"Mm.. Gue sebenernya .."
Ezra tetap diam sabar menunggu Abigail menyelesaikan kalimatnya.
"Itu- Mm.. sebenernya gue udah makan," ucap Abigail takut sambil tersenyum paksa menunjukkan giginya. Ezra tidak mengatakan apa-apa, hanya menatap Abigail lalu menghela napas panjang.
Ezra jalan duluan ke arah mobilnya meninggalkan Abigail.
"Ehh tungguinn dong," teriak Abigail.
"Maen ninggal aja." Abigail berjalan di samping Ezra sambil melihat sekelilingnya. Ia tersenyum kecil melihat anak-anak yang sedang bermain. Ternyata suasana malam disini menyenangkan. Abigail mengedarkan pandangannya dan perhatiannya teralih ke salah satu anak kecil yang duduk di pinggiran jalan sendirian.
Abigail berhenti dan memperhatikan anak yang terlihat lesu dan kotor. Ia menghampiri salah satu penjual makanan dan menghampiri anak itu. "Dek, nih buat kamu. Makan ya," kata Abigail memberi makanan ke anak tersebut.
Ezra menengok ke sampingnya tapi tidak ada Abigail. "Kemana lagi tuh anak?" gumam Ezra.
Ia mengedarkan pandangannya juga, balik ke arah jalan yang tadi ia lewati, dan menemukan Abigail di pinggir gerobak makanan bersama anak kecil.
"Nih cuci tangan dulu." Abigail memberikan hand sanitizer ke anak tersebut dan memberi arahan untuk mencuci tangan. Melihat Abigail, Ezra tersenyum kecil tanpa sadar.
Ia memperhatikan Abigail dari posisi pertama melihat Abigail bersama anak itu, tidak menghampiri.
"Kakak pulang dulu ya," pamit Abigail sambil mengelus punggung anak itu.
"Makasih kak." Anak itu tersenyum lebar ke Abigail sambil mengunyah. Abigail merasa senang dengan hal sesimpel itu yang bisa ia lakukan.
Abigail berdiri dan jalan ke arah jalan yang dia lewati tadi, berdiri depan Ezra. "Apa?"
"Gak," jawab Ezra melanjutkan langkahnya, jalan ke mobil. Dalam hatinya, Ezra kagum dengan hal kecil yang bisa Abigail lakukan untuk anak tadi.
Mungkin sikap Abigail yang selama ini lihat belum ia kenal dengan benar.
........
"Anjir Zra, muka lo kena apaan?" tanya Brian memperhatikan lebam di muka Ezra.
"Alvaro."
"HAH!?"
"Bukan Alvaronya tapi gue yakin rencana mereka."
"Lo kemana-mana bilang dulu, nanti rame-rame nyerangnya terus lo sendiri kan bahaya," kata Brian mengingatkan.
"Gue bukan anak kecil elah." Ezra bangkit dari kursinya dan berjalan keluar kelas.
"Yeh, bukan masalah anak kecil ato bukan," gumam Brian tetap di tempat duduknya, ditinggal Ezra.
Ezra berjalan menuju lapangan basket tapi seseorang menghalangi jalannya. "Hai."
"Minggir."
"Gak. Lo harus ikut gue," kata Aneta menarik tangan Ezra ke kelasnya. Merasa kesal, Ezra langsung menepis.
"Kapan sih lo gak kasar!?" ucap Aneta sedikit teriak.
"Hai guys!" sapa Abigail ke mereka berdua. Aneta menyapa balik dengan senyum kecil dan Ezra menatap dingin Abigail, membuatnya menciut seketika. Ia mengerti tanda tatapan Ezra. "Sorry ganggu."
Abigail berniat meninggalkan mereka berdua tapi tangan Ezra tiba-tiba menariknya pergi dari hadapan Aneta.
Aneta melihat dengan jelas apa yang terjadi di depan matanya. "Ezra suka Abigail kah?" tanyanya dalam hati. Belum pernah Ezra yang mempunyai sifat dingin dekat dengan cewek sampai menarik tangannya. Baru kali ini juga Aneta merasakan yang namanya benar-benar cemburu.
"Abigail dari Virgo, Zra."
Mendengar ucapan Aneta, Ezra berhenti melangkah dan melepas tangan Abigail. Ezra balik badan menatap Aneta. "Terus?"
"Lo mau temenan sama mantan anak Virgo?" tanya Aneta menatap Abigail.
Abigail membalas tatapan Aneta sedikit tersinggung. "Maksud lo apaan? Orang-orang gak boleh temenan sama gue gitu?"
"Ck. Gak gitu, gue takutnya lo sekolah disini cuma disuruh anak sana supaya lo mantau orang-orang sini atau jangan-jangan lo buangan?" sindir Aneta puas.
"Jaga omongan lo!" bentak Ezra. Aneta kembali menatap Ezra tanpa ada rasa takut.
"Apa? Belain Abigail? Suka lo sama dia?"
"Udah, Zra biarin," kata Abigail ke Ezra tapi menatap ke Aneta. Ia menarik tangan Ezra pergi dari hadapan Aneta ke tempat yang lebih sepi.
Ezra melepas tangannya dari Abigail dan menanyakan hal yang membuatnya penasaran. "Lo beneran dari Virgo?"
"He'em."
"Lo kenapa pindah kesini?"
"Kenapa sih emangnya? Gue salah gitu ya sekolah disini? Lo percaya kata-kata Aneta?"
Ezra hanya diam mendengarkan gerutuan Abigail. "Gue nanya bukan buat denger lo tanya balik."
"Harus banget tau emangnya?" tanya Abigail. Ezra tidak mau melanjutkannya dan meninggalkan Abigail sendiri. Ia tak mau tanya lebih lanjut karena pasti yang dia dapat hanya pertanyaan balik.
"Napa sih?!" gumam Abigail.
......
"ABBYYY."
"Apa?"
"Lo beneran dari Virgo?" tanya Aleeza penasaran.
"Aelah, itu lagi itu lagi," jawab Abigail sambil menyenderkan badannya di kursi kelas.
"Lo udah jadi bahan gosip."
"Hah?"
"Nih ya gue jelasin dulu. Anak Virgo tuh dibenci sama sekolah ini karena suka ngajak ribut, nggak cewe nggak cowo. Alasan lain juga ada tapi gak tau deh. Kayak turun temurun gitu loh."
"Tapi gue enggak."
"Bi, karena gue percaya lo, janji jangan sebar ya." Mendengar kata-kata Aleeza yang terlihat serius, dia mengangguk.
"Gue adiknya Alvaro, anak Virgo yang musuhan sama Ezra," bisik Aleeza.
"Kok mereka bisa musuhan?"
"Keluarga gue dendam sama keluarga Ezra tapi sih gue engga."
"Owh, oke gue gak bilang siapa-siapa," kata Abigail sambil memperagakan dia mengunci mulutnya. "Ini gue doang yang tau?"
"Iye."
......
"Abby, bisa tolong gantiin gue jadi bendahara osis gak?" tanya Krista
"Loh kenapa gue?"
"Karena lo yang paling rapih di kelas."
"Ohya? Emang ada hubungannya kerapihan sama bendahara?" Abigail mengedarkan pandangannya di kelas dan melihat satu per satu orang. "Mm, yaudah. Emang kenapa lo mau diganti?"
"Gue disuruh jadi sekretaris, makanya gue nyari pengganti dari kelas ini aja deh."
"Ohh tapi - " Belum selesai ngomong, Krista sudah lanjut ngomong duluan lagi.
"Lo ke ruang osis dulu aja sekarang, nanti dijelasin sama ketua osisnya langsung."
Abigail merapikan barang-barangnya dan keluar kelas menuju ruang osis. Ia berdiri di depan pintu osis ragu karena belum pernah masuk dalam organisasi osis di sekolah sebelum-sebelumnya. Tangannya mau memegang gagang pintu tapi ternyata terbuka sebelum ia pegang.
"Mm, permisi. Ketua osisnya ada gak?" tanya Abigail.
"Iya ada, masuk aja," jawab salah satu kakak kelas anggota osis.
Abigail masuk ke ruang osisnya dan menemukan seorang cowok yang sepertinya ia kenal sedang menulis. Dia mendekat ke meja cowok tersebut dan ternyata benar. "Lo osis?"
Cowok itu tidak menjawab ataupun menengok ke Abigail. "Gue nanya woi."
Abigail duduk di depan meja Ezra, menunggu Ezra mengeluarkan kata-kata. 5 menit lewat, tidak ada yang mengucapkan apa-apa. "Ish, tau ah. Ketua osisnya mana, Zra?"
"Depan lo."
"Hah lo!? Lo ketos?"
Ezra melirik Abigail yang kaget dan lanjut menulis. "Orang kayak lo kok bisa jadi ketos ya," gumam Abigail.
"Apa lo bilang?"
"Gak. Eh ini gue gantiin Krista jadi bendahara. Gue mesti gimana?"
"Diem," perintah Ezra.
"Lah, apaan - "
Omongan Abigail terpotong karena suara laci yang Ezra buka sangat kencang dan menaruh satu amplop coklat di depan Abigail.
"Itung."
"Hah? G-gue ngitung? Ginian? Kalo salah gimana? Terus kalo ada yang ilang padahal bukan gara-gara gue gimana?"
Brisik amat sih toa, batin Ezra.
"Cih, percuma gue buang-buang tenaga ngomong sama lo gak dijawab tapi giliran lo ngomong gue jawab panjang lebar. Ngitung ginian cape elah, Zra. Gue takut ada yang ilang. Trus kalo - " Abigail berhenti mengoceh melihat Ezra bangkit dari kursinya.
"Lo mau kemana?" tanya Abigail memperhatikan Ezra yang berjalan ke arah keluar ruang osis, dan membanting pintu.
"Dih, galak." Abigail mulai membuka amplopnya dan mengeluarkan uang yang ada di amplop itu. Ia menghitung jumlah uang di amplop itu dan mencatatnya di sebuah kertas.
Melihat jam dinding yang ada di ruangan itu, Abigail baru sadar sudah pukul 15:00. Ia mengambil kertas post it note dan menulis pesan untuk Ezra.
"UDAH GUE ITUNG, UDAH GUE TULIS JUMLAHNYA DI DALEM AMPLOP ADA KERTAS. GUE GAK KORUPSI BYE," ucap Abigail sambil menuliskannya di post it note dengan huruf kapital dan tanda seru. Ia menempelkannya di atas amplop coklat itu dan keluar ruangan untuk pulang.