Meira mendekap erat tubuh laki-laki di depannya sembari menyandarkan punggung, tempat paling nyaman untuk bersandar selain bantal di rumah. Meira melamun, sorot matanya semakin meredup, sedangkan langit hari ini baik-baik saja, tapi arah angin memang tersesat, sebabnya masalah datang mengejutkan.
Riska fokus mengemudi, secepat yang ia mampu agar lekas membawa Meira sampai di apartemen. Ia menunduk sejenak menatap erat pelukan Meira di perutnya, laki-laki itu tak ingin banyak bicara, menghibur pun bukan perkara mudah, cara terbaik adalah menyelesaikannya, lalu baru menghibur agar ceria diri Meira lekas kembali.
Tadi, saat Riska baru menghampiri kelas fakultasnya bernaung, ia mendengar banyak orang membicarakan tentang Meira, tapi Riska tampak tidak peduli, bahkan sejak lama Meira seringkali menjadi buah bibir di setiap fakultas. Lalu, saat Riska duduk di kursinya, Tama yang sempat duduk di meja sembari berbicara dengan mahasiswa lain sontak mendekat, menanyai kabar Meira.