gk penuh lg?
Dia belum ada membalas selama beberapa menit. Aku jadi berpikir apakah kata-kataku barusan sudah terdengar lancang? Jika iya aku harus segera minta maaf, kan? Untuk cowok yang goodboy-goodboy pasti akan sadar kesalahannya, bukan? Baiklah, aku baca sekali lagi pesan terakhirku.
Menurutku tidak ada yang salah. Aku hanya bermaksud bercanda. Tapi, jika dia menganggapnya serius aku bisa apa? Biasanya cewek seperti dia tidak bisa diajak bercanda, kan ya? Aish. Kenapa bisa aku kecantol dengan dia. Oke, oke. Aku akan segera minta maaf.
Eh, maaf. Tadi saya hanya brcnd. Kalo mmng gk mau save gkpp.
Wkwk. Gak apa. santai aja sama aku.
Waw! Sepertinya dia orangnya asik juga. Tapi kenapa tadi tidak membalas pesanku coba? Dan apa alasannya tidak mau menyimpan nomerku? Alasan apa itu memori penuh?
Wkwk... Ydh, sv no saya ya.
Aduuh, sekali lagi maaf ndak bisa...
Laah? Ini bener emang dia kepenuhan memori? Tapi, melihat dia mengetikkan kata "Maaf" aku jadi sedikit percaya. Memang isi memori dia apa saja sih?! Kenapa menyimpan nomer saja tidak bisa?
Oh, ya udh.
Ya udah aja kan yaa. Biar dia juga merasakan rasanya dicuekki.
Iya, ya udah.
Lah? Sekali cuek memang cuek ni orang.
Aku baru ingat. Dia kan teman pesantren Tiana, teman sekelasku. Lebih baik aku menanyakan tentang gadis ini padanya. Apakah memang cuek dari dulu? Atau hanya cuek padaku? Atau memang cuek pada semua laki-laki? Selama aku melihat dia di sekolahan, dia memang tidak terlalu dekat dengan laki-laki. Bukan tidak terlalu lagi. Tapi memang tidak pernah dekat dengan laki-laki. Dia kemana-mana selalu bersama keempat teman perempuannya.
Mungkin bisa jadi dia memang cuek pada semua laki-laki. Jadi aku harus menjadi laki-laki pertama yang menaklukkannya. Harus. Titik. Tidak pake koma.
Kembali lagi ke hari ini. Hari ini belajar mengajar belum diaktifkan, karna sekolah aku akan mengadakan acara ulang tahun sekolah seminggu yang akan datang. Maka dari itu, minggu ini diadakan classmeeting. Semua murid sekolah banyak yang meramaikan acara ini, termasuk para alumni banyak yang datang ke sekolah.
Aku dan teman-temanku sekarang sedang duduk santai di dalam kelas. Karna kami tidak ada ikut apapun. Eh, ada. Tapi belum waktunya. Kami mengikuti lomba futsal antarkelas, lomba voli antar kelas, dan lomba basket antarkelas. Lomba futsal akan diadakan satu jam lagi. Kami memanfaatkan waktu yang tersisa dengan mengasah skill kami dengan cara bermain game. Ada yang ingin protes?
Untuk kelas XII PMIA dan kelas XI PMIA mohon segera bersiap-siap di lapangan. Pertandingan futsal akan segera dimulai lima menit lagi. Sekali lagi. Untuk kelas XII PMIA dan kelas XI PMIA mohon segera bersiap-siap di lapangan. Pertandingan futsal akan segera dimulai lima menit lagi. Terima kasih.
Suara panitia terdengar sampai ke kelas kami. Kami yang tadinya asik berteriak tidak jelas segera berdiri untuk ke lapangan. Para cewek di kelas kami pun segera mengikuti kami ke lapangan. Katanya sebagai suporter kami agar kami tambah semangat. Ada juga yang bilang,
"Weh semangat, Oi! Kalo ada yang nyeleding kalian seleding balik! Kalo bisa sampe cedira tuh, kaki!"
Ini cewek paling bar-bar di kelas kami. Kami hanya bisa geleng-geleng kepala mendengarnya.
"Eh iya, kita kelas XI Ipa, cuy! Gila! Orangnya tinggi-tinggi lagi."
Aku yang mendengarnya pun tersadar. Benar juga. Lawan kami sedikit berat. Ingat sedikit. Ngomong-ngomong kelas XI Ipa, Jannah kan juga kelas XI Ipa, ya. Aish. Semoga saja dia tidak ada. Aku bisa grogi jika aku dilihat oleh orang yang sukai. Sukai? Sepertinya sudah lebih.
Sampai di lapangan sudah ada pasukan kelas XI Ipa. Aku dan Rahim langsung mengambil tempat di pinggir lapangan, duduk. Aku dan Rahim cuma sebagai cadangan. Jaga-jaga siapa tau ada yang kelelahan, jadi aku bisa mengganti. Maaf saja, bakatku tidak di futsal.
Selama pertandingan, semua masih baik-baik saja. Skor tertinggi untuk sementara diraih oleh kelas XI Ipa. Mereka memang terlihat gesit. Mereka juga tinggi-tinggi. Karna semua laki-laki di kelas itu menjadi anggota paskibraka. Kecuali satu, orangnya memiliki riwayat penyakit yang aku tidak ketahui.
Tidak seperti kelas kami. Yang gesit Cuma Adrian, Daffa, dan Anam saja. Karna mereka mantan paskibraka. Arif dan Ansa jangan ditanya, mereka mempunyai badan besar, jadi pergerakan mereka tidak bisa segesit yang lain. Aku dan Rahim yang melihat mereka hanya bisa tertawa puas. Lucu sekali melihat Arif dan Ansa yang seperti ikan cupang mangap-mangap. Bagas? Dia menjadi salah satu panitia classmeeting.
"Heh! Elo bedua jangan ketawa aja, ya! Temennya capek sampe banjir keringat begini malah kesenengan kek dapat give away aje!" Suara Arif terdengar putus-putus karna dia berbicara sambil berlari mengejar bola dari Fajar, kelas XI Ipa itu.
"Lo juga jangan ngomong terus, Galih!" Daffa menyela. Karna memang sedari tadi Arif selalu mengoceh tak ada habisnya. Padahal dia sedang main. Pantas saja tenaganya terkuras banyak.
"Tau tuh fokus sana, lu! Haha"
"Elo juga jangan ngetawain temen yang lagi berjuang, War," Adrian berujar sambil menggiring bola ke arah lawan.
"Iye-iye. Maaf dah."
Gubrak!
Aaaaaaaa...
"Woy-woy pelanggaran tuh!"
"Anjir! Curang banget, lu!"
"Asw! Woy sini gak lo! Bales dong woi!"
"Waah! Gak bisa dibiarin tuh!"
Itu umpatan-umpatan dari para suporter kami. Aku dan Rahim segera masuk kelapangan untuk membantu menggiring Arif yang jatuh seperti pesawat tadi.
"Mohon untuk tidak ada keributan, semuaaa"
"Oit! Pelan-pelan, ogeb!"
"Ya ini pelan-pelan, Mamen!"
"Aduh dududuh. Sakit!"
"Elo lebay banget si," Rahim mencibir Arif yang memang sangat lebay. Hanya lecet sedikit saja ributnya satu kelurahan.
"Aduh, Bang. Maaf ye. Gue nggak sengaja kegepak kaki lo tadi," Aman—yang membuat Arif jatuh—meminta maaf dengan wajah penuh rasa bersalah.
"Wuuuu! Kagak bisa main ya, lu," salah satu cewek di kelas kami yang tidak terima Arif mengalami cidera.
"Sudah, Mel. Nyolot amat sih lo."Ansa yang merasa jengah pun mencibir Amel yang ributnya melebihi pasar ikan.
"Ya gue kagak terima lah. Kan—"
"Sudah, elah. Udah gakpapa, Man. Aman kok," Bagas mengacungkan jempol pada Aman.
"Iya udah aman kek nama lo, kok, Man." Arif, memang. Bulet-bulet ngomongnya.
"Haha oke, Bang. Maaf banget yaa."
Setelah lima menit pertandingan distop, aku masuk untuk menggantikan Arif yang sekarang sedang selonjoran santai di pinggir lapangan sambil mengipas-ngipaskan wajahnya dengan baju.
Sebelum mulai pertandingan lagi, aku menyempatkan menoleh ke segala arah untuk memastikan ada tidaknya Jannah di sekitar lapangan. Bisa gaswat jika ada. Skor kami sudah tertinggal lima, jika aku grogi bisa jadi kami tertinggal jauh. Aneh, bukan? Jika orang lain akan semangat ketika orang yang disukai melihat dirinya tanding, aku tidak. Ntah kenapa, aku merasa seperti sedang diawasi Ayahku jika aku sedang latihan.
Melihat ke sekitaran, mataku berhenti tepat di samping kantor. Jannah bersama temannya ada di sana. Tapi dia membelakangiku, sepertinya dia ingin pergi ntah kemana. Syukurlah. Aku tidak grogi. Tapi, sebagian dalam diriku, aku ingin dia melihat aku bertanding sebentar. Tapi ya sudahlah.
Gadis yang unik. Disaat yang lain ingin menyaksikan teman kelas bertanding, dia tidak. Mungkin dia bosan. Atau mungkin dia tidak suka keramaian. Ntahlah, aku tidak tau. Yang aku tau, aku suka. Suka dia.