Pelan-pelan, aku membuka mata. Rasanya baru beberapa detik setelah aku tergilas truk itu. Sakitnya masih terasa menyengat di sekitar pinggangku.
Dimana aku?
Hal pertama yang kulihat adalah seorang wanita muda, matanya biru cerah dengan rambut putih tergerai sepanjang bahu, kulitnya putih seputih susu. Dia cantik, atau bahkan lebih dari itu.
Wanita itu tampak menangis seraya tersenyum, linangan air mata turun meniti pipinya yang tirus tersebut.
Aku yang masih samar-samar menyadari jika ada seseorang lagi berada di sebelahnya, kelihatannya seorang pria. Dia menempelkan kepalanya ke pundak perempuan itu.
Mereka sepertinya sepasang suami istri. Kukira mereka terlalu muda untuk menikah.
Pria di sebelah perempuan itu lalu mengulurkan tangannya kepadaku, tapaknya terasa keras saat mengangkatku ke dekatnya. Tunggu ... tubuhku muat di telapak tangan pria ini?
Apa yang terjadi?
"***** ****** **** ******!"
Pria itu bicara dengan bahasa yang tak kupahami sedikitpun. Bahasa apa yang dia gunakan? Aku tidak yakin pernah mendengarnya sebelumnya, tapi dialeknya mirip bahasa latin.
"*** *** *******."
Perlahan, pandangku makin jelas melihatnya. Pria itu memiliki wajah tampan dengan mata beriris merah, bibir tipis menawan, dagu tegas yang ditumbuhi sedikit jambang, rambut biru langit dan ...
Telinganya! Aku baru sadar bila dua orang di depanku sama-sama bertelinga runcing.
Apakah mataku membohongiku? Tidak mungkin ada manusia dengan ciri fisik semacam itu. Kecuali kedua orang di depanku melakukan modifikasi tubuh, penampilan mereka seperti makhluk mitos yang hanya ada di film-film fantasi.
Elf ... akankah mereka nyata? Apa kedua orang di depanku adalah makhluk mitos itu?
Ah, tidak ... tidak. Aku pasti bermimpi. Yap! Semua ini tidak lain hanya sebatas ilusi!
Aku pun mengulurkan tangan untuk membuktikan kebohongan ini. Tapi, lagi-lagi aku dibuat terkejut bukan main. Tanganku tak bisa menggapai pria itu!
Lenganku menjadi pendek, jari jemariku mengecil. Saat aku menggerakkan kakiku pun aku merasa sulit menjangkau ruang. Semua anggota gerakku memendek seperti bayi.
Aku berusaha berseru, namun yang keluar dari kerongkonganku hanyalah ...
"Eyaa!"
Sebuah tangis singkat yang membuat pria di depanku panik dan menyerahkanku pada perempuan tadi. Dia menimang-nimangku, lantas membuka bajunya dan menyodorkan payudaranya kepadaku.
Entah apa yang kupikirkan, namun naluriku berkata untuk meraihnya.
Apa yang terjadi sebenarnya? Apakah aku dilahirkan kembali setelah tertabrak truk itu? Aku tidak menyangka bila reinkarnasi itu nyata.
"*** *** ***?"
"**** **** **** ***."
Lagi-lagi mereka bicara dalam bahasa aneh tersebut. Kebingunganku semakin bertambah.
"*** *** **** **** **** ***."
Pria itu merangkul perempuan yang tengah kususu ini. Wajah keduanya penuh haru, melebur dengan tangis yang pecah dari kebahagiaan keduanya. Pria itu lalu mendekatkan jarinya pada tanganku, lagi-lagi instingku menyuruh untuk memegangnya.
"****, **** **** ***?"
"****! **** ****."
Lantas, pria itu kembali membuka mulut dan mengucapkan beberapa patah kata yang tak kumengerti tersebut.
Aku hanya bisa menangkap dua patah kata yang terumbar dari bibir pria itu, seolah aku memahaminya sebagai sebuah nama.
"... Saelihn Miabella."
Itulah yang kudengar, sebelum mataku kembali memejam. Rasa kantuk tiba-tiba saja menyerang.
•••
Rasanya waktu berlalu begitu cepat setelah aku memejamkan mataku. Saat aku menyadarinya, hari telah berganti dan matahari telah terbit di ufuk timur.
Aku tidak tahu berapa lama aku tertidur, namun aku tahu itu memakan waktu yang cukup banyak.
Aku masih berusaha memikirkan apa yang terjadi padaku. Dimana aku berada saat ini? Dan kedua elf itu ... jika dugaanku benar maka aku dilahirkan kembali dan mereka adalah orang tuaku.
Huh. Ini sulit diterima akal, namun kejadian ini benar-benar terjadi. Apalagi, aku dilahirkan kembali di dunia fantasi, dunia yang harusnya hanya ada di imajinasi belaka!
Butuh waktu seminggu hingga aku memahami arti beberapa patah kata bahasa yang orang tua baruku ucapkan. Yang kumengerti pertama kali adalah nama orang tuaku.
Ibuku, perempuan bermanik biru cerah itu, namanya adalah Lunaria Miabella. Dan nama ayahku adalah Amerio Miabella.
Selama beberapa bulan hingga aku sanggup menggerakan tubuhku, aku hanya berbaring dan sesekali menangis bila merasa lapar. Seperti bayi pada umumnya.
Tapi, lama kelamaan aku mulai merasa kalau aku ketagihan ASI ibuku sehingga aku terus memintanya bahkan jika aku tidak lapar sekalipun. Rasanya nikmat, sungguh. Aku tidak bohong. Jika orang-orang mengatakan rokok adalah candu mereka, maka ASI ibu adalah canduku.
Berbulan-bulan kemudian, aku mulai bisa menggerakan tubuhku lebih bebas. Tulang-tulangku semakin kuat dan kelincahanku bertambah.
Aku sudah bisa merangkak saat berumur 7 bulan. Sejak saat itu, karena rasa penasaranku aku sering menjelajah seisi rumah menengok ke luar jendela untuk mencari tahu lebih banyak tentang dunia baru ini.
Karena itu, aku pernah terjatuh dari atas jendela saat berusaha memanjatnya. Beruntung aku tak mengalami luka apapun. Aku juga tak menangis saat itu terjadi.
Tapi, sejak saat itu ibu menjadi sangat protektif kepadaku. Dia enggan melepaskanku walau sedetik saja dari pengawasannya.
Dia selalu membopongku kemanapun dia pergi dan hanya melepaskanku saat dia rasa lingkungan di sekitarku aman.
Perhatian seperti itu yang tak pernah kudapat dahulu, dekapan hangat dari tangan seorang ibu. Kasih dari orang tuaku di dunia baru ini melebihi apapun yang orang tuaku dulu pernah berikan untukku. Itu sesuatu yang selama ini kuharap-harap.
Pemandangan di sekitar rumah kami adalah hamparan padang rumput luas, pola pemukiman desa yang renggang membuatku leluasa menyaksikan panorama indah ini setiap harinya.
Dunia baru ini begitu cantik dengan langit birunya dan udara segar bak di pegunungan. Suasana disini begitu tentram, tak ada sedikit pun kebisingan kecuali suara jangkrik di kala malam. Amat berbeda dengan tempatku dulu tinggal di perkotaan Tokyo.
Aku mulai belajar bicara ketika umur 10 bulan. Saat itu aku sedikit demi sedikit mulai paham bahasa yang orang tua dan orang-orang di desa kami gunakan.
Aku sebenarnya cukup terkejut memahami bahasa asing ini dengan begitu cepat. Mungkin karena insting dan usiaku? Yap, kukira karena itu. Dan dialek bahasa yang kami gunakan mirip bahasa ibrani.
Namun yang lebih mengejutkanku–walau aku telah menduga ada hal semacam itu di dunia ini–adalah saat aku berusia satu tahun.
Aku melihat ibuku menyentuh air di ember yang dia bawa untuk menyirami tanaman, lantas air itu naik dari dalam ember dan melayang di dekat tangan ibu seperti gelembung.
Aku terpana tentu saja. Itu semakin membuktikan kalau aku benar berada di dunia fantasi!
Menakjubkan, ibu melakukan beberapa gerakan dan menyirami tanaman dengan sihir itu ... Ah, bukan. Lebih tepatnya, itu seperti pengendalian dalam serial animasi yang pernah kutonton dulu.
"Ibu ... bu!" panggilku yang masih belum sepenuhnya bisa bicara. Namun, ibu sama sekali tidak mendengarku. Dia terlalu fokus menyirami tanaman.
Penasaran aku bagaimana cara ibu melakukannya.. Aku mendekat untuk bisa memperhatikan lebih jelas, sungguh menawan bagaimana cara ibu memperagakan gerakan-gerakan itu untuk mengatur air yang dikendalikannya.
Namun, karena saking penasarannya aku mengabaikan gerakan ibu selanjutnya yang mengarah kepadaku. Air itu pun menghantamku dengan cepat dan membuatku terjungkal.
"Astaga, Saelihn!" Panik, ibu segera membopongku ke dalam rumah.
Tenang saja, aku tidak apa-apa. Hanya luka memar di dahi dan sekitar mata kananku. Ada juga luka sobek yang cukup dalam di dekat pipi kiriku karena tergores batu saat jatuh.
Haha, itu tidak menyakitkan. Tapi lukanya akan membekas, sih.
Dan, yah ... itu seperti pukulan selamat datang untukku yang terlahir kembali di dunia baru ini. Dunia dimana aku mendapat kesempatan kedua.