Setelah menyebut nama Riska, mereka kompak diam, cukup lama sampai perhatian Raki lagi-lagi teralihkan untuk melihat layar lebar. Sementara tangan Meira mencengkram sisi kursi saat ia terpejam sejenak sembari mengatur napas, ia berusaha tenang karena benak serta pikirannya bergejolak tatkala dipaksa mengingat setiap hal yang sudah lalu, sebut saja memoar luka.
Meira tengah bertarung dengan ingatannya, sesuatu yang selalu ia paksa mati, tapi sekarang harus hidup lagi, muncul ke permukaan, membangkitkan cerita lama sampai tiga kata kunci lolos dari bibirnya.
"Riska mantan aku."
Tawa Raki lenyap, tadi ia mampu membagi fokus antara Meira serta layar bioskop, tapi sepertinya sekarang hanya untuk Mey saja, seuntuhnya tanpa harus tercuri lagi oleh setiap scene lucu di depan sana. Tayangan tersebut bagi Meira hanya pelengkap suasana, saat orang-orang menertawai hal konyol yang bahkan tak berarti apa-apa, karena ia sendiri merayakan luka lama di sini.