Taksi online yang sudah Meira pesan tengah menunggunya di seberang jalan tak jauh dari apartemen, perempuan itu baru saja keluar seraya menarik resleting jaket hingga menutupi separuh leher, biasanya Meira akan keluar mengenakan dress atau pakaian yang lebih mencerminkan kesan seksi dalam dirinya, tapi akhir-akhir ini ia lebih sering mengenakan celana panjang berkat seseorang yang bertingkah seperti ibu tiri, padahal ia laki-laki. Berarti bapak tiri?
Efek sayap kupu-kupu seolah hinggap dalam diri Meira, ia begitu penurut dan mengikuti setiap perkataan Riska, mungkin terdengar posesif, tapi selama Meira nyaman melakukannya—mengapa tidak?
Pulang pergi harus diantar Riska, jika Meira terdesak pergi sendirian—maka ia harus sering-sering menghubungi laki-laki itu dan tak boleh mematikan ponsel sama sekali, mengganti silent mode pun tak boleh. Ya, empat hari pasca Meira keluar dari rumah sakit serta tiga hari setelah hubungan mereka memperlihatkan aura positif—sikap asli Riska perlahan terlihat, Meira bisa menilainya jika laki-laki itu lumayan cerewet dan otoriter. Atur sana, atur sini seperti mandor kuli bangunan.
Baru lima menit Meira duduk di jok penumpang, ponsel dalam sling bagnya berdering. "Hallo," sapa Riska untuk laki-laki yang menghubunginya.
"Lagi di apartemen, kan? Udah makan belum?" Terdengar bising seperti lalu-lalang kendaraan di dekat Riska.
"Belum, lagi di jalan, mau ke tempatnya Selly."
"Punya kuping enggak? Berapa kali gue bilang kalau mau ke mana-mana itu bilang. Kenapa nggak hubungi gue? Lo pergi sama siapa? Cowok, ya?"
Meira menahan tawa mendengar pertanyaan bertubi-tubi Riska. "Iya gue mau bilang, tapi kan ingat kalau lo lagi sibuk sama anak-anak, katanya panjat tebing lagi, kan? Ya udah gue ngalah, makanya enggak minta antar. Nanti dikira posesif lagi kalau gue maksa elo, Ka."
"Lagi nyindir gue?"
"Eh, ngerasa ya. Sorry, tapi sengaja." Meira tertawa riang sampai supir taksi online mengeceknya lewat spion di dekat kepala.
"Sekarang share lokasinya, nanti gue nyusul ke sana, jangan pakai lama."
"Eh, tapikan—" Panggilan sudah berakhir lebih dulu, Meira belum mengatakan tentang kisah mereka pada ketiga sahabatnya, tapi tak mungkin ia menolak permintaan Riska, serumit apa nanti yang terjadi, Meira tetap mengirimkan denah lokasi rumah Selly ketimbang membuat Riska cemas terhadap keadaannya.
Tetap pada keputusan awal, Riska akan menjaga Meira dengan caranya.
Meski agak aneh saat Selly menghubunginya dan mengajak menginap di tempat gadis itu, Meira yang merasa kondisinya sudah lebih baik memutuskan pergi. Kini taksi online yang ditumpanginya membawa Meira semakin jauh membelah jalanan Jakarta yang kebetulan lenggang, tapi macet masih berlangsung di beberapa titik tentunya. Meira hanya sedang beruntung.
Taksi memasuki cluster perumahan tempat tinggal Selly yang membawa Meira semakin dekat dengan kediaman gadis itu, Riska juga tak menghubunginya lagi setelah mematikan panggilan tadi.
Meira turun tepat di depan gerbang tinggi rumah megah Selly setelah taksi berhenti. "Makasih, Pak," ucap Meira setelah mengulurkan ongkos taksi, kendaraan tersebut melaju meninggalkan Meira yang kini memutar tubuh dan menekan bel yang menempel pada tembok pembatas pagar di dekat gerbang, satpam rumah keluar dari pos yang posisinya tak jauh dari gerbang, ia berlari dan membukakan gerbang. Senyumnya terbit saat melihat tamu si tuan rumah.
"Malam, Mbak Mey. Sudah lama enggak main ke rumah Non Selly?" Rustam namanya, satpam keluarga Selly yang sudah bekerja selama sepuluh tahun sejak Selly pindah ke perumahan tersebut.
"Sibuklah, kerjaan gue kan banyak," sahut Meira tak acuh, ia melenggang begitu saja setelah gerbang terbuka lebar, ia mengangkat dagu memperlihatkan keangkuhannya di depan Rustam. Satpam itu memang suka sekali menggoda Meira, ia bahkan memiliki banyak majalah dewasa khusus berisi gambar Meira seolah terobsesi dengan teman putri majikannya. Lagipula mata jelalatan Rustam yang selalu menelisik Meira dari ujung kaki hingga ujung kepala seakan menelanjanginya—sudah cukup menegaskan sesuatu.
Meira melangkah melewati halaman rumah Selly yang begitu luas, beberapa mobil berjejer di sana, terkadang Meira iri terhadap kehidupan ketiga sahabatnya. Mereka memiliki keluarga yang saling menyayangi, nuansa rumah yang hangat dan membuat setiap penghuninya rindu pulang, dua hal sederhana itu saja sudah cukup membuat Meira insecure atas kehidupan miliknya. Ia tak mungkin mampu membedakan meski bisa berdiri di atas kakinya tanpa ditopang siapa-siapa. Jika harus memilih, dengan senang hati ia menukar uang yang didapatkannya untuk sebuah keluarga utuh yang dipenuhi kehangatan. Jika saja semua itu bisa dibeli, jika saja.
Lamunan Meira berubah menjadi seulas senyum saat ia melihat ketiga sahabatnya keluar dari pintu utama kediaman Selly yang terbuka lebar, mereka semua begitu bersemangat menyambut kehadiran Meira setelah berhari-hari perempuan itu tak muncul di kampus, lagipula Riska juga tak mengizinkannya jika kondisi Meira belum benar-benar sehat.
"Akhirnya suhu kita datang!" seru Selly yang baru saja menghambur mendekap Meira, keempatnya berdiri di beranda. "Ya ampun kangen banget sama Meira." Ia melepas pelukan mereka, meraba wajah Meira yang jelas-jelas terlihat utuh tanpa kurang sehelai bulu mata pun.
"Lo udah beneran sehat juga, kan?" Mona turut bertanya.
"Ya pasti udah dong, kalau belum mana mau Meira datang ke sini jauh-jauh malam gini, lihat aja gaya fashionnya gimana. Udah kayak zaman dua ribuan." Tania bersidekap seraya meneliti penampilan Meira dari ujung kaki hingga ujung kepala, out of the box.
Mona mengangkat tangan ke udara. "Gue enggak mau komentar lagi soal penampilan Meira, gue nggak mau kena damprat kayak waktu itu, gue mundur."
"Ini cara melindungi imun tubuh gue, puas?" Meira membela diri. "Lagian tumben banget lo ngajak main malem-malem, Sell? Nginep pula, gue sengaja enggak bawa baju ini."
"Nggak apa-apa, baju gue banyak. Yang baru, yang lama, yang masih di toko, yang mau dibuang, yang mana lagi yang lo mau?" cerocos Selly seperti seorang penjual yang menjajakan dagangannya.
Tania mendesis. "Makin geblek aja si Selly, udah lo bilang aja tujuan utama lo ngajak Mey ke sini, malah jadiin gue sama Mona sebagai tameng juga." Aura jengah diperlihatkan Tania.
"Iya, Sell. Gue sama Tania udah sangat baik mau datang ke sini demi rencana lo, padahal Ryuji ngajak gue jalan," ucap Mona.
"Rendy juga," imbuh Tania.
"Rencana apa?" Kini Meira bertanya-tanya, ia menatap Selly, meminta penjelasan.
"Oke, oke. Gue jelasin ya, Mey. Jadikan elo sering jalan sama banyak cowok, tapi nggak ada yang nyantol di hati, kan? Lama-lama Tuhan juga capek milihin jodoh yang pas buat lo, gimana kalau lo stop di kakak gue aja? Dia baru pulang dari Aussie tadi pagi lho," usul Tania penuh semangat, ia sudah membahasnya lebih dulu sewaktu di kampus bersama Tania dan Mona, mereka setuju atas usul Selly untuk mendekatkan Esther serta Meira ketimbang melihat gadis itu blind date tanpa arah dengan banyak laki-laki.
"Nggak bisa, dia pacar gue." Suara tegas tersebut membuat keempatnya sontak menoleh bersamaan ke arah halaman—di mana Riska serta Saka berdiri di sana, menatap keempatnya dalam tanda tanya.
Harusnya Meira tak perlu terkejut lagi, cepat atau lambat Riska juga akan sampai di kediaman Selly, hanya saja ia masih memerlukan waktu untuk memberi penjelasan pada ketiga temannya yang kini membuka mulut lebar-lebar seolah syok mendengar serta melihat apa pun dari seorang Riska.
"Karena tujuannya datang ke sini buat dikenalkan sama cowok lain, gue izin bawa Meira pergi, ya?" Riska menghampiri Meira, merangkum tangannya seraya menatap satu per satu teman gadis itu. "Permisi semua." Senyumnya ia tinggalkan di sana setelah menarik Meira menjauh dari ketiga temannya yang masih linglung mencerna keadaan sebenarnya.
***
"Kok lo nggak bilang-bilang sih ada nasi bebek seenak ini, di warung tenda pula," celetuk Saka yang sejak awal Riska ajak pergi bersamanya untuk menghampiri Meira, ke tempat nasi bebek favorit Meira pun tetap diajaknya. Ia tak memusingkan jika statusnya sekarang adalah obat nyamuk di antara sepasang kekasih.
Riska tak menyahut, sepasang alis tebalnya sudah bertaut sejak mendengar niat awal Selly meminta Meira datang ke rumahnya, sudah jelas jika ia tak suka. Bahkan sejak Riska membawa Meira membonceng motornya tak terdengar sepatah kata keluar dari bibir laki-laki itu. Sekalipun Meira bertanya-tanya ia lebih senang untuk bungkam, suasana terasa berbeda saat Riska menariknya pulang dari rumah Selly.
Meira yang biasanya makan lahap, malam ini kehilangan selera, ia hanya menelan beberapa suap saja, gerakannya pun jika diperhatikan benar-benar seperti tak punya daya untuk sekadar menyuapkan nasi ke dalam mulutnya, seperti tangan tanpa tulang.
Kondisi di warung tenda malam ini tak terlalu ramai, hanya ada enam orang di sana, tiga di antaranya adalah mahasiswa Kampus Malaka. Ocehan orang lain terdengar jelas saat keheningan menyelimuti keduanya.
Riska mendengkus saat menemukan Meira yang terlihat tak semangat menikmati makan malamnya, padahal saat ditelepon Meira bilang belum makan, Riska pikir ia akan melihat cara makan Meira yang lahap itu agar kekesalannya memudar. Sayangnya, ekspektasi Riska bertolak belakang.
Alih-alih menegur Meira, Riska justru beranjak keluar dari warung tenda dan berhasil membuat Meira turut keluar menghampiri Riska yang semakin dilanda rasa bosan, bahkan didominasi kekesalan.
"Riska."
"Kalau emang udah makan, nggak usah bilang belum makan, jadi nggak bakal gue ajak ke sini," sembur Riska tanpa menatap lawan bicara, ia lebih suka memperhatikan jalanan lenggang di depannya.
"Ya gue emang belum makan dari siang, nggak ada selera aja sekarang," sanggah Meira.
"Kenapa? Karena gue tarik lo pergi dari rumah Selly tadi? Jadi, lo tahu kalau Selly mau kenalin kakaknya dia? Kayak gitu kan intinya."
Bahu Meira merosot, ia mendengkus menyadari Riska sedang salah paham. "Enggak gitu, Ka. Selly cuma minta gue nginep sama yang lain, dia baru jujur niat sebenarnya tadi."
"Terus elo mau?"
"Apa?"
"Dicomblangin sama kakaknya dia?"
"Ya enggaklah, kan ada elo, ngapain juga gue jalan lagi sama cowok lain, kalau lo nggak percaya gue bakal ganti nomor sim card biar cowok-cowok itu enggak hubungi gue lagi."
Riska memutar tubuh menghadap Meira, ia menyejajarkan wajahnya dengan perempuan itu seraya menyentuh lengan. "Dengar baik-baik, gue kayak gini bukan tanpa alasan, di luar sana masih ada yang mau lo celaka dan dia masih bebas ke mana-mana. Harusnya lo bisa bersikap waspada ke orang-orang, karena pelaku sabotase mobil lo belum ketemu."
"Sabotase?"
***