"Apa yang ayah lo minta setelah lulus."
"Alinea."
Meira tersenyum miris, ia mengangguk memahami meski berat. "Kenapa gue enggak pernah tahu semua ini dari awal, latar belakang lo dulu abu-abu banget, Riska. Pantas aja banyak kartu kredit sama atm di dompet lo, jadi karena lo anak seorang Praja Hutama, ya seenggaknya dia memang menyayangi lo, menyukupi kebutuhan lo. Di mana bisa nemu orangtua angkat kayak gitu, yang gue sayangkan dari semua ini adalah—" Mey menatapnya. "Lo nggak pernah terbuka sedikit pun sama gue, bahkan soal Alinea."
"Gue takut, Mey. Lo udah punya banyak masalah, dan gue enggak mau makin ngebebanin, makanya gue simpen semua sendiri. Gue nggak tahu kalau kehidupan gue di Jakarta bisa berwarna karena lo, gue cuma niat kuliah aja tanpa tahu ada seorang perempuan yang bikin gue bener-bener jatuh cinta."
"Udahlah, Ka. Percuma, kita udah selesai, dan gue baru sadar—pagi di mana kita ketemu di basecamp, 'bye' yang lo maksud adalah 'bye' selamanya."