Chereads / SANG PENGGODA CINTA / Chapter 16 - Lebih Baik Jangan Sering Bertemu

Chapter 16 - Lebih Baik Jangan Sering Bertemu

Sheryl mendesah pelan. Memandang wajah pria tampan di depannya. Ia mungkin salah sudah mengatakan hal yang sama sebanyak dua kali. Namun, ia benar-benar ingin meyakinkan dirinya kalau Reynand tidak akan mengejarnya lagi.

"Ya. Maafkan aku. Mungkin aku terlalu ge-er dengan semua persepsi yang ada di dalam otakku," sahutnya bergegas membuka pintu mobil.

Gerakannya terhenti tiba-tiba. Reynand tiba-tiba menarik lengan kanannya. Sheryl sontak menoleh dengan pandangan bola mata melebar, seakan bertanya, ada apa lagi?

"Obat. Aku takut Baruna menanyakannya." Reynand mengambil satu strip paracetamol dari dalam kotak kecil obat dari dalam kotak kecil P3K mobilnya.

Wanita itu hanya memperlihatkan segaris senyum tipis. Ia lalu menyahut, "Terima kasih, Rey."

Sheryl memasukkan strip obatnya ke dalam saku, lalu keluar dari mobil. Reynand mengekornya beranjak keluar dari sana. Dia tidak ingin Aina mencarinya dan kembali menyalahkan ia karena tidak hadir dalam acara itu hingga selesai.

Mereka bertemu dengan Baruna di lorong menuju taman belakang rumah mewah itu. Baruna menatap cemas kepada sang istri yang hilang beberapa saat. Seketika, dia langsung merangkul bahu sang istri dan mencium pipinya. Reynand menahan napas sesaat ketika melihat pemandangan itu kemudian membekas dengan rasa sedikit sesak.

"Sayang, bagaimana keadaanmu?" tanya Baruna.

"Aku baik-baik saja. Untung ada Rey yang mengantarku mencari obat di apotek." Sheryl mengerling ke arah Reynand.

Baruna menatap ke arah Reynand dan Sheryl bergantian. Walau ia sedikit curiga, tapi ia berusaha menutupi perasaan itu dan malah bertanya dengan air muka datar, "Mana obatnya?"

Ditanya seperti itu, Sheryl sedikit kikuk. Reynand yang melihatnya sontak menyeletuk, "Tadi di sakumu, Sher." Reynand mengingatkan wanita tidak berpendirian itu.

Sheryl buru-buru meraihnya dan memperlihatkan benda itu kepada suaminya. "Ini. Apa kamu sakit kepala juga?" tanyanya begitu polos.

Baruna menarik sedikit senyumnya. Dia menggeleng pelan. "Tidak. Kalau begitu, ayo kita ke belakang."

"He-em." Sheryl mengangguk. Rangkulan Baruna menuntunnya untuk mengikuti langkah sang suami berjalan ke belakang taman luas kediaman Asyraf.

Reynand mengikuti pasangan itu dari belakang. Di tempat itu, semua sudah berkumpul. Bahkan keluarga Sheryl yang tadi belum datang, kini sudah lengkap berada di tempat itu.

Reynand duduk di salah satu kursi, memandang lurus ke depan. Kadang ia tersenyum kecil melihat bagian acara demi acara diselenggarakan dengan ceria, tapi hatinya terasa masih kosong. Seketika, Reynand sedikit menyesal Kayla tidak ada di sampingnya. Setidaknya wanita cantik itu dapat menggodanya dan membuat moodnya berubah kesal dan tidak kesepian.

Aina yang melihat sang putra duduk sendirian langsung menghampirinya. Ia duduk di depan Reynand sembari menggerakkan telapak tangannya di depan sosok lajang yang sedang termenung.

"Rey," panggilnya, tapi Reynand masih saja bergeming. "Rey .... Rey ...."

Mendengar suara sang Mama yang memanggilnya, bola mata Reynand bergerak cepat. Buru-buru menyadari Aina duduk di depannya.

"Eh, Mama! Ada apa?" tanya Reynand dengan air muka datar, mencoba menyembunyikan perasaannya di tempat itu.

"Mengapa melamun di sini? Kau juga tidak ikut membaur dalam acara. Apa kau sakit?" Aina menatap khawatir.

"Bolehkan aku pergi dari sini? Pesta ini membuatku sedikit pusing." Reynand berpura-pura mengusap kepalanya. Padahal ia tidak merasakan hal itu. Rasa sesak berada di sana lebih mendominasi setiap rasa sakit yang dirasakan tubuhnya.

"Baiklah. Mama akan hubungi Pak Zaki agar bisa mengantarmu pulang," sahut Aina akhirnya menyerah membuat sang putra tetap berada di tempat itu.

Reynand menggeleng. "Aku masih bisa mengemudi," tolaknya segera bangkit dari tempat duduknya. "Mama jangan terlalu memaksakan diri berada di tempat ini. Pulang saja jika sudah tidak ada hal yang ingin disampaikan."

"Mama tahu apa yang Mama lakukan. Lagipula, Meri sudah Mama anggap adik sendiri," sahut wanita itu sembari menyunggingkan senyumnya.

"Lalu bagaimana dengan Ayah?" Sebelah alis Reynand terangkat, memancing Aina dengan pertanyaan yang tidak penting.

"Anton, huh?" Aina mencibir melirik Reynand. "Dia hanya pria tua yang tidak berarti apa-apa bagi Mama. Dia juga sosok Ayah yang tidak berguna untukmu. Satu-satunya kebaikan hanya memberikan sedikit kekayaannya saja untuk kau yang baru ia temui saat dewasa." Bibir keriputnya makin mencibir.

Reynand menyeringai kemudian menggelengkan kepalanya. "Itu salah Mama. Menyembunyikan keberadaanku dari Ayah selama ini. Namun, aku sangat yakin jauh di lubuk hati yang paling dalam, Ayah masih memiliki tempat yang istimewa."

"Jangan sok tahu kau, Rey! Mama hanya ingin mempererat hubungan dengan keluarga Asyraf. Kau tahu sendiri kalau kita memiliki rencana merger perusahaan dalam waktu dekat."

Reynand terdiam, menelan ludahnya. Topik pembicaraan ini memang sedang sangat ia hindari. Jika Pradipta dan Asyraf bersatu, itu artinya kesempatan bertemu dengan Baruna dan Sheryl akan semakin sering terjadi. Ia mungkin egois karena tidak menyetujuinya sama sekali.

"Kenapa diam? Kau masih tidak setuju?" tanya Aina.

"Aku ingin membesarkan Pradipta Corp, tapi bukan dengan jalan seperti ini."

"Kenapa, Rey? Kau memiliki seperempat kepemilikan saham perusahaan Ayahmu. Kau juga seorang direktur Pradipta. Kau tinggal berkata 'setuju' maka para dewan direksi dan para pemegang saham yang pro kepadamu akan mengikuti semua keputusan itu."

"Aku tidak berminat," sahut Reynand singkat. Dia merogoh jas, mengeluarkan kunci mobilnya. "Aku pulang, Ma," pamitnya.

"Ya. Hati-hati," jawab Aina.

Reynand meninggalkan kediaman sang Ayah saat matahari hendak menenggelamkan sinarnya. Kemacetan di jalan raya yang ramai membuat mobil sedan putih Reynand terpaksa berhenti tepat di perempatan lampu merah lalu lintas.

Reynand menatap lurus ke depan. Pria itu terus teringat apa yang tadi dikatakan Sheryl kepadanya. "Tidak sering bertemu, huh? Dipikir gampang? Haish! Bahkan ia sempat membalas ciumanku. Dasar wanita tidak berpendirian!" umpatnya kesal, ia memukul pinggiran setirnya lalu terdiam beberapa saat dan menghela napas panjang. "Tapi aku masih mencintainya," gumam pria itu lagi.

Akhirnya Reynand tiba di apartemennya. Ia berjalan menuju lift. Saat pintu lift hendak menutup, seorang laki-laki berjas resmi tiba-tiba masuk dan hanya melirik tombol yang dipilih Reynand tanpa menambahkan pilihan tombol lantai lainnya. Ia akan turun di lantai yang sama.

Reynand memperhatikan penampilan pria itu. Matanya sedikit menyipit.

Sepertinya aku tidak pernah melihat orang ini di apartemenku. Apa dia orang baru? batinnya.

Walau sedikit penasaran, sepanjang naik ke lantai delapan, Reynand tidak menyapa atau berbicara sepatah kata pun dengan pria itu. Reynand malah sibuk dengan media sosialnya. Beberapa postingan feed yang diunggah Indira memperlihatkan ia dan Sheryl tertawa sangat bahagia.

Mengapa ia jadi sangat manis? batin Reynand lagi.

Ting!

Pintu lift terbuka. Reynand dan pria itu keluar dari lift. Masing-masing berjalan menuju kediamannya. Reynand membelalakkan mata. Seorang laki-laki yang tidak asing baginya tampak berjalan mondar-mandir di depan pintu unitnya.

"Wisnu?" gumam pria itu.