Pernahkah kau merasakan bagaimana rasanya melihat orang yang kau cinta duduk bersama wanita lain? Bercengkrama mesra dan saling bercanda bahagia, sedangkan jika ia bersamamu ia selalu bersikap dingin dan beku membatu. Cinta bertepuk sebelah tangan mungkin itulah gambaran yang pantas untuk kulontarkan ketika kumencintai tapi tak dihargai.
"Apa yang sedang kau lakukan di sini, Lin?" tanya sosok pria itu lagi hingga membuatku menggaruk kepalaku yang tak gatal.
"Lian? aku.. aku sedang.." Aku yang mencoba mencari alasan yang tepat.
Nampaknya, pria ini sudah tahu bahwa aku tengah memperhatikan Jianghan yang duduk bersama seorang gadis bernama Yui itu. Terlihat ia mulai menganggukan kepala paham.
"Jadi, kau memata-matai mereka?" tanyanya yang kali ini membuat jantungku berdegup dengan kencang menatap mata Lian dengan senyum jahil yang terhias di wajahnya. Sial, aku ketahuan!
"Pantas saja, kau tak datang-datang." tambahnya sembari melipat kedua tangannya sembari terus memandangku. Aku mulai menggigit bibirku.
"Ah, sudahlah, Lin. Tak apa, jangan menatapku seperti itu. Apa kau tak ingin membuat Jianghan cemburu dengan lewat di depannya?" ucap Lian kali ini membuatku menoleh kaget dengan ucapannya yang tiba-tiba membahas soal rasa cemburu.
"Maksudmu?"
"Kita buktikan, apakah Jianghan juga akan peduli denganmu atau tidak." jawabnya kali ini mulai menatapku lagi.
"Ta..tapi, Lian."
"Sudahlah, ikuti saja rencanaku." Lian mulai menggandeng erat jari jemariku dan tangannya mulai merangkul bahuku. Aku mulai terbelalak kaget dan Lian hanya menyeringaikan bibirnya sembari menganggukan kepalanya memintaku untuk menuruti semua petunjuk darinya. Tubuh kami sangat dekat hingga bisa kurasakan hembusan napas yang keluar dari hidung Lian. Kami mulai berjalan mesra di hadapan Jianghan dengan tangan yang mengalung di pundakku.
"Apa kau sudah makan?" tanya Lian dengan suara lantang hingga membuat Jianghan menoleh kaget memandang kami yang tengah berdiri di hadapannya dengan pose yang romantis bak sepasang kekasih.
"Belum." jawabku dengan menyodorkan senyum manis pada Lian.
"Kalau begitu, ayo kita makan siang bersama dan akulah yang akan menyuapimu." ledek Lian dengan mencubit hidungku, aku hanya bisa memukul tangannya dan mencoba tuk merangkul pinggang Lian sebagai balasan rangkulannya padaku. Aku tak tahu bagaimana ekspresi Jianghan saat itu, aku tak berani menatapnya.
Di kantin sekolah yang ramai dengan siswa-siswi yang berbaris memenuhi stand-stand penjual makanan, aku mulai melepaskan rangkulan Lian dan langsung duduk di sebuah kursi kosong yang telah tersedia di sana. Aku mulai menghela napas panjangku, pikiranku mulai melayang memikirkan bagaimana perasaan Jianghan ketika melihatku berjalan dekat dengan Lian, teman sekelasnya. Akankah ia cemburu atau malah bersikap tak peduli, sungguh membingungkan.
"Mengapa kau terlihat murung, Lin?" Aku hanya menggeleng tanpa sepatah kata yang terucap.
"Hey, Lin apa kau tahu, bagaimana ekspresi Jianghan tadi?" kata Lian yang mulai membuka percakapan diantara kami sembari membuka botol minumnya.
Sontak hal ini membuatku penasaran, aku mulai membelalakan kedua bola mataku, "Bagaimana? Apa dia terkejut?"
Lian mulai mengangguk mengiyakan sembari meminum minumannya.
"Ia terkejut, bahkan ia menatapmu dengan sangat aneh seakan ia tak percaya bahwa kau bersamaku."
"Sungguh? Sudah kuduga."
"Ya, kalau boleh kutahu, ada hubungan apa kau dengan Jianghan hingga membuatmu sangat peduli dengannya. Apa kau menyukai Jianghan?" tanya Lian yang membuatku tertegun, nampaknya Lian bisa membaca seluruh isi hatiku. Aku mulai menelan ludahku dan segera menenggak minuman kaleng yang sedari tadi ada di genggamannya.
"Lin? Apa benar kau menaruh rasa pada Xiao Jianghan?" tanyanya sekali lagi untuk memastikan.
Aku mulai menarik napasku dan mencoba menjawab "Tidak, aku tidak menyukainya. Aku hanya penasaran saja, apakah Jianghan memiliki pacar atau tidak. Lagipula dia bukan tipe idealku."
Lian mulai tersenyum geli seakan ada suatu hal yang aneh yang baru saja ia dengar dari mulutku.
"Eh, kau kenapa? Apa ada yang lucu dengan ucapanku barusan?"
"Tidak, kau tahu, Lin hampir semua siswi yang ada di sekolah ini menaruh perasaan pada Jianghan. Kurasa Jianghan memang punya aura yang kuat untuk menarik perhatian lawan jenis, puluhan wanita yang kutanyai tentang Jianghan mereka langsung mengatakan bahwa ia menyukainya tapi, kali ini kau berbeda kau malah tak menyukainya." jawab Lian dengan sedikit tertawa menatapku.
Aku mulai meringis aneh.
"Aku sebenarnya iri dengan Jianghan, entah mengapa ia selalu mendapatkan semua perhatian. Ya, aku sebagai lelaki kuakui ia sangat tampan." tambahnya yang mulai menyendok makan siangnya. Aku hanya mengangguk paham.
Entah apa yang ada dipikiran sosok Lian ini ia merasa rendah diri dengan sosok pria yang menjadi primadona sekolah. Jika kulihat-lihat Lian juga sangat tampan dan ramah, sikapnya sangat hangat bahkan lebih baik dari Jianghan, wajahnya juga lebih menawan dengan lesung pipi yang terlihat ketika ia tersenyum dan tertawa. Tapi, entah mengapa semua siswi malah jatuh cinta kepada sosok Jianghan? Zhai Lian juga siswa yang pintar bahkan ia juga satu kelas dengan pria kepala batu itu. Memang hidup ini tergantung dengan keberuntungan.
"Lian, jika aku boleh tahu, apakah gadis itu adalah kekasih Jianghan?" tanyaku lagi.
"Siapa? Yui Xin Lie?" desis Lian dengan bola mata yang terbelalak lebar seakan ingin ikut keluar.
Aku mulai mengangguk, nampaknya Lian mulai tertawa merespon ucapanku. Aku mulai menyidik serius menunggu jawaban darinya.
"Tidak mungkin, Jianghan tak mungkin berpacaran dengan Yui. Aku tahu betul bagaimana tipe wanita idaman Jianghan. Yui bukan kriterianya, hanya saja gadis itu selalu mengejar cinta Jianghan." jawab pria itu dengan melahap sesuap nasi.
"Jadi, kau tahu bagaimana kriteria wanita idaman Jianghan?"
"Ya, dia mengatakannya di kelas ketika guru Jie bertanya padanya."
"Benarkah? Kalau begitu, ceritakan padaku. Apa yang ia sukai dan tak ia sukai." pintaku dengan melipat tanganku di atas meja seakan siap mendengar kisah dari Lian tentang Jianghan.
"Ada apa denganmu, mengapa ingin sekali tahu tentang pribadi Jianghan? Bukankah kau tak menyukainya?"
"Ya, aku hanya ingin tahu saja, apa tidak boleh?" jawabku yang sinis sembari melirik sadis Lian yang hanya tertawa kecil menatap wajah luguku. Terdengar, ia mulai menghela napas panjangnya.
"Jianghan menyukai gadis yang memiliki kepribadian yang unik, periang, menyenangkan dan tidak membosankan itulah yang ia katakan pada guru Jie di kelas hingga membuat seluruh gadis terbelalak kaget."
Aku mulai terperangah kaget mendengar ucapan Lian.
"Hanya itu? Bukankah ia menyukai gadis yang pandai dalam segala hal dan juga bertubuh seksi?"
"Tidak, ia tak mengatakan itu. Ia hanya mengatakan bahwa fisik tak menjadi ukuran untuk menjadi belahan jiwanya, asal gadis itu bisa menjadi rumah dan kebahagiaan bagi Jianghan, itu saja. Kau tahu darimana jika ia menyukai gadis seksi?"
"Entahlah, aku hanya mengarangnya saja karena yang aku tahu bahwa setiap pria menyukai gadis yang tinggi semapai, bertubuh seksi dan memiliki berat badan yang ideal."
Tiba-tiba Lian mulai menepuk halus kepalaku.
"Kau ini ada-ada saja, sudah makanlah sedari tadi kau bicara terus, apa kau tidak lapar?"
Siang itu, aku terus mencerna ucapan Lian tentang kriteria wanita ideal bagi Jianghan. Ternyata ia tak memasukan daftar wanita cerdas dan tinggi dalam list favorite-nya. Kurasa aku masih aman, aku belum tereliminasi sama sekali, aku percaya bahwa akulah yang pantas untuk menjadi separuh jiwa Jianghan. Jelas, aku unik, ceria, menyenangkan dan tak membosankan bahkan aku juga sangat menggemaskan. Apa yang sebenarnya kukatakan, aku selalu saja berhalusinasi.
Langit biru berubah menjadi jingga, terlihat burung-burung terbang dan kembali pada sarangnya. Jam dinding sudah menunjuk pukul 4 sore. Bel akhir pelajaran mulai berdering nyaring membuat siswa bersorak gembira menyambut perpulangan yang telah tiba. Akhirnya, usai sudah pembelajaran hari ini yang cukup membosankan dan menguras isi pikiran. Kali ini, aku berlarian menuju parkiran sekolah untuk menjemput sepeda cantikku yang sedari pagi tadi menungguku.
"Akhirnya, selesai juga hari yang melelahkan ini." ucapku pada sepedaku dengan menepuk keranjang sebagai salam hangat pada sepedaku. Namun, tiba-tiba mataku tertuju pada sosok Jianghan yang tengah berjalan dengan seorang gadis, sudah kupastikan gadis itu adalah Yui, yang siang tadi selalu mengikuti Jianghan kemanapun ia pergi.
"Pulanglah bersamaku, Jianghan." pinta Yui pada Jianghan dengan menyentuh telapak tangan pria itu.
"Tidak." jawabnya yang seperti biasa, cuek, dingin dan membosankan.
"Ayolah, sekali ini saja daripada kau berjalan sendirian."
"Tidak perlu."
Kumencoba memberanikan diri untuk mendekati mereka, kubunyikan klakson sepedaku.
"Hai, Jianghan." sapaku, namun yang kudapatkan hanyalah senyuman dingin dari Jianghan.
"Kemana sepedamu? Kau tak membawanya lagi?" tanyaku dengan mata yang terbelalak.
"Tidak, aku sedang malas untuk mengendarai sepeda hari ini."
Aku mulai mengangguk paham, kurasa inilah kesempatanku untuk pulang bersama Jianghan, "Kalau begitu, ayo kita pulang bersama."
"Hey, kau ini mengapa selalu menggangguku dengan Jianghan. Pergilah! Jianghan ini milikku dan ia hanya akan pulang bersamaku." bentak Yui yang mulai mengenggam tangan Jianghan, aku mulai menyudutkan bibirku dan mencoba untuk menggiring sepedaku menjauh dari mereka, rasanya penolakan itu menyakiti kalbuku. Tanpa kusadari, Jianghan mulai risih dengan sikap Yui yang mulai berlebihan, iapun melepas paksa genggamannya.
"Lin, tunggu! Aku akan pulang bersamamu." ujar Jianghan dengan lantangnya hingga membuatku menarik rem sepedaku kuat-kuat seketika itu juga jantungku berdegup kencang tak seperti sebelumnya. Yui mulai marah dan menatap tajam diriku.
"Jianghan! Mengapa kau memilihnya? Ayolah, pulang bersamaku saja." rengek Yui yang mulai kesal. Jianghan tetap tak mempedulikannya, ia hanya memintaku untuk turun dari sepedaku dan ialah yang memboncengku meninggalkan Yui yang tengah merajuk.
Namun, suatu hal terjadi di sebuah perempatan jalan pinggir kota, tiba-tiba saja rem sepeda mulai di tarik dan ban sepeda mulai berhenti berputar.
"Mengapa kita berhenti di sini, Jianghan?" tanyaku sembari menepuk bahu bidang milik Jianghan. Namun, ia hanya diam dan menoleh ke arahku.
Apa yang sebenarnya Jianghan lakukan?