"Bi," kesal, aku menendang bokong cowok yang sedang jongkok di depan ku.
"Hm?" Dia hanya bergumam, masih asik dengan kegiatan memandikan pacar pertamanya tanpa memedulikan pacar kedua yang sejak tadi kepanasan menunggunya.
"Bian!!"
"Hmmm?"
"Biantara SaputraKAMPRET!"
"Apa sih yang? Kamu laper? Entar lagi kita keluar cari makan." Ujar Bian lembut. Kali ini dia melihat ku.
Sekilas.
Hanya sekilas! Lalu melanjutkan kegiatannya lagi.
"Kamu sadar gak sih ada aku di sini?" Tanya ku ketus.
"Sadar dong, cowok stres mana yang gak sadar kalau lagi di tungguin bidadari secantik kamu." Gombal Bian santai.
Aku berdecak malas sambil membuang muka ke samping.
Wajah ku kian memerah.
Sory, merahnya bukan karena gombalan jadul dari Bian. Tapi karena teriknya matahari yang makin menyengat kulit.
"Kamu sayang gak sama aku?" Lagi-lagi aku bertanya ketus.
Kesal, marah, dan... kecewa.
Aura negatif mulai berputar di sekeliling ku. Aku sudah muak. Bosen di nomor duain terus sama Bian.
"Sayang dong." jawab Bian semangat.
"Kalau gitu, kamu pilih aku atau dia?"
Bian sontak berdiri. Menatap ku cengar-cengir sambil menggaruk belakang kepalanya. Aku yakin kepala Bian tidak gatal. Bian bukan tipikal cowok jorok yang banyak ketombenya.
Dia rajin keramas.
Aku tau, karena kami sering mandi bareng.
Dia hanya bingung harus menjawab apa.
"Aku.." Bian ragu. Mata sipitnya menatap ku. Memohon supaya aku ngertiin dia untuk ke sekian kalinya. "Kalian berdua sama-sama berharga buat aku, jadi.."
"Kita putus!" Aku berteriak setengah histeris memotong kalimat Bian.
See!
Uda biasa di giniin.
Sakit, tapi gak berdarah.
Aku tau. Lebih dari siapapun, gak ada yang bisa ngalahin rasa sayang Bian ke aku.
Bian orang pertama yang bakal lari kalau denger aku sakit.
Bian orang pertama yang bakal ngapus air mata kalau aku nangis.
Bian orang pertama yang bakal datang kalau aku terjatuh.
Dan,
Bian akan selalu jadi orang pertama di hidup ku.
Tapi,
Hobby Bian bener-bener buat aku lelah.
Aku memutuskan untuk berhenti ngertiin Bian.
Aku egois?
Bian jauh lebih egois!
"Yang, ih!" Bian menghentakkan kedua kakinya. Dia merajuk. "Aku gak bisa nafas kalau kita putus."
"Bodo!" Aku berbalik, meninggalkan Bian. "Kan masih ada dia." Lanjut ku tanpa menoleh.
"Dia gak sehebat kamu yang!" Bian teriak sambil berusaha mengejar ku yang saat ini sudah keluar dari pagar rumah kos nya.
Huh!
Aku berhenti mendengar kalimat terakhir Bian. Berbalik dan menatapnya tanpa minat. "Aku sama dia kan gak ada bedanya. Yang penting sama-sama bisa kamu naikin." Kata ku kesal.
Aku berbalik meninggalkan Bian.
Memantapkan hati.
Kali ini, aku benar-benar tidak akan kembali padanya.
"SAYANG! AKU GAK BISA PACARAN SAMA MOTOR!"