Chapter 5 - Egois

"Cukup!"

"Seharusnya kau telah bersikap dewasa di umurmu sekarang. Berhenti bermain-main, Saka. Kau harus segera memikirkan masa depan."

Pangeran Saka memandang ayahnya dengan acuh tak acuh, peduli namun masa bodoh. Bukannya menjawab perkataan ayahnya, dia malah pergi meninggalkan aula utama. Raja Antonio hanya bisa mengelus dada dengan gusar, sedikitpun tidak membayangkan kenapa bisa memiliki putera sepertinya.

"Prajurit, cekal pangeran. Jangan biarkan dirinya keluar dari aula utama dengan mudah." Mendengar titah ayahnya yang begitu mutlak, mau tidak mau Saka berbalik, memandang jengkel. Kemudian berkata, "Apa yang anda inginkan, ayahanda?"seru Saka bertanya. Raja Antonio tersenyum semringah, berdiri berjalan menuruni tangga, mendekat pada puteranya.

"Bukankah keinginan diriku selalu sama, carilah pasangan segeralah menikah. Apa permintaan itu cukup sulit untuk kau lakukan, Saka." Pangeran Saka hanya memutar bola mata, merasa sangat jengah. Perilaku ayahnya sudah menyerupai sang ibu, selalu memaksanya untuk segera menikah. Apa pernikahan perkara yang mudah? Dia tidak habis pikir dengan cara pemikiran orangtuanya. Bukankah di umur 20 tahun adalah masa-masa yang harus dilewati dengan bermain, bersenang-senang, menikmati masa muda. Bukannya berkutat dibalik meja, dengan segala tugas yang diberikan para menteri dan tetua. Saka, sama sekali tidak sanggup membayangkan, bagaimana dia akan ribet nantinya.

"Jawabanku juga tetap sama! Aku tidak ingin menikah dalam waktu dekat, ayah. Lagian belum ada perempuan yang aku cintai,"sanggah pangeran Saka. Raja Antonio mendengus, "Alasan! bukan tidak ada. Banyak kaum hawa yang tergila-gila padamu. Hanya saja, kau terlalu kejam hingga perempuan itu pada takut padamu. Cobalah, Saka. Kau ubah perilaku mu itu, jangan bertindak semena-mena, dan jangan jahat. Kau keturunan siapa sih?"

Saka bergerling memandang jenaka, sebuah senyum tersungging begitu manis, sebuah momen yang langka. Raja terpaku untuk sesaat. Saka mendekat pada ayahnya, kemudian berkata dengan polos. "Bukankah aku putera ayah, maka aku keturunanmu. Bercerminlah pada diri, jika sikap puteramu tidak sesuai dengan yang kau harapkan, maka liatlah perilakumu di masa lalu ayah. Sejatinya, seorang anak akan mengikuti orangtuanya dimasa muda." Raja Antonio tergelak, terbungkam dengan satu jawaban telak. Pangeran memilih untuk melanjutkan jalannya, keluar dari aula utama.

***

Sementara di kerajaan api.

Jane duduk termenung memandangi seekor beruang madu didepannya. Jane, membayangkan bertapa indahnya tempat bersalju itu. Apakah suatu saat nanti dia bisa menjelajah tempat itu tanpa merasa kedinginan. Jane, berjongkok mengelus punggung beruang, "Apakah madu itu sangat manis hingga kau makan dengan lahap?"tanya Jane. Beruang itu menoleh, seakan mengerti kemudian mengangguk. Jane tertawa dengan senang, menggendong beruang kecil itu kedalam pangkuan. Berjalan ke arah gubuk. "Kita teman sekarang."

Daniel memandang dari jauh, tanpa terasa anak angkatnya sudah dewasa, tumbuh menjadi seorang wanita yang anggun. Daniel mendekat. "Jane." Gadis itu menoleh terperanjat, sontak menaruh beruang di sebelahnya.

"Ya, papa." Daniel merasa kikuk, ini kali pertama baginya dipanggil papa oleh Jane. Rasanya dia bertambah tua meski wajah tetap muda. Daniel memilih duduk disebelah anaknya, mengelus dengan lembut.

"Sekarang waktunya belajar ilmu sihir." Jane termanggu, apakah hari-harinya selalu diliputi oleh pembelajaran, tidakkah sedikit saja, dia merasa bebas. Bersenang-senang seperti para wanita diluar saja, bergosip dan berkencan. Namun, ia tersadar semua itu hanya lamunan. Ayah angkatnya selalu bersikap overpotektif, katanya "Karena kau satu-satunya keturunan murni, maka kau harus menjadi pendekar hebat." Jane mendengus ketika perkataan itu kembali tergiang.

"Baik, papa." Jane hanya mampu menuruti saja, toh dia bisa tumbuh dewasa berkata jasa ayahnya. Jane merasa sangat oase, padahal berada di suasana nyaman, akan tetapi benaknya terasa sangat kalut.

"Jangan cemberut! Belajar dengan bersungguh-sungguh, Jane. Dunia sangat kejam. Musuh selalu menerapkan sistem oligarki, yakni terdiri dari beberapa orang yang berkuasa dan berkelompok. Jika kau tidak bersungguh-sungguh, maka kau akan mudah dikalahkan, seperti ayah kandungmu Raja Jiwan." Jane terperangah, menatap tidak percaya. Ternyata pria ini mengetahui segalanya.

"Pertama aku akan mengajarkan dirimu, bagaimana caranya berkamufalse ditengah-tengah musuh. Kau harus bisa mengecoh pengamatannya. Kau bisa menggunakan sihir mengubah wujud." Jane menopang dagu berusaha untuk fokus. Daniel mencontohkan, berjalan ke depan sedikit menjauh, memberi jarak. Daniel mengumamkan sebuah mantra, "Keisti formą". Dalam sekejap berubah menjadi seekor burung merpati. Jane terperangah, bukankah itu sebuah sihir yang hebat, ia ingin mencobanya. Jane mengacungkan tangan dengan antusias. Daniel kembali ke wujud semula, menjadi manusia. Jane berlari ke depan. "Kei.."perkataannya tertahan. Jane langsung menatap ayahnya, meminta bantuan. Daniel terkekeh dalam hati dia mencemooh, "Dasar ceroboh. Belum dikasih tahu mantranya udah pergi begitu saja." Daniel mendekat pada Jane.

"Keisti formą, Jane. Mantra itu berasal dari bahasa Lituania yang berarti mengubah bentuk." Jane mengangguk paham. Kemudian mengumamkan kalimat itu dengan lancar, "Keisti formą." Jane berubah menjadi sebuah api yang menggelora begitu besar. Daniel terperanjat, merasa sangat kaget.

"Dingo." Jane kembali ke bentuk normal. Daniel menghela nafas dengan lega. "Kau harus belajar mengendalikan kekuatan api mu, Jane. Bayangkan hewan atau apapun ketika menggunakan mantra itu." Jane tertunduk merasa sangat gagal, memang tidak becus, tidak sehebat ayahnya. "Maafkan Jane, papa."

Daniel merasa tidak tega, mengusap puncak kepala puterinya. "Gapapa, namanya juga belajar. Maka dari itu kau harus semakin giat lagi." Jane mengangguk.

"Sekarang kau ke hutan, ambil tanaman obat secukupnya." Jane mengambil keranjang, memangku beruang kecil itu kemudian di masukan kedalam keranjang, bergegas pergi.

***

Di hutan.

Jane mulai memetik tanaman obat itu, ekor matanya selalu melirik ke pulau sembrang. Rasa penasarannya selalu timbul. "Bear, apakah kita diperbolehkan pergi ke pulau itu. Aku sangat menginginkan tinggal disana, tempatnya sangat indah, namun begitu dingin." Beruang kecil itu hanya mengedipkan mata bundarnya. Jane, melangkah dengan pelan, untuk ke sekian kalinya dia melanggar aturan yang diberikan oleh ayahnya. Jane tertawa dengan riang menari-nari, memainkan salju. Rasa begitu bergelinjar ketika bertabrakan dengan suhu tubuhnya yang hangat. Seseorang loncat dari atas pohon membuat Jane kaget bukan main. Mereka saling tatap cukup lama.

"Bukankah kau wanita tempo lalu yang mencairkan es disini." Jane ketakutan, beringsut mundur.

"Aku melakukannya dengan tidak sengaja,"bela Jane. Seseorang itu mendekat, terus menyudutkan, tanpa terasa memasuki kawasan kerajaan api. "Tetap saja kau harus dihukum."

Jane membusungkan dada, memandang dengan angkuh. "Aku tidak melakukan apapun, dan aku tidak takut denganmu." Seseorang itu tertawa, merasa tertarik. Hendak memperdekat jarak namun rasa panas mulai menjalar mengusik badannya. Otomatis langsung mundur, hingga mereka terhalang dinding pembatas.

"Kau bisa masuk dengan leluasa ke sini, mengapa aku selalu terasa terbakar." Jane tersenyum tipis, mengejek.

"Karena kau lemah."