Azzam dan kedua orang tuanya sedang berada di depan ruang periksa, mereka hanya membawa Likha ke klinik yang berada didekat rumah orang tua Azzam. Rumah sakit terlalu jauh, mereka agak khawatir dengan keadaan Likha.
"Azzam, kenapa Likha tiba-tiba pingsan? apa dia gadis yang penyakitan?" Ayah Azzam yang masih agak marah dengan putranya ini mencoba mencemooh Azzam. Sementara ibunya memukul pelan bahu suaminya, mengingatkannya kalau saat ini tidak tepat untuk mereka berdebat.
"Ayah, Azzam, kalian tahan dulu emosi kalian. Kasihan kan anak orang, mana dia sudah tidak punya orang tua lagi. Kamu juga azzam, kenapa tidak tahu kalau Likha sakit?" ibu Azzam memarahi suami dan putranya sekaligus. Tak lama dokter keluar.
"Bagaimana keadaan putri kami dokter?" ibu Azzam langsung bertanya kepada dokter, Azzam dan kedua orang tuanya melihat wajah dokter yang tidak begitu nyaman.
"Maaf bapak, ibu,sebaiknya kalian ikut saya kedalam." dokter itu kemudian kembali berjalan masuk, dia mempersilahkan kedua orang tua Azzam duduk dihadapannya. Sementara Azzam menghampiri Likha yang sudah tersadar sekarang, Azzam membantunya bangun dan duduk di tempat tidur.
"Begini pak, bu... saya sebenarnya tidak enak mau mengatakannya karena saya lihat putri anda masih kecil dan juga masih bersekolah kan? tetapi dengan berat hati saya harus menyampaikan hal yang sebenarnya kepada kalian semua.
"Apa yang terjadi dokter? dia sakit apa sebenarnya?" Ayah Azzam sudah tidak bisa menahannya lagi, dia sebenarnya agak kasihan kepada Likha, tetapi itu hanya sedikit rasa kasihan. Sementara rasa marahnya kepada Azzam jauh lebih besar.
"Putri bapak dan ibu sedang mengandung, usia kehamilannya masih sangat kecil, baru berjalan dua minggu. Kalau kalian tidak menginginkan bayi itu karena putri anda masih sekolah, kalian bisa langsung melakukan aborsi hari ini juga. Pumpung janin masih kecil. Maaf sebelumnya kalau saya menyarankan hal seperti ini. Sebenarnya saya telah melanggar kode etik saya sebagai seorang dokter dengan menyarankan hal seperti ini, tetapi saya lebih memperdulikan dampak psikologis putri anda kalau dia mempertahankannya. Dia masih sangat kecil, kalau saya lihat usianya bahkan belum tujuh belas tahun. Kalian bisa memikirkannya terlebih dahulu.
"Apa dokter?? Hamil..? Ayah dan ibu Azzam bertanya bersamaan. Mereka sangat syok, begitu juga dengan Azzam dan Likha. Keduanya bahkan tidak pernah membayangkan. Memang mereka telah melakukannya, tapi itu hanya satu kali. Bagaimana mungkin bisa hamil.
"Benar pak, bu, kalian berunding dulu saja. Apa yang akan kalian lakukan selanjutnya." Dokter merasakan tekanan udara diruangannya langsung berubah dingin melihat keluaraga ini.
"Azzam, Likha, ayo kita segera pulang dan berbicara." Ayah Azzam langsung keluar dari ruangan dokter tanpa berpamitan. Sementara ibu Azzam kemudian meminta maaf kepada dokter dan berpamitan. Matanya kemudian menatap tajam pada Azzam, mereka berempat akhirnya kembali kerumah Azzam. Sekarang,cAzzam dan Likha sedang duduk di ruang tamu. Mereka sedang di sidang oleh ayah dan ibu Azzam.
"Kalian berdua benar-benar sudah kelewatan! ayah telah gagal selama ini bu, anakmu yang tidak punya moral ini telah menghamili anak orang!!!" Ayah Azzam sangat marah. Azzam dan Likha hanya tertunduk, mereka mengakui kalau mereka bersalah.
"Lalu, bagaimana sekarang Ayah? apa yang harus kita lakukan?" ibu Azzam hanya bisa menangis.
"Ayah, ijinkan Azzam menikahi Likha. Azzam akan bertanggung jawab." Azzam sangat gentle, sebagai seorang lelaki dia tentu akan bertanggung jawab.
"Gugurkan anak itu, kalian masih terlalu kecil. Belum saatnya kalian menjadi orang tua, setelah itu kalian jangan pernah lagi berhubungan. Ini satu-satunya jalan untuk kalian." kata-kata ayah Azzam seperti guntur yang memukul batin Likha, dia menangis, tetapi dia harus berbicara.
"Saya tidak setuju om, saya sudah melakukan kesalahan fatal satu kali dan saya tidak akan mengulanginya lagi. Saya tidak akan membuat dosa lagi om, membunuh adalah dosa yang teramat besar. Saya tidak mau, lagi pula ini adalah anak saya. Saya akan merawatnya seorang diri. Kalian tidak perlu khawatir, saya tidak akan menuntut apapun dari keluarga ini, saya permisi." Likha berjalan keluar sambil membawa Ranselnya. Tubuhnya masih sangat lemah, tetapi dia harus kuat demi anaknya. Dia sudah tidak memiliki siapapun di dunia ini dan Tuhan telah memberikannya seorang anak, bagaimana mungkin dia malah akan membunuhnya, tidak akan pernah.
"Likha, tunggu sebentar, kita akan pergi bersama." Azzam menghentikan Likha.
"Ayah, ibu, maaf, aku memang telah berbuat kesalahan, tetapi benar kata Likha. Kami tidak akan melakukan kesalahan lagi, aku harus bertanggung jawab. Maafkan Azzam Ayah, ibu, bila selama ini aku merepotkan kalian dan membuat kalian sakit hati, Assalamu'alaikum.." Azzam mengejar Likha yang sudah tidak berada di ruang tamu lagi, Likha sudah berjalan keluar. Dia sedang menunggu ojek saat Azzam menghampirinya dan membawanya kembali masuk ke halaman.
"Sayang, kita akan pergi bersama. Aku ambil motor dulu." saat Likha dan Azzam baru saja akan menaiki motor mereka, Ayah Azzam keluar dengan menggendong istrinya yang tidak sadarkan diri dan memasukkannya kedalam mobil. Dengan tatapan marah, ayah Azzam memanggil putranya.
"Azzam, Likha, kalian berdua ikut ayah sekarang. Kalian berdua harus bertanggung jawab karena telah membuat ibu kalian sakit." Azzam dan Likha meski sebenarnya akan pergi, tetapi melihat ibunya Azzam seperti itu, Likha mengalah. Dia menarik tangan Azzam, mereka kemudian membawa ibu Likha ke klinik yang baru saja mereka tinggalkan. Tetapi kini, ibu Azzam yang menjadi pasien. Mereka juga bertemu kembali dengan dokter yang memeriksa Likha tadi, dokter meminta ketiga orang itu menunggu diluar.
"Bapak, saya akan berbicara dengan anda dan putra anda, mari kita masuk." Dokter selesai memeriksa ibu Azzam. Lalu mereka semua masuk, Likha langsung menghampiri ibu Azzam yang belum sadarkan diri. Likha memijit lembut tangan ibunya Azzam, sementara Ayah dan Azzam sedang menemui dokter.
"Pak, kondisi ibu sangat lemah saat ini. Jadi saya mohon, kalian jangan membuatnya tertekan. Kalau bisa kalian menuruti apa yang beliau inginkan agar beliau bersemangat untuk segera pulih. Jantungnya agak bermasalah, jadi kalian harus menjaganya dengan hati-hati. Ini resep obatnya, kalian bisa langsung membawanya pulang, tetapi dua hari lagi kontrol ya.." Dokter kemudian meninggalkan keluarga Azzam.
"Ayah, Azzam minta maaf, setelah ibu sembuh Azzam dan Likha tetap akan pergi. Bagaimana pun, Azzam harus bertanggung jawab. Jadi sekali lagi Azzam minta maaf." Azzam dan Likha saling menunduk.
"Kamu dengar sendiri kan apa kata dokter, jadi ayah akan mengalah demi ibumu. Kalian akan segera ayah nikahkan, tetapi kamu harus menyelesaikan kuliahmu yang tinggal sebentar lagi. Sementara Likha, aku tidak tahu harus berbuat apa. Yang aku tahu, sekolah tidak akan pernah memberi toleransi jika ada siswanya yang hamil. Mau tidak mau kamu harus keluar." Azzam dan Likha merasa lega di satu sisi, tetapi merasa tertekan disisi yang lain. Terutama Likha, dia dengan susah payah mendapatkan beasiswa itu. Dia tidak mau menyerah semudah itu, dia bertekad akan tetap bersekolah selama pihak sekolah tidak menyadari kehamilannya.
"Terima kasih om, Likha akan memikirkannya lagi tentang sekolahku." Likha merasa sikap Ayah Azzam agak melunak, dia berharap bisa melewati semua ini dengan Azzam.