"Woi Zra," panggil Brian.
"Hm?"
Brian menunjukkan layar hpnya ke Ezra, membuat Ezra mengernyit bingung.
"Siapa yang ngirim?" tanyanya.
"Siapa lagi kalo bukan Al lah."
"Anjing." Ezra bangkit dari kursinya dan keluar kelasnya. "Mau apa lagi dia!?"
Brian mengikuti langkah Ezra yang berjalan ke arah luar sekolah. Mereka jalan keluar gerbang sekolah dan menghampiri SMA Virgo.
Ezra melihat Alvaro di depan gerbang SMA Virgo yang sudah sepi dan langsung menghampirinya, menarik kerah seragam Al. "Ngajak ribut lagi lo!?"
"Ck. Santai dulu," kata Alvaro santai.
Ezra melepas kerah seragam Alvaro kasar dengan nafas yang ia berusaha atur. Emosinya sudah bisa ia tahan. Teman-teman Alvaro menatap tajam Ezra dan Brian, seakan mereka yang paling bersalah disini.
Alvaro mendekatkan kepalanya ke telinga Ezra. "Kalo lo nyakitin Aneta lagi, jangan harap tenang."
"Cih! Masih juga dengerin dia? Mulut busuk banyak bohong aja lo dengerin."
"Sekali lagi lo nyakitin, gue gak bakal diam," ancam Alvaro.
"Pantes. Sama-sama sampah ya cocok." Mendengar ucapan Ezra, Alvaro melayangkan pukulan keras ke muka Ezra.
Ezra tidak terima membuatnya mendorong tubuh Alvaro kasar. "Apa!?"
"Zra, udah-udah. Ini depan sekolah," kata Brian menahan Ezra agar tidak menyerang. Brian belum kebawa emosi dan masih sadar kalo mereka didepan sekolah.
"Takut lo?" tanya Alvaro nantang Brian. "Lagian yang bawa masalah duluan siapa? Keluarga lo bego!" Emosi Alvaro meningkat menunjuk Ezra.
"Gue punya otak gak dangkal kayak lo." Brian menarik Ezra pergi dari hadapan Alvaro dan balik ke sekolahnya mengambil tas.
Gue gak bakal biarin dia ngerendahin gue, batin Ezra masih dengan emosi yang sama.
........
Abigail berjalan menyusuri koridor kosong menuju kelasnya. Ia telat pulang sekolah karena ada tugas tambahan yang diberi Bu Siska. "Eh, suara apaan tuh," batinnya takut. Pikiran parnonya mulai muncul kembali. Udah sepi tapi masih ada langkah kaki.
Masa iya masih ada yang di sekolah? Ia tidak mau banyak pikir dan langsung cepat-cepat pulang.
"GAIL!" Seseorang memanggilnya, membuat dia berhenti tidak berani bergerak. Abigail menutup mata dan diam dengan pikirannya yang parno.
"Plis, jangan ganggu. Tadi gue cuma nyelesain tugas. Udah ya gue mau balik kok ini, udah."
"Napa lo?" tanya Ezra sinis.
Suasana yang tadinya membuat Abigail takut, tiba-tiba berubah karena suara tawaan pecah Brian. Abigail memutar balik badannya. "Kok lo berdua masih disini?"
"Tadi si Ezra -"
"Ketinggalan barang," sergah Ezra memotong ucapan dan menutup mulut Brian.
Abigail menyipitkan mata, menatap mata Ezra berusaha mencari jawaban sebenarnya. "Buntutin gue ya lo?!"
"Pede lo ketinggian," kata Ezra.
"Ya abis apa dong?"
"Barang kita ketinggalan, Gail," kata Bryan, bantu Ezra jawab.
"Jangan panggil Gail. Abby aja, A-B-B-Y ."
"GAILGAILGAIL." Bukannya berhenti tapi Bryan memanggil Abigail dengan panggilan 'Gail' terus menerus.
"Minta digaplok."
"Pulang sana," suruh Ezra menatap Abigail dingin.
"Ya emang mau pulang, misi-misi minggir. Mau lewat," kata Abigail menggerakan tangannya tanda menyuruh Ezra dan Brian minggir.
"Kocak dah," kata Brian masih terkekeh.
......
Ezra membaringkan tubuhnya di kursi empuk menghadap ke jendela di kamarnya. Ia menarik napas dan menghembuskannya. Rasanya lelah, sendiri, dan bosan. Rutinitas setiap hari yang membuat dia bosen. Belum lagi, orangtuanya yang terus menerus berkerja tanpa memikirkan kondisinya sekarang.
Kapan ya gue bisa ngerasain kayak yang orang lain biasa rasain. Menikmati masa-masanya dengan teman dan keluarga, penuh dengan kehangatan.
Sudah tak tahan, Ezra memilih untuk pergi keluar rumah. Ia keluar kamarnya dan mengambil kunci mobil. Ezra menyalakan mesin mobil dan jalan menyusuri jalanan kosong malam hari. Merasa ada yang aneh, Ezra menengok ke spion dan melihat ada motor dibelakangnya. Ezra mengambil arah jalan yang belok dan terus menerus motor itu mengikutinya.
"Apa lagi elah," gumam Ezra. Ia menepi di jalan dan motor itu juga berhenti. Ezra menghampirinya, ingin melihat dengan jelas siapa orangnya.
"Lepas helm lo!" Ezra datang berusaha melepas helm, namun orang tersebut sudah lebih dulu menonjoknya.
Tidak mau kalah, Ezra memukul dan menendang, terus menerus melawan sampai orang tersebut tersungkur. "Apa masalah lo hah!?"
Ezra berniat membuka helmnya tapi tidak sempat. Orang tersebut menonjoknya terus menerus sampai tersungkur, membuat ujung bibir dan muka Ezra mengeluarkan cairan merah.
"ZRAA!" teriak seorang cewek turun dari taksi, menghampiri Ezra.
Orang dengan helm tersebut langsung balik naik motornya dan pergi dari hadapan Ezra sebelum ketahuan. Abigail sekilas melirik ke orang yang memukuli Ezra. "Zra, lo gapapa?"
"Arghh." Ezra meringis sakit saat ia berusaha gerak.
"Siapa orang tadi?" tanya Abigail panik. Di jalanan ini benar-benar kosong sekarang, Abigail tidak tahu harus minta tolong siapa.
"Zra, astaga." Abigail menarik dan menaruh tangan Ezra melingkar di bahunya, membawa Ezra ke mobil.
Ezra duduk di mobil dengan kesadarannya yang sudah kembali benar-benar penuh. "Ngapain disini?"
"Bantu lo," jawab Abigail masih khawatir.
"Ck."
"Heh, gue udah bagus ya bantuin lo gak pingsan di tengah jalan."
"Mending gue pingsan daripada dibantuin lo," kata Ezra dengan palanya disenderkan di kursi mobil.
"Ish, yaudah mending gue gak usah bantu tadi," gumam Abigail.
"Gue gak nyuruh lo bantu."
Abigail tidak meladeni omongan Ezra dan mencari kotak P3K di kursi belakang mobil Ezra. "Nah ini."
"Nih." Abigail memberi kapas dengan sedikit alkohol untuk membersihkan lukanya Ezra.
Ezra menerimanya dengan kasar dan mengusap lukanya dan meringis pelan. Abigail memperhatikan Ezra kasian sambil mengernyit membayangkan rasa sakitnya.
"Apaan?" tanya Ezra melirik Abigail.
"Eh, Itu- mau gue obatin aja?"
"Gak," tolak Ezra.
"Yaudah dih," kata Abigail kesal membanting tubuhnya ke kursi mobil dan melipat tangannya.
Ezra menyalakan mesin mobil dan mulai jalan. Badannya masih ada yang sakit tapi ia tidak peduli. Ia sekilas melirik ke Abigail yang memegangi perutnya.
"Udah makan?" Dengar pertanyaan Ezra, Abigail menatap Ezra setengah tidak percaya. Abigail menggeleng pelan sebagai jawabannya.
"Yaudah." Ezra menepi ke salah satu tempat makan sederhana tapi enak. "Disini gapapa?"
"Gue gak ngajak makan kok."
Tidak peduli, Ezra turun dari mobil dan Abigail pun juga. "Pesen apa neng?"
"Mmm.." Abigail melihat apa yang ada di menu. "Mie ayam deh."
"Saya gado-gado, bu."
"Sip. Den, tumben nih," ledek ibu-ibu penjual.
"Daripada mati kelaperan jadi saya ajak," jawab Ezra asal.
Mendengar kata-kata Ezra, Abigail melotot ke Ezra. Bilang apa lo tadi!? batin Abigail.
"Cocok loh," bisik Ibu penjual tersenyum geli. Ezra hanya mengangguk kecil dan menunduk sambil minum. Iyain aja daripada gak selesai, batin Ezra.
"Bilang apa lo tadi!? Ulang," kata Abigail menekankan setiap kata dengan kesal.
"Mati kelaperan."
"Cih! Dari awal gue gak minta makan dan gue gak bilang kalo gue laper loh ya," ucap Abigail kesal. Ezra hanya diam menatap Abigail dengan tajam.
"Apaan? Ngapain ngeliatin?" tanya Abigail sinis. Ezra terus menatap tidak beralih, membuat Abigail risih dan salah tingkah.
Apa sih? Ada yang aneh di muka gue? batin Abigail.
"Maap lama ya neng, den," kata Ibu penjual datang menaruh makanan di meja.
"Eh, iya gapapa Bu," kata Abigail tersenyum. Ia kembali melirik Ezra dan tetap matanya masih ke arah dirinya. "Noh makan woi, gak cape apa natap mulu."
Mampus salting kan lo, batin Ezra dengan rasa penuh kemenangan.
Mereka diam tidak ada yang berbicara karena fokus ke makanan masing-masing. Angin malam berhembus ke arahnya dan merasakan udara adem.
"Zra."
Ezra menengok ke Abigail tanpa mengeluarkan satu katapun, menunggu cewek di hadapannya berbicara.
"Jangan marah."
"Apa?"
"Mmm, sebenernya gue ... " Ucapan Abigail berhenti sebentar membuat Ezra merasa ada yang aneh.