"Bi, ini nasi gorengnya gak di makan? Entar aku habisin semua loh."
"Gak papa yang, abisin aja. Sekalian bungkusnya kalau bisa. Tong sampah aku ilang, tadi malam lupa masukin ke dalem."
"Anjing!"
Kesal. Aku melirik Bian. Cowok itu masih asik bermain ponsel sambil tiduran di atas kasur.
Kalau sudah barengan Bian, bawaannya pasti kesel terus.
Ngeselin, tapi juga ngangenin. Ini yang buat aku susah berpaling dari Bian.
Bayangin aja, pagi-pagi aku rela bolos kuliah demi ngabulin permintaan konyol Bian.
Bian bilang, dia gak bakal nafsu makan kalau makannya gak sambil liatin aku. Konyol banget kan? Dasar Bian! Rajanya modus.
Padahal alasan utama dia nyuruh aku ke kosan cuma buat grepe-grepe. Sampah banget si Bian. Huh!
"Ululu.. sayang aku jangan marah-marah, entar cepet tua baru tau rasa." Bian turun dari kasur. Merangkak ke arah ku lalu mencubit kedua pipi ku gemas.
Aku mendengus. "Gak papa, biar cepet kamu putusin!"
"Kan, ngomongin putus lagi. Ini uda ke sembilan delapan loh, yang." Kata Bian sambil menarik kaki ku hingga lurus ke depan. Dia merebahkan kepala di atas paha ku, lalu memainkan ponselnya kembali.
"Daebak! Beneran kamu hitung ya, bi! Mantep deh, entar yang ke seratus kita putus beneran." Sahut ku ceria.
Ah! Aku sangat menantikan saat-saat itu. Tanpa sadar tangan ku terangkat ke dada. Sedikit menekannya. Penasaran, apa nantinya di dalam situ bakal terasa sakit?
"Dih, amit-amit!" Bian bergidik
Aku diam, menatap Bian masih asik dengan ponselnya sambil cengar-cengir. Apaan sih! Norak banget dia.
"Kamu chatingan sama siapa, bi?"
"Kepo!" Jawab Bian mengejek. Namun, dia tetap menyodorkan ponselnya pada ku.
Satu lagi yang aku suka dari Bian. Dia gak pernah merahasiakan sesuatu dari ku. Sekecil apapun masalah yang dia hadapi, dia selalu membicarakannya pada ku. Karena itulah hubungan kami masih tetap berlangsung hingga 2 tahun walau sering saling memaki.
"Kamu ngerjain adek tingkat lagi?"
"Iya, dia berisik banget, yang. Kayak parasit! Hampir tiap hari dia ngikutin aku di fakultas."
Aku tertawa, membayangkan bagaimana kesalnya wajah Bian di ikuti penguntit. "Siniin nomornya, biar aku giling sekalian."
Bian menggeleng, kemudian menyodorkan ponselnya kembali pada ku. "Nelpon nih anaknya, angkat aja." Kata Bian santai.
Aku menyambar ponsel Bian. Sedikit berdeham menormalkan suara, lalu menganggkat panggilan itu. "Halo?"
"Halo, ini siapa? Kak Bian nya kemana? Kenapa kamu yang ngangkat?"
Aku melongo. Helow, ini anak butuh cermin kayaknya. Harusnya aku yang nanya dia siapa. Bangsat banget ini cabe. Aku cepat-cepat menyentuh gambar speaker pada layar ponsel agar Bian juga mendengarnya.
"Umm.. aku pacar Bian. Ada perlu apa ya?" Aku berdeham lagi, menormalkan emosi yang hampir meluap.
"Gak mungkin!!" Kata si cabe ketus.
What!! Kenapa dia ngegas?
Bian terkikik geli sambil memainkan rambut panjang ku. "Hajar yang!"
"Kok gak mungkin?"
"Ya gak mungkin lah kak Bian yang super ganteng itu punya pacar jelek kayak kamu!"
Tawa Bian pecah. Dia beringsut dari pangkuan ku. Bergeser ke samping lalu memeluk tubuh ku erat. "Ajak ketemuan yang. Tunjukin sama dia kalau kamu itu cantik nya melebihi bidadari." Bisik Bian.
Aku menabok mulut Bian sambil melotot menyuruhnya diam. "Kamu tau dari mana kalau aku jelek?" Tanya ku agak ketus.
"Dari suara aja uda keliatan kalau kamu itu jelek banget! Muka jerawatan, Kasar, kayak aspal."
Bangsat! Halu ni bocah. Aku makin geram. Belum lagi sebelah tangan Bian masuk ke dalam kaos lalu meremas payudara ku. Emosi ku kian bercampur aduk.
Sementara Bian melancarkan aksinya di dalam kaos yang aku kenakan, sebelah tangan Bian yang bebas merampas ponselnya dari tangan ku.
Dia mengakhiri panggilan tersebut.
Aku melongo.
Dengan gerakan cepat, Bian mengangkat tubuh ku dan merebahkannya di atas kasur. "Yang, aku pengen." Rengek Bian.
Pada akhirnya, aku hanya mendesah kesal saat Bian melumat bibir ku lembut.