Begitu sampai di halaman rumah, Rere tak lantas turun, ia bergeming menelan ludah seraya menengadah menatap rumah megah dua lantai di depannya. Sudah sebulan lebih ia tinggal di tempat ini bersama orang-orang yang begitu baik mengurusnya sejak lama, mereka adalah wali bagi Rere saat orangtua kandungnya justru sibuk membenci dan menyiksa.
Rere mengembuskan napas sesak, bisa-bisanya ia terus saja diselimuti perasaan seperti ini, tersiksa meski harus bertahan. Memang ya membagi kisah dengan orang lain cukup ampuh membuat Rere mengurangi beban, tapi tetap saja semua terasa lebih sulit untuk dijalani, ia kehilangan sesuatu dalam benaknya.
Gadis itu turun dari motor dan melangkah pelan menghampiri beranda, haruskah ia terus berada di tempat ini dan menyiksa orang lain atas nama perasaan yang tak bisa terwujud? Mungkinkah rakyat jelata memang menginginkan hal lebih dari pangeran?
Ah, Rere ternyata sekonyol itu.