Chereads / Reborn As An Elf In A World Of Sword And Magic / Chapter 3 - 2. Elf berwajah babi

Chapter 3 - 2. Elf berwajah babi

Sihir. Ya. Hanya itu sebutan dari apa yang ibu lakukan kemarin. Klise bukan? Di setiap acara tv atau anime tentang dunia fantasi selalu ada yang namanya sihir.

Apakah pencipta dunia ini tidak kreatif menamai kekuatan yang ada di dunianya?

Ataukah dia terlalu malas mencari nama lainnya. Terlepas hal itu, sihir bukanlah sesuatu yang bisa dipandang sebelah mata meski sebutannya yang membosankan.

Ketika aku berumur empat tahun, aku mulai mempelajari tentang sihir saat ibuku mengajariku membaca dan menulis. Tulisan yang ada di dunia ini cukup rumit karena terdiri dari huruf dan pasangan-pasangannya. Bunyi serta penyebutannya banyak yang sama namun jika tulisannya berbeda maka artinya beda pula.

Dan itu baru bahasa kaum elf yang kupelajari, masih ada banyak bahasa di dunia ini dengan aturan serta karakter yang berbeda-beda. Bahasa elf sendiri terbagi menjadi 3 macam berdasarkan bangsa yaitu Aina, Maliki, dan Ifta.

Aku mempelajari bahasa elf Aina.

Segera setelah aku bisa sedikit membaca tulisan yang ada, aku mulai mengambil buku-buku yang ada di rumah dan membaca semuanya.

Rupa-rupanya, sihir di dunia lebih menarik dari yang kukira. Di dunia ini seseorang hanya bisa menggunakan sihir jika telah melakukan kontrak dengan beast atau roh alam.

Jika telah memenuhi syarat tersebut, dalam diri seseorang akan muncul sebuah ruang abstrak yang disebut [ Astral Slot ]. Itu adalah tempat untuk menampung energi dari roh atau beast yang dikontrak. Sihir seseorang ditentukan dari roh dan beast apa yang mereka kontrak.

Kedengarannya simpel bukan? Tapi masalahnya kau harus membunuh beast terlebih dahulu untuk melakukan kontrak dengannya dan pergi ke alam baka untuk melakukan kontrak dengan roh.

Pencipta dunia ini adalah sosok yang ribet. Sungguh.

Kukira cukup sudah mempelajari soal sihir, aku bisa melanjutkannya kapan-kapan. Dan sekarang, tinggal membaca buku lainnya.

Kurasa aku akan membaca tentang sedikit dari dunia ini. Buku merah dengan blok besi warna abu-abu yang memuat judulnya itu sepertinya menarik—

"Saelihn, di mana kau?"

Ibu memanggil, dia kedengaran gugup. Aku menyahut dari kamarku dan segera beranjak menghampirinya. Alangkah kagetnya ketika aku melihat ibu sedang bersama seorang pria di depan pintu.

Siapa dia? Wajahnya bertampang seperti babi berjambang, jelek sekali. Aura yang tak menyenangkan menguar bersama bau badannya yang menyengat. Tak kusangka sampah bisa berjalan.

"Ada apa, ibunda?" Aku mengabaikan pria elf buruk rupa itu.

"Tolong bawakan bekal ini ke ayahmu, ya? Dia sedang ada di ladang."

Aku menerima keranjang bekal dari ibu, isinya adalah sup ikan dan sepotong roti yang cukup menggiurkan. Aku jadi lapar, rasanya aku ingin memakannya. Tapi aku tak mau durhaka pada ayah, bisa-bisa aku dikutuk jadi ikan.

"Baik, ibunda." Aku melenggang melewati pria elf buruk rupa tadi.

Dia tampak sedikit menyeringai dan berkomentar tentangku. "Gadis pintar." Begitu katanya.

Aku tak tahu apa urusannya datang ke rumah dan menemui ibu jadi aku segera berlari menuju ke ladang tempat ayahku dan pria-pria desa lainnya bekerja.

Keluargaku bukanlah keluarga yang kaya raya. Ayahku hanya seorang petani dan ibuku hanya bekerja mengurus rumah tangga. Meski begitu, kami saling menyayangi terlepas keadaan yang ada. Aku tak pernah mendengar ayah dan ibu mengeluh di depanku dan selalu tersenyum.

Keadaan rumah selalu damai tanpa bentakan dan makian, berbeda dari keluargaku dulu. Aku sama sekali tidak dapat merasakan ketenangan maupun rasa nyaman di sana.

Apalagi setelah kehadiran wanita jalang itu.

Aku lebih bahagia di dunia ini.

Melewati sebuah jembatan batu, aku sampai di ladang tempat ayah bekerja. Gandum-gandum yang telah matang sedang dipanen oleh pria-pria desa, tampak sejumlah ikat batang gandum tertata rapi dijejerkan di bekas ladang yang telah dipanen sebelumnya.

Aku menghampiri ayah yang sedang beristirahat di bawah sebuah pohon rindang bersama rekan-rekan lainnya. Ketika aku datang, wajahnya yang lesu berubah riang untuk menyambutku.

"Lina, kamu datang kesini?" tanyanya.

"Aku membawa bekal untuk Ayahanda." Kuberikan keranjang yang kupegang.

"Terima kasih, Lina." Dia mengelus kepalaku. Dadaku terasa hangat tiap kali ayah melakukannya.

Aku pun duduk bersama ayah, sekedar melepas penat selepas berjalan cukup jauh untuk sampai ke sini. Sementara ayah memakan bekal yang ibu buat, aku mendengarkan percakapan dari orang-orang.

Mereka bergosip sih. Hmph, dimanapun pasti ada orang yang bergunjing.

Aku mendengar jika tuan tanah di desaku menginginkan penghasilan lebih dari ladang. Karena itu penduduk desa yang bekerja sebagai petani harus memperluas lahan dan bekerja dua kali lebih keras dari sebelumnya.

Namun, petani-petani itu tampak kesal memhicarakan topik selanjutnya. Itu sebab, meski hasil panen meningkat dua tahun terakhir tetapi upah yang diterima mereka masih sama saja.

"Brengsek itu ingin menguasai semua laba panen!"

Banyak yang menimpali elf tua itu. Ayahku tiba-tiba mengalihkan wajahku dan menutup telingaku.

"Jangan didengarkan," ucapnya.

Ayah berusaha menghindarkanku dari pengaruh buruk kata-kata kasar pria-pria itu. Tapi itu tak berguna, sebab aku masih bisa mendengar percakapan mereka yang lantang.

Kudengar kabar jika upah petani-petani itu masih sama saja karena dipotong oleh utang yang mereka miliki. Tetapi menurut mereka itu hanya skema tuan tanah untuk memperbesar laba yang didapatnya.

•••

Aku dan ayah pulang ketika pekerjaan di ladang sudah selesai. Dia menggendongku di pundaknya yang kekar. Rasanya menyenangkan! Sudah lama aku tak merasa senang seperti saat ini.

Ah, tak kukira dari momen seperti ini aku merasa bahagia ...

Momen sepele yang bisa dilupakan dengan mudah suatu saat nanti ...

Momen seperti ini malah yang memberikanku kebahagiaan seperti ini.

Kami sampai di rumah tak lama kemudian, sekitar 15 menit berjalan dan kami pun tiba. Senja telah mewarna angkasa menjadi oranye, kudengar suara burung hantu dan gagak yang bersahutan menyambut malam.

Saat tiba di halaman rumah, tiba-tiba kami berhenti ketika pria buruk rupa mirip babi itu keluar dari balik pintu rumah kami.

"Tuan Helling ...."

Ayah menurunkanku, suaranya gugup dan gemetar.

"Ah, Amerio. Bagaimana pekerjaan di ladang, apa sudah selesai semuanya?" Pria itu bertanya.

Dari reaksi ayahku saat bertemu dengannya aku bisa memastikan jika pria berwajah babi itu adalah sosok yang dihormati. Hmm, diakah tuan tanah di desa kami? Tidak berwibawa sekali penampilannya.

"Sudah, Tuan Helling. Tinggal membawanya ke gudang besok," balas ayahku.

Pria babi itu tertawa. "Hahaha, bagus ... bagus. Dan jangan lupa bayar utangmu padaku, Amerio. Ingat kalau bunganya akan terus mekar setiap dua bulan. Selama belum lunas, aku akan terus datang kesini."

Lelaki itu melangkah bagai angin sesaat kemudian, aku sama sekali tak mampu melihatnya! Ayahku mengepal kencang begitu pria babi itu pergi. Ketika aku melihatnya, wajah ayah marah dan merah. Ada air mata di pojok netranya, sudah membendung dan siap terjun kapan saja.

Kenapa ayah menangis?

"Ayah ... ada a—"

Baru kusadari perihal hutang itu dan kedatangan si Helling babi ke rumah kami. Wajahku pucat pasi. Tangan mungilku meremas celana kusam ayah dan menyadarkannya dari ketertegunannya.

"L–Lina ...."

Dia segera berlutut dan membopongku. Kurasakan degup jantungnya yang berdebar keras seperti ratusan tapal kuda menebah tanah.

Kami masuk ke rumah dengan langkah gugup. Ayah menyuruhku langsung masuk ke dalam kamar, tapi aku seorang pemberontak. Aku mengabaikan himbauannya dan diam-diam mengikuti ayah yang mencari-cari ibu di seluruh penjuru rumah.

Dia tampak begitu panik, air matanya berlinang. Ayah kelihatan sangat kacau dan tak dapat menahan emosinya.

"Lunaria!"

Ayah temukan ibu tengah membasuh mulutnya di kamar mandi. Pakaian ibu kelihatan kacau, wajahnya basah. Itu bukan sekedar karena guyuran air, lebih seperti keringat. Sorot matanya mati, maniknya redup seremang lilin yang hendak padam. Linangan air mata kering membekas di sepanjang pipi ibu.

Ayah langsung memeluk ibu begitu menemukannya. Tangis pelan kedua orang tuaku pecah saat itu juga. Ini kali pertamanya aku merasakan duka di rumah ini, suatu hal yang tak pernah kuinginkan terjadi.

Melihat mereka hancur seperti itu membuat nyeri dalam hatiku. Dadaku sesak, tak kuasa aku menahan rasa marah dan sedihku. Air mataku mengalir bersama kebencian yang terpantik di sanubariku.

Tanganku mengepal erat ... sangat erat!

Saking eratnya sampai aku melukai diriku sendiri.