Setelah dokter mengizinkan Meira pulang, pagi ini ia bertolak ke Jakarta, duduk sendirian di kursi penumpang pada mobil yang dikemudikan oleh Rendra, sedangkan Sehan duduk di samping anak laki-lakinya.
Matahari masih sama, bertengger di ufuk timur dan menyapa banyak orang, alih-alih membuat Meira merasa tentram, justru menyedihkan. Percuma matahari muncul setiap hari kalau bagi Meira kehidupannya sudah mati. Ia duduk di sini, bersama raga utuh sempurna, tatapannya dingin tanpa bahasa.
Jakarta mengajarkan jatuh hati, dan Sukabumi menarik segala harapannya agar mati. Otot-otot di wajah cewek itu serasa kaku, ia sekarang meyakini tak lagi cocok bekerja sebagai model atau public figure lain, ia takkan mampu lagi untuk berekspresi.