Chereads / Terima Aku Apa Adanya (21+) / Chapter 14 - 14. Rela Terluka

Chapter 14 - 14. Rela Terluka

Charlos masih bisa mengingat tatapan mata Rissa, menyiratkan kesedihan yang teramat dalam saat Rissa melihatnya bersama dengan Reva. Bahkan saat itu ia sedang bermesraan dengan Reva. Andai waktu bisa diulang kembali, Charlos ingin sekali sejak dulu menjelaskan siapa Reva sebenarnya. Ia jadi berpikir, Rissa telah melihatnya bersama dengan Reva, malahan Rissa pernah sempat menebak kalau Reva itu adalah pacarnya.

Sangat ironis mengingat betapa Rissa adalah satu-satunya orang yang menyetujui hubungannya dengan Reva. Padahal ternyata ia tidak benar-benar tahu bahwa Reva adalah seorang pria.

Sekarang ini perasaannya campur aduk. Ia kesal karena pada intinya semua orang di dunia tidak pernah setuju hubungannya dengan Reva. Tapi setidaknya ia merasa senang karena Reva setuju untuk tinggal di Bandung untuk beberapa waktu. Walaupun mungkin suatu hari nanti Reva akan kembali ke Kanada, tapi mereka akan melakukan hal-hal yang menyenangkan di Bandung untuk waktu yang cukup lama. Mereka telah berencana akan liburan natal bersama.

Di sisi lain Charlos masih memikirkan Rissa. Di tengah kenangan indah bersama Reva selalu saja muncul wajah Rissa. Saat Rissa menunduk sambil meneteskan air mata. Entah mengapa hatinya terasa sakit. Seolah-olah ia telah mengkhianati Rissa. Wanita itu benar-benar salah paham. Entah bagaimana ia akan menjelaskan semuanya pada Rissa. Sesungguhnya ia sama sekali tidak perlu menjelaskan apapun pada wanita itu. Untuk apa?

Charlos mengeluarkan benda mungil berkilau dari saku jasnya dan kemudian mengamatinya, jepit rambut Rissa yang waktu itu terlepas. Benda itu berbentuk bunga dengan kilau manik-manik di sekelilingnya. Jepit itu berkilauan di rambut Rissa yang ditata ikal seperti kesukaannya. Benar-benar cantik.

Charlos menggelengkan kepalanya. Dalam hatinya, ia tidak bisa menyangkal kalau ia juga merindukan Rissa. Tapi tidak. Ia tidak boleh memikirkan Rissa terus menerus. Ia telah mengambil keputusan bahwa ia akan mencintai Reva dan selamanya akan tetap begitu.

Tiba-tiba pintu diketuk. Buru-buru Charlos memasukkan jepit itu ke saku jasnya. Rendra masuk. "Permisi, Pak. Ada seseorang yang ingin bertemu..."

Belum selesai Rendra bicara, Reva masuk ke dalam sambil sedikit menabrak bahu Rendra. Sekertarisnya itu langsung berhenti bicara, berbalik dan keluar ruangan sambil melirik Reva dengan wajah tidak suka, yang tidak dipedulikan oleh Reva.

Reva tersenyum seperti biasa, menghampiri Charlos. Ia berdiri di belakangnya lalu tangannya menyusup melewati jas dan kemejanya, masuk ke dalam kerah baju Charlos, meremas bahunya sedikit.

"Kamu pasti sangat lelah. Biar aku pijit ya," suaranya semanis madu, dibisikkan perlahan di telinga Charlos. Charlos mengerang.

"Rev..." gumam Charlos.

"Ada apa, Charl? Apa aku mengganggumu, Sayang?" Reva menghentikan tangannya. Charlos berdiri berhadapan dengannya.

"Aku merasa tidak tenang. Seperti ada sesuatu," Charlos mengernyitkan dahinya. Reva mendadak cemberut.

"Pasti soal wanita itu kan," Reva mencemooh. "Aku tidak heran. Cara dia melihat kita. Aku tahu, dia menaruh perasaan padamu, Charl."

Charlos tidak terkejut mendengarnya, seolah itu adalah hal yang sangat jelas. "Kenapa kamu begitu yakin? Dia justru menyetujui hubunganku denganmu, Rev. Bagaimanapun juga itu tidak merubah apapun." Charlos menggelengkan kepalanya.

"Terserah itu benar atau tidak, aku tidak mau ada orang lain di antara kita. Aku tidak akan segan-segan melakukan apa pun juga untuk merusak, menghancurkan siapa saja yang berani mengganggu hubungan kita," Reva menyipitkan matanya. Nada suaranya sangat tenang dan serius.

Mereka bertatapan selama sekian detik. Jantung Charlos mendadak berpacu. Tiba-tiba Reva terkekeh. "Oh, ayolah! Kamu tidak usah khawatir. Selama di hati kamu hanya ada aku seorang, semuanya akan baik-baik saja."

Charlos tidak merasa baik-baik saja. Otaknya berpikir keras, sepertinya akan ada hal buruk yang terjadi. Ia menarik napas, mencoba menenangkan hati dan pikirannya. Sedikit tersenyum untuk memanipulasi ketakutannya pada Reva dan dengan mudahnya Reva membalas senyumannya. Dengan lembut Reva mengecup pipinya.

"Rev, maaf. Saat ini aku benar-benar harus bekerja. Kita akan bertemu nanti malam. Kamu bisa jalan-jalan dulu atau..."

"Atau aku akan menunggu saja di sini sementara kamu bekerja," sambung Reva. Ia berjalan mengitari meja Charlos kemudian duduk di sofa. Kakinya ditumpangkan sebelah. Wajahnya polos tanpa dosa. Charlos tidak bisa menjawab Reva. Ia menurut saja. Charlos kembali duduk di kursinya dan meneruskan pekerjaannya, yang terasa sangat berat saat itu, karena tatapan Reva tidak pernah lepas darinya.

***

Ajaibnya hari ini Rissa masuk kerja. Sekalipun mimpinya sangat buruk, tidurnya tidak nyenyak, matanya benar-benar sembab, wajahnya pucat, kepalanya berdenyut-denyut. Rissa tetap menjalankan pekerjaannya dengan profesional.

Beberapa orang yang bertemu dengannya, melihatnya dengan tatapan yang aneh. Tidak ada senyuman ceria seperti biasa. Suaranya agak serak karena ia terus menerus kehujanan dan sering kali pulang malam. Esther melihatnya kemudian menyapa seperti biasa. Tanpa ampun, Esther memberinya pekerjaan yang sangat banyak. Dengan menurut, Rissa mengerjakan segala yang diperintahkan Esther tanpa ada kesalahan.

Sepertinya Esther tahu apa yang telah terjadi padanya. Rissa berpikir sepertinya dalam hati Esther merasa : puas kamu, sudah aku peringatkan, sekarang kamu rasakan akibatnya. Rissa akan menelan semuanya bulat-bulat. Ia tidak akan melawan apapun yang akan Esther lontarkan. Tapi tidak ada satu patah katapun yang Esther katakan padanya. Rissa tidak punya keberanian untuk menceritakan apa yang terjadi kemarin.

Pukul empat tiba. Semua staf sudah pulang. Tinggal Rissa seorang yang masih mengerjakan setumpuk kerjaan. Matanya perih menatap terus layar monitor. Ia mengerjapkan matanya beberapa kali.

Telepon kantor berdering. Ternyata satpam yang menelepon, memberitahunya bahwa ada seseorang yang menunggunya di bawah. Tanpa bertanya siapa orangnya, Rissa berkata kalau saat ini ia sedang tidak mau diganggu. Pak satpam menurut saja dengan apa yang Rissa katakan.

Rissa terus saja bekerja, membiarkan orang itu menunggu di bawah sampai pekerjaannya selesai. Hujan mulai turun. Dilihatnya jam dinding sudah pukul setengah tujuh. Ia terkejut. Dengan buru-buru ia membereskan pekerjaannya dan turun ke bawah. Di tangga ia bertemu dengan pak satpam yang hendak naik untuk mengunci pintu.

Ketika dilihatnya ke luar, tidak ada siapa pun yang menunggunya. Rissa tidak peduli. Tapi kemudian ia teringat untuk mengecek tasnya. Ponselnya tertinggal di kantor. Rissa menghela napas. Ia kembali lagi ke kantor, meminjam kuncinya ke satpam. Pak satpam menawarinya untuk menemaninya ke dalam, tapi Rissa menolaknya, takut merepotkan, jadi ia masuk sendiri.

Di dalam cukup gelap. Matahari sudah tenggelam sepenuhnya. Rissa menyalakan tombol lampu. Dengan santai Rissa naik tangga, membuka kunci pintu kantor yang terbuat dari kaca dan masuk ke dalam. Di dalam lebih gelap lagi. Dari pintu kantor ke mejanya cukup jauh. Untung saja ia langsung menemukan ponselnya di meja. Ia menyalakan ponselnya, baterainya lemah. Ternyata ada sepuluh panggilan tak terjawab dari nomor tidak dikenal.

Tiba-tiba pintu kantor ada yang mengunci, lampu di tangga dimatikan. Jantungnya berdegup kencang, ia bisa merasakannya sampai ke leher. Dengan terburu-buru, Rissa berjalan ke arah pintu keluar. Pintunya benar-benar terkunci.

"Pak! Pak, buka pintunya! Saya masih ada di dalam! Pak!" Rissa berteriak-teriak sambil menggedor pintu, tapi tidak ada yang mendengarnya. Ia melihat ke luar pintu kaca tersebut tapi tidak ada seorang pun di luar. Di sana sangat sepi, tidak ada suara apa pun selain suara napasnya yang memburu.

Rissa menekan ponselnya, sekarang baterainya benar-benar mati. Dengan panik, ia terus menerus menekan ponselnya. Tidak ada hasil. Kepalanya berdenyut-denyut. Ia meraba-raba mencari tombol lampu. Ia menemukannya. Baru saja sedetik ruangan menjadi terang, lampu di dekat pintu meredup kemudian mengeluarkan suara seperti kaca pecah. Ruangan kembali gelap. Kali ini listriknya yang mati.

Rissa menjerit sambil menggedor-gedor pintu lagi lebih keras dari sebelumnya. Masih berharap pak satpam akan mendengarnya. Rissa mulai menangis sampai terduduk di lantai di depan pintu. Ia bisa mendengar suara hujan yang semakin membesar.

Saat ini Rissa hanya bisa berdoa. Semoga Tuhan menolongnya. Rissa memejamkan matanya, berusaha fokus untuk berdoa. Setelah beberapa menit, ketenangan mulai menyelimuti walaupun jantungnya masih berdetak kencang.

Tiba-tiba ada suara orang yang sedang naik tangga. Harapan itu masih ada. Rissa menghela napas lega. Orang itu membawa ponsel sebagai penerangan.

"Rissa! Apa kamu ada di sana?" seru orang itu. Suaranya seperti yang Rissa kenal, bukan seseorang yang ia harapkan. Tapi saat ini hanya orang itu yang bisa diandalkannya.

"Satria? Iya aku di sini!" jawab Rissa. Ia mulai berdiri, mengerjapkan matanya, silau terkena cahaya dari ponsel Satria.

"Rissa! Kamu baik-baik saja?" tanya Satria. Rissa mengangguk sambil mengelap air matanya. "Aku tidak punya kuncinya. Satpamnya tidak ada. Dari tadi aku menunggumu di bawah tapi kamu tidak pulang-pulang. Jadi aku diam saja di mobil. Tapi aku khawatir, jadi aku naik."

"Maafkan aku," kata Rissa.

Satria mendecak kesal, "Bagaimana ceritanya kamu bisa terkunci di sini? Apa sebaiknya aku cari lagi satpamnya?"

"Jangan! Satria, jangan tinggalkan aku! Aku takut."

"Oh... aku... eh jangan takut." Dari kegelapan Rissa masih bisa melihat Satria agak salah tingkah.

"Aku akan segera kembali."

Satria turun dengan sedikit terhuyung-huyung. Rissa sendirian lagi tapi kali ini dia bisa lebih tenang karena ada Satria yang menolong.

Rissa menunggu cukup lama, Satria tidak cepat kembali. Udara terasa sangat dingin. Ia menggosok kakinya sambil berjongkok. Kemudian cahaya ponsel kembali terlihat.

"Rissa!" suara Satria.

"Satria! Kamu lama sekali?"

"Aku tidak tahu satpamnya ada di mana. Mungkin mereka ada di dalam pabrik, tapi aku tidak berani masuk. Aduh. Bagaimana ini?"

Satria melihat di sudut pintu ada kotak kaca berisi gas pemadam kebakaran. Dia mengigit ponselnya, lalu bersiap mengambil kuda-kuda. Ia meninju kotak itu sehingga kacanya hancur berkeping-keping. Serpihan kacanya membeset tangannya sampai berdarah. Satria menarik tabung merah itu, ternyata cukup berat.

"Rissa, kamu mundur!" perintah Satria. Rissa langsung menurut.

Satria mengetuk pintunya beberapa kali, mencoba menilai. Lalu tanpa ragu, Satria melempar tabung tersebut ke arah pintu kaca. Terdengar suara pecahan kaca yang cukup memekakan telinga. Rissa menjerit. Satria melancarkan tinjunya lagi ke pintu kaca. Membuat celah sebesar mungkin supaya cukup untuk Rissa bisa keluar dari tempat itu.

"Ayo keluar!" seru Satria, tangannya memberi tanda. Rissa bisa melihat darah menetes dari tangan Satria.

Rissa memungut tasnya yang penuh dengan serpihan kaca. Roknya yang ngepas membuatnya susah untuk keluar melalui celah yang Satria buat. Tapi kemudian ia berhasil keluar.

Rissa mengambil tangan Satria, memperhatikannya. Ada kaca yang menempel pada tangannya. Rissa mencabutnya. Satria mendesis.

"Tangan kamu berdarah. Maafkan aku ya," Rissa mulai menangis lagi.

"Hei! Jangan menangis lagi, Rissa. Yang penting kamu sudah selamat. Ayo kita pergi dari sini!"

Rissa menarik ponsel Satria kemudian berjalan duluan. Satria mengikutinya.

Ketika mereka sudah di bawah, pak satpam berlari menghampiri mereka dengan memakai payung. "Ada apa ini? Tadi listrik di ruangan kantor tiba-tiba mati. Apa terjadi sesuatu?"

"Bapak jahat sekali! Saya masih di dalam. Kan saya bilang mau mengambil ponsel saya yang tertinggal. Kenapa pintunya dikunci? Lampunya dimatikan pula!" kata Rissa jengkel.

"Apa? Saya tidak pernah mengunci pintu dan mematikan lampu. Dari tadi saya ke pabrik, berkeliling seperti biasa," jawab pak satpam heran.

Mendadak bulu kuduk Rissa berdiri. "Kalau begitu siapa yang melakukannya? Sebaiknya Bapak memeriksanya. Kunci kantornya ada di mana?"

Pak satpam masuk ke dalam pos dan membuka laci. Matanya membelalak karena kuncinya ada di dalam sana. "Ini ada di sini. Siapa yang telah melakukannya?" Ia menggelengkan kepalanya.

Rissa hanya bisa menatap kunci itu dengan ngeri.

"Itu tangannya kenapa?" Bapak satpam menunjuk tangan Satria.

"Saya tidak tahu kuncinya disimpan di mana, jadi saya memecahkan kaca pintunya. Maaf ya, Pak. Beri tahu saya saja kerugiannya berapa. Nanti saya ganti," kata Satria.

Pak satpam tampak bingung. Kemudian mereka segera masuk ke mobil dan pulang. Hujan semakin membesar. Mereka sempat berhenti di apotek. Rissa membeli beberapa obat untuk luka di tangan Satria yang sekarang ini masih dibungkus tisu.

Mereka tiba di rumah Rissa. James yang membuka pintu.

"Kak, kenapa?" tanya James kaget melihat Satria yang agak pucat dan tangannya dibebat tissue yang penuh dengan bercak darah.

"James, tolong ambilkan kapas dan air. Jangan lupa beri antiseptik," perintah Rissa. James langsung mengerjakannya.

Kemudian Rissa membersihkan luka di tangan Satria, memberinya obat luka, dan menutupnya dengan plester.

"Oke. Selesai. James, tolong buatkan teh manis untuk Satria." James mengangguk, dia segera ke dapur.

Satria terus saja memandang Rissa. Ia tersenyum lemah. "Kamu cantik ya kalau lagi panik."

"Aku tidak panik!" bentak Rissa.

Satria menjengit. Sepertinya Rissa agak keterlaluan. Tidak seharusnya ia berkata sekasar itu. Rissa mendecak kesal.

"Maaf. Aku tidak bermaksud..."

"Kamu tidak perlu minta maaf karena itu bukan salahmu. Kamu cukup bilang terima kasih," sambung Satria.

"Emmm... terima kasih." jawab Rissa terpaksa.

Satria tersenyum lebih lebar. Ia menyandarkan punggungnya ke kursi. Rissa memperhatikan di rambut Satria ada serpihan kaca. Ia mengambilnya tapi kemudian Satria menarik tangannya dan menggenggamnya. Mereka saling bertatapan cukup dekat.

"Rissa, aku khawatir. Kemarin kamu... kamu kelihatan sangat sedih. Aku masih belum mengerti apa yang terjadi padamu. Makanya aku datang ke rumahmu, tapi kamu belum pulang. Aku meneleponmu, tapi kamu tidak angkat."

Rissa teringat ponselnya kemudian ia menarik tangannya dari tangan Satria, membuka tasnya dan mengecas ponselnya.

"Sekali lagi terima kasih, Satria. Kamu sudah menolongku hari ini," kata Rissa.

Kenapa kamu? Kenapa bukan dia? batin Rissa dalam hati

"Sama-sama, Riss. Aku senang bisa menolong. Aku rela terluka setiap hari supaya kamu bisa mengobatiku dan... supaya kamu bisa bicara semanis ini padaku." Satria tersenyum. Baru kali ini Rissa benar-benar memperhatikan wajahnya. Pria itu memang lumayan tampan. Ada sedikit jambang yang baru tumbuh di pipinya.

Tapi ketampanan saja tidak akan pernah cukup. Sekalipun memang Rissa merasakan jatuh cinta pada Charlos karena ketampanannya, tapi ada sesuatu hal yang berbeda yang membuat hatinya bergetar. Ah sudahlah. Semua itu sama sekali tidak ada gunanya dan benar-benar menyakitkan. Pria itu tidak akan pernah sama lagi di mata Rissa.

Bayangan Charlos di kepalanya mengacaukan segalanya. Rissa mengerjap-ngerjap. Ia tidak ingin mengingat Charlos lagi.

"Satria, kamu jangan bicara seperti itu. Aku tidak bisa..." Rissa menggeleng.

"Aku tidak akan memaksa. Maaf kalau aku terlalu tiba-tiba membicarakan tentang perasaanku padamu. Kalau kamu memang tidak menyukaiku, tidak apa-apa. Aku akan tunggu sampai kamu mau." Satria mendekatkan wajahnya ke Rissa yang langsung mundur.

James datang membawa teh manis untuk mereka. Adiknya sungguh tahu diri, dia tidak ikut menguping. James masuk ke dalam kamarnya.

"Satria," gumam Rissa.

"Iya, Rissa."

"Maaf. Aku belum sempat bilang selamat ulang tahun."

"Apa? Oh iya. Sudah lewat. Tidak apa-apa." Satria tertawa garing. Rissa tidak ikut tertawa. Wajahnya tampak muram.

Mereka terdiam sesaat. Rissa mempersiapkan dirinya untuk bertanya. "Aku ingin tahu. Sebenarnya seberapa dekat kamu dengan Charlos?" tanya Rissa, membuat Satria sedikit heran.

"Aku berteman dengannya sejak SMP. Memangnya kenapa?" Satria mengerutkan keningnya.

"Apa kamu tahu dia dulunya seperti apa?"

"Apa maksudmu?" Satria menyipitkan matanya. Rissa terdiam. "Ya... dia biasa saja. Dia memang teman yang sangat baik. Ada beberapa gadis yang pernah menyukainya. Bagaimanapun juga aku masih lebih tampan darinya."

Rissa berdeham, mengerjapkan matanya beberapa kali lalu menyugar rambutnya, menarik napas dalam-dalam. Wow. Satria memang penuh percaya diri.

"Kenapa?"

"Tidak ada apa-apa. Teruskan."

Satria sama sekali tidak tersinggung. Jadi ia melanjutkan ceritanya. "Baiklah. Tidak ada satu gadispun yang berhasil mendapatkan hatinya, kecuali satu. Gadis itu benar-benar memikat hati Charlos sampai dia bertekuk lutut. Mereka pacaran cukup lama. Aku yakin kamu pasti kenal dengan wanita itu."

"Kak Esther kan."

Satria terkejut. "Dari mana kamu tahu? Apa Esther sudah menceritakan semuanya?"

"Ya. Dia sudah bercerita. Dia meninggalkan Charlos supaya bisa menikah dengan Pak Anton. Aku sudah tahu. Yang aku ingin tahu, apa yang terjadi setelah itu?"

"Yah tidak heran kalau Charlos sampai depresi berat. Dia mengurung dirinya berhari-hari. Dia tidak mau keluar sama sekali. Dia tidak mau bertemu siapapun, termasuk aku. Setelah aku lulus kuliah, dia baru melanjutkan kuliahnya. Tidak berapa lama setelah ia kuliah, ayah kandungnya meninggal. Semenjak orang tuanya bercerai, Charlos tinggal bersama ibunya. Hidupnya agak sulit. Tapi setelah ayah kandungnya meninggal, ia mewariskan seluruh harta kekayaannya pada Charlos. Ya bisa dibilang, dia itu kaya mendadak." Satria mengangkat bahunya. "Sejak itu dia jadi rajin bekerja. Bisa dibilang, bisnisnya jadi semakin hebat."

"Apa setelah itu dia kenal dengan seseorang?" tanya Rissa.

"Hei! Tunggu dulu. Kenapa kita membicarakan Charlos?" Satria mengubah tempat duduknya. "Kamu tidak... Apa jangan-jangan kamu menolak aku karena dia?"

"Mmm... aku hanya penasaran saja. Aku pikir kamu orang yang paling dekat dengannya." Rissa berusaha terdengar secuek mungkin.

"Benarkah?" Satria tidak tampak mempercayainya. "Iya aku memang teman dekatnya, tapi itu dulu. Dia berubah. Sangat berubah. Semenjak dia mengenal si Reva, pemain saxophone itu..." Rissa menjengit mendengar nama itu, "...dia jadi aneh," sambung Satria. Tidak heran jika Satria mengenal nama Reva.

"Sebenarnya namanya bukan Reva," kata Satria. "Tapi Charlos selalu menyebutnya begitu. Orang itu yang membantunya melewati semua hari-hari pahitnya dulu. Entah bagaimana mereka bisa saling berkenalan, tapi Charlos sepertinya sangat bahagia."

Satria menyeruput tehnya dengan suara berisik. Kemudian ia meletakkan gelasnya dengan tangannya yang masih diperban.

"Em, Rissa kamu jangan kaget ya." Wajah Satria berubah serius. "Aku mau memberitahumu sesuatu, tapi jangan bilang siapa-siapa. Aku tidak ingin bergosip, tapi tidak ada salahnya juga kalau kamu tahu yang sebenarnya. Aku mengatakanya supaya kamu mempertimbangkan sesuatu jika memang... yah... jika memang kamu lebih menyukainya daripada aku."

Satria menunggu rekasi Rissa. Seolah-olah Rissa mungkin akan berubah semakin penasaran akan apa yang akan diucapkan Satria. Tapi sepertinya Rissa tahu ke mana arah pembicaraannya. Setelah dirasa aman, Satria melanjutkan pernyataannya.

"Sebenarnya... Reva itu..."

"Laki-laki," potong Rissa tiba-tiba. "Nama panjangnya Revaldo Manson."

"Iya! Iya! Betul!" kata Satria semangat. Ia mendesis karena menggerakan tangannya berlebihan.

"Lalu mereka berpacaran," kata Rissa datar.

"Apa kamu bilang?" Satria terperangah. "Apa mereka sudah benar-benar berpacaran?" Rissa mengangguk perlahan. "Aduh! Gawat! Kamu tahu semua ini dari mana?"

"Aku melihatnya sendiri." Rissa mulai menitikkan air matanya.

"Eh, Rissa jangan menangis." Satria mendekatinya.

Rissa menggelengkan kepalanya, tangannya menutupi wajahnya. "Aku melihat mereka... Mereka berciuman seperti pria dan wanita. Aku... aku tidak tahan melihatnya," isak Rissa.

Satria memeluknya. Rissa menarik tubuhnya tapi Satria menahannya. "Tidak apa-apa, Rissa. Kalau kamu mau menangis, menangis saja. Bahu aku siap menampung air matamu."

Rissa menangis semakin menjadi. Satria mengusap punggungnya. Rasanya sangat aneh. Ia tidak suka menangis seperti itu dalam pelukan Satria. Tidak ada yang salah dengan pelukannya. Tapi yang ia inginkan saat itu hanyalah Charlos. Ia ingin penjelasan dari Charlos, tapi ia tidak akan bisa melihatnya lagi.

"Rissa... aku tahu kalau kamu menaruh perasaan pada Charlos. Aku ingin kamu tahu kalau kamu masih punya aku yang selalu sayang sama kamu. Kapanpun kamu siap membuka hatimu untukku, aku akan selalu ada untuk kamu."

Rissa tidak sanggup menjawab pernyataan Satria. Hatinya justru semakin perih mengetahui ada seseorang yang begitu menyayangi dan mengharapkannya, sementara ia hanya bisa menangisi pria yang telah memilih untuk menjadi gay.

Tidak berapa lama kemudian Satria pulang. Lalu James menghampiri kakaknya.

"Kak, aku mau bilang. Ibu guru sudah menagih uang sekolah. Sekarang ini sudah telah dua bulan. Kakak belum memberikanku uang sekolah."

"Apa? Oh tidak. Kakak lupa. Uangnya kemarin Kakak pakai untuk membayar kontrakan. Minggu depan pasti akan Kakak bayar."

"Kata Ibu guru, kalau besok aku tidak bayar uang sekolah, nanti aku tidak boleh ikut ujian, Kak."

Rissa mendecak kesal. "Nanti Kakak akan membuatkan surat pernyataan untuk gurumu ya. Ibu gurumu pasti mengerti. Tenang saja kamu pasti boleh ikut ujian. Kamu kan anak yang pintar."

"Baiklah, Kak. Oh iya, tadi Tante Astrid datang. Katanya kita tidak bisa memperpanjang kontrak di rumah ini lagi. Uangnya dikembalikan." James menyerahkan sebuah amplop coklat ke tangan Rissa.

"Kenapa? Kita kan sudah tinggal di sini cukup lama."

"Katanya ada yang membeli rumah ini. Kita harus segera pindah, Kak. Tanggal dua tujuh nanti rumah ini harus sudah kosong."

"Apa? Mendadak sekali? Kita mau pindah ke mana, James? Memangnya tidak bisa menunggu awal bulan? Kejam sekali!" Rissa menitikkan air matanya lagi. Ia heran bagaimana bisa ia terlarut dalam kesedihannya karena Charlos, sementara masalah yang sesungguhnya ada di depan mata.

Seolah penderitaannya selama ini belum cukup, sekarang ditambah lagi dengan masalah baru. Ke mana ia harus mencari tempat yang baru dan belum lagi ia harus melunasi uang sekolah James. Sebentar lagi anak itu akan menghadapi ujian kelulusan.

Rissa menatap adiknya. James tidak menangis, tapi dalam hatinya pasti juga sedih.

"Maafkan Kakak ya. Aku bukan kakak yang baik," isak Rissa.

"Kakak jangan bicara seperti itu. Di dunia ini aku hanya memiliki Kakak seorang. Sudah pasti Kakak adalah yang terbaik bagiku." James memeluknya.

Terpikir oleh Rissa untuk membawa James pada ibunya. Hidupnya mungkin lebih terjamin dengan ibunya daripada dengan dirinya.

"James, kita masih punya Mama. Bagaimana kalau kamu tinggal bersama Mama di Batam?" Pelukan James langsung terlepas. "Kamu pasti akan senang sekali kalau tinggal bersama Mama."

"Tidak! Aku tidak mau tinggal di Batam! Aku mau di sini saja bersama Kakak! Kakak tidak boleh membuang aku seenaknya!" bentak James, matanya berkilat marah.

"Maafkan aku, James."Rissa kembali merangkul adiknya yang ternyata mulai menitikkan air mata.