"Romeo, kembalilah padaku. Aku sangat merindukanmu." ucapku yang tengah berdiri di halaman sekolah sembari mempraktikan sosok Juliet dalam sebuah buku Romeo dan Juliet yang kini tengah kubaca.
"Juliet, aku akan kembali untuk menebus cintamu. Aku akan datang memenuhi janjiku padamu, kan kubuat ayahmu tertunduk kagum padaku. Kita akan menikah dan kau akan menjadi tuan putri satu-satunya di hatiku." kataku dengan mempraktikan sosok Romeo yang tengah meyakinkan hati seorang Juliet yang tengah rapuh karena ketidaksetujuan cintanya tuk mencintai Romeo kekasih hatinya. Aku hanya mulai bertepuk tangan sebagai tandaku mengapresiasi diriku sendiri.
"Wah keren sekali buku ini, nampaknya aku sangat cocok menjadi seorang aktris yang memerankan seorang Juliet. Aktingku sangat bagus." pujiku terhadap diriku sendiri sembari memeluk erat buku yang kini berada di genggamanku.
"Aktris? Aktris apa yang kau bicarakan? " ucap seseorang yang datang dengan tiba-tiba dengan melipatkan kedua lengannya menatap aneh ke arahku.
"J..Jianghan? Sejak kapan kau berada disitu?" tudingku yang terkejut melihat sosok pria tampan yang kuidamkan berdiri menjulang di balik semak-semak belukar di halaman.
"Sejak kau berteriak-teriak menyebut kata Juliet, kau tahu suara jelekmu itu mengganggu telingaku." ujarnya dengan melangkah menghampiriku sembari tangannya mengorek-korek telinga kanannya seakan suaraku benar-benar mengganggu keharmonisan pada gendang telinga pria galak itu. Aku hanya diam dengan menatap sinis wajah pria tinggi yang tengah berdiri di depanku. Ia hanya menyeringai membalas tatapan sinis mataku.
"Apa yang kau tertawakan? Apa ada yang lucu?"
"Aku sangat heran, bagaimana bisa ada wanita bodoh dan berperilaku aneh seperti dirimu, Lin?" jawabnya dengan membungkukkan badannya menatap wajahku.
"Apa maksudmu?" tegasku dengan membelalakan bola mataku yang menatapnya dengan penuh kekesalan. Jianghan memang seperti itu, selalu membuat keonaran dan merusak mood seseorang.
"Kau ini sangat kecil tapi menyebalkan juga ya." gumamnya sembari mengukur tinggi badanku yang minimalis, tinggiku hanya sampai pada dadanya. Jianghan memang sangat tinggi dan lebih tinggi dariku, tinggi badannya kurang lebih 180 meter, memang dialah tiang bendera sekolah.
"Seenaknya saja kalau bicara." teriakku padanya, kulihat ia hanya menyeringai menatapku dan melangkah menjauhiku.
"Lain kali, aku akan membawa penyumbat telinga agar tak mendengarkan ocehanmu itu, Lin." tambahnya yang berjalan membelakangiku dan mulutnya masih terus menghinaku. Tadi ia mengatakan aku pendek sekarang dengan seenaknya ia mengatai suaraku jelek. Apa yang sebenarnya ia inginkan? Benar-benar merusak moodku saja.
Kupungut sebuah kerikil yang ada di halaman sekolah.
"Aku akan memberikannya sebuah pelajaran atas semua ucapan yang menyakitkan itu." gumamku dalam hati.
Kuputuskan untuk melempar kepalanya dengan sebuah batu kerikil yang besarnya hampir sama sebesar ibu jari, kujadikan kepala pria yang sok pintar itu sebagai sasaran utama lemparan batuku. Kuharap ini takkan melesat.
"Kau rasakan ini, Jianghan." gumamku dalam hati sembari meniup kerikilku itu.
Kerikil mulai melesat dan mengenai kepala bagian belakangnya, hal ini membuatnya menoleh ke belakang dan menatapku yang tengah melipatkan kedua tanganku.
"Yuan Lin!!!" teriak Jianghan dengan sangat keras menyebut namaku . Aku mulai berlari menjauhi pria yang sedang marah itu, biarlah biar dia merasakan lemparan seorang Chen Yuan Lin. Walaupun aku kecil, tapi aku serba bisa.
Aku berlari dan terus berlari menjauhi Jianghan dengan harapan semoga Jianghan tak menangkapku atau membalas semua perbuatan jahatku padanya, aku tak peduli apa yang akan ia pikirkan tentang diriku siapa suruh ia tak bisa menjaga ucapannya dan selalu merendahkan orang lain.
Nampaknya Jianghan tidak mengejarku, lagipula untuk apa ia mengejarku, aku juga tidak penting baginya. Aku berjalan tanpa memperhatikan langkahku hingga membuatku menabrak seseorang hingga buku-bukunya jatuh berserakan di lantai.
"Maafkan aku, aku tidak sengaja." ucapku dengan nada gugup sembari kepalaku tetap menunduk menatap sepatu hitamku dan bergegas membantu merapikan buku-buku yang ikut jatuh berserakan karena tabrakan tadi sambilku mengucap kata maaf pada seseorang yang baru saja ku tabrak.
Bagaimana bisa aku ceroboh seperti ini?
"Tidak, tidak apa-apa." jawabnya dengan nada yang sedikit ramah yang kini tengah ikut membereskan buku-bukunya.
"Sekali lagi, aku minta maaf, aku benar-benar tidak sengaja." ucapku sembari menyodorkan buku pada sosok seseorang yang tetap menunduk merapikan bukunya. Tiba-tiba ia mengangkat kepalanya dan menatapku, aku terperangah melihat sosok pria ini.
Nampaknya, aku belum pernah melihat pria ini sebelumnya, parasnya sangat rupawan dan tak bisa tuk ku gambarkan. Aku kehabisan kata-kata ketika ku melihatnya di pandangan pertama.
"Iya, tidak apa-apa, Chen Yuan Lin. Terima kasih telah membantuku merapikan buku-buku ini." jawabnya sembari mengeja nama lengkapku yang tertera pada dada di seragam sekolah.
"Chen Yuan Lin? Jadi, harus kupanggil kau dengan sebutan apa? Yuan? Chen? Ataukah Lin?" tambahnya dengan ramah, terlihat sesekali ia juga tersenyum menatap wajah kekanak-kanakanku. Sungguh indah dan manis senyuman sosok pria yang baru saja kutemui ini. Aku mulai tertegun ketika ku memandang wajahnya yang teduh, aura yang keluar sangat berbeda dengan pria lain seakan ia punya daya tarik tersendiri dalam jiwanya. Benar-benar seperti sosok malaikat yang turun ke bumi.
"Panggil saja, aku Lin dan kau Zhai Lian, benarkan? " ujarku sembari ikut mengeja namanya yang tertempel erat pada dada bidangnya.
"Lian, panggil saja aku Lian." sahutnya sembari menggendong buku-buku tebal itu di dadanya, terlihat senyum manis di bibirnya sedikit demi sedikit mulai memudar, nampaknya ia tak suka jika ada seseorang yang menyebut nama lengkapnya walaupun namanya indah seindah parasnya.
"Kau darimana, kulihat tadi kau sangat terburu-buru?" tanyanya yang membuka topik pembicaraan diantara kami yang kini tengah berjalan beriringan.
"Tadi aku dikejar anjing." jawabku dengan mengerucutkan bibirku dan menatap padanya.
"Anjing? Apa di sekolah ini ada anjing?" sidiknya yang nampaknya agak sedikit kebingungan dengan gelagat ucapanku.
"Iya, kau tahu anjingnya sangat galak. Aku hampir saja digigitnya, tapi untung saja aku bisa melarikan diri, kalau tidak tamatlah riwayatku." seruku dengan mencoba membuatnya percaya padahal tidak ada anjing di sekolah.
"Mengerikan sekali ya, ada anjing berkeliaran di daerah sekolah seperti ini." responnya dengan mengangkat bahunya ke atas dan menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Benar, kalau boleh ku tahu, kau ingin kemana Lian dengan buku sebanyak ini?" sidikku yang penuh rasa penasaran dengan sosok pria tampan yang ramah seperti dia.
"Aku ingin ke perpustakaan mengembalikan tujuh buku ini sudah lima hari aku tak mengembalikannya karena baru selesai kubaca, pasti aku kena denda." jawabnya sembari menghela napasnya.
"Kau membaca semuanya?" kejutku merespon pernyataannya
"Iya, mengapa?" tanyanya padaku dengan mata yang terbelalak seakan ia heran dengan pertanyaan yang baru saja kuucapkan.
"Tidak, kalau boleh kutahu kau dari kelas mana, Lian?"
"2A, aku dari kelas A." jawabnya dengan sangat percaya diri menyebut kelas A, si kelas unggulan di sekolah. Hatiku kembali hancur mendengarnya, dia dari kelas paling atas sementara aku berasal dari kelas yang paling bawah. Tamatlah sudah riwayatku, ia pasti akan mengejekku seperti Jianghan dan anak-anak lainnya.
Sudah kuduga sebelumnya bahwa semua siswa yang ada di kelas A itu sangat pintar dan tampan. Aku menjadi tak heran jika kelas itu benar-benar menjadi kelas unggulan bukan hanya tampan otaknya tapi juga parasnya.
"Hei, mengapa kau melamun, Lin?" tanyanya dengan menyenggol lenganku sembari tertawa kecil melihatku yang tiba-tiba saja melamun sejak ia mengatakan bahwa ia berasal dari kelas A.
Aku hanya melempar senyum tanpa dosa ke arahnya.
"Kalau kau sendiri dari kelas mana, Lin? Aku tak pernah melihatmu di kelasku, ini pertama kalinya aku bertemu denganmu." ujarnya yang membuatku semakin terpojok.
"Aku... Aku dari kelas..." Aku kembali gugup tuk menjawab dimana aku berasal, nampaknya aku sangat malu tuk mengakui bahwa aku berasal dari kelas F.
Ia mulai menatapku dalam-dalam sepertinya ia juga sangat penasaran denganku yang baru saja ia temui.
"Kelas F." jawabku yang menundukkan kepala karena malu tuk mengakui bahwa aku berasal dari kelas yang dimana semua siswanya dianggap sebagai sampah dan generasi dengan otak ke bawah.
"Apa??" kejutnya sembari matanya ikut terbelalak menatapku.
Apakah ia akan marah padaku karena aku berasal dari kelas bawah yang tak sebanding dengannya? atau dia akan mengejekku seperti anak-anak lainnya? Aku mulai menggigit bibirku dengan keringat dingin yang mulai mengucur deras.