Chereads / Keep The Marriage / Chapter 10 - Surat Untuk Kamu

Chapter 10 - Surat Untuk Kamu

"Mas, kalau main ingat waktu. Sekarang sudah jam sepuluh malam, besok mas kerja loh." Teguran ini berasal dari mulut Zulfa yang masih menatap sang suami dengan tatapan kecewa, namun lembut. Ia sama sekali tidak ingin menunjukkan kalau dirinya sudah lelah namun tidak ingin menyerah. Bagaimanapun juga, kalau semua hal yang di jalankan memiliki tingkat kepercayaan yang cukup tinggi, ia sangat yakin jika suatu saat nanti pasti takdir bahagia akan berpihak padanya.

Farel mengacak rambutnya dengan kasar, ia sangat muak ketika melihat Zulfa yang selalu menunggu kepulangan dirinya. Dia sudah dewasa, mandiri, dan bisa mengurus segalanya sendirian, kenapa Zulfa selalu saja ikut campur ke dalam hidupnya. "Bukan urusan kamu." ucapnya sambil menatap datar ke arah Zulfa. Langkah kakinya kian menjauh dari wanita tersebut, sebenarnya ia enggan bertegur sapa tapi karena Zulfa yang menegurnya duluan pun membuat dirinya mau tidak mau harus bersuara.

Baru saja ia ingin menaiki tangga untuk menuju ke kamarnya yang berada di lantai dua, tubuh Zulfa sudah terlebih dahulu menghalangi akses jalannya supaya dirinya tidak bisa melanjutkan langkah dan terpaksa berhenti dengan sebuah hembusan napas jengah. Kali ini, apalagi yang akan di lakukan nya?

Zulfa sudah mengganti ekspresi wajahnya menjadi tersenyum simpul yang tentunya terlihat sangatlah tulus. "Mas lapar kan? Makan dulu yuk." tanyanya seolah-olah apa yang ia tawarkan ini akan mendapatkan balasan yang setimpal seperti apa yang berada di dalam benaknya.

Ternyata wanita dengan piyama karakter Minnie Mouse bewarna hitam putih dengan sedikit warna merah di padukan kerudung hitam langsung pakai itu belum cukup menciut dengan tindakan Farel. Apapun yang terjadi, pasti pantang menyerah. Karena hati wanita, memang dapat di deskripsikan seperti baja yang tahan banting.

"Saya tidak lapar, kamu boleh membuang makanannya." ucap Farel sambil berusaha dengan pelan mendorong tubuh Zulfa supaya tidak memblokade jalannya. Ia tidak ingin kasar selagi wanita itu tidak berlebihan pada dirinya. Ia sangat tahu Zulfa bersikap seperti ini karena menjalankan kewajibannya sebagai seorang istri, tapi hal itu tidak akan mengubah jalan pikirannya sama sekali.

"Tapi aku masak makanan kesukaan, mas. Yakin gak mau?" ucap Zulfa masih berusaha untuk meluluhkan hati yang sudah sangat beku kepadanya ini. Lagipula, mencicipi masakannya sedikit saja tentu tidak akan rugi, iya kan?

"Dan saya tidak peduli." ucap Farel sambil mulai menyingkirkan kembali tubuh wanita yang ada di hadapannya ini dan menaiki anak tangga satu persatu. Ia tidak ingin membuang tenaganya untuk istri tidak penting seperti wanita tersebut. Jahat? Tidak, salahkan saja takdir yang salah menyatukan raga dan hatinya. Cinta tidak bisa di paksa, bukan?

Kalai begitu, ia berhak mempertahankan apa yang sudah ia genggam. Memangnya siapa yang mau memulai dari 0 lagi bersama orang baru? Bahkan ia belum pernah bertemu dengan Zulfa sebelumnya. Mungkin pernah, tapi ia lupa. Karena hal yang tidak penting patut untuk di lupakan, soalnya tidak pantas saja jika di simpan di dalam ingatannya.

Mendengar hal itu, Zulfa menaikkan sebelah alisnya lalu mulai memutar kembali otaknya untuk mengatakan jurus lainnya supaya laki-laki itu terbujuk. "Mas yakin gak mau beef steak? Yasudah kalau gitu aku buang saja deh." ucapnya masih dengan kedua mata yang berharap ke arah Farel. Kedua bola matanya mengikuti setiap langkah sang suami yang sudah hampir mencapai lantai dua rumah mereka. Bahkan kepalanya kini sudah setengah mendongak.

Langkah Farel terhenti tepat di tangga terakhir yang sudah membawa dirinya ke lantai dua, ia menolehkan kepalanya ke arah Zulfa. Astaga, beef steak? Itu adalah salah satu makanan favoritnya sedari kecil. Dalam kondisi apapun, dia pasti tidak bisa menolaknya. Ia dengan susah payah meneguk salivanya, berusaha tidak tergiur dengan ucapan wanita tersebut.

Saking tersentak dirinya, bahkan kini ia hanya bergeming tanpa mengiyakan ucapannya Zulfa ataupun menolaknya. Dirinya tengah tersihir bersamaan dengan suara perutnya yang berbunyi, ia cukup lapar dan pas sekali saat wanita itu menawarkan dirinya sebuah hidangan yang pasti tidak dapat di tolak oleh seorang pecinta makanan western seperti dirinya.

"Yaudah mas mandi dulu saja, nanti aku bawain makanannya ke kamar." ucap Zulfa dengan sebuah senyuman hangat. Kini, hatinya bersorak gembira karena tidak mendengar bantahan dengan nada penolakan yang keluar dari mulut laki-laki itu. Tak ayal, ia mengulum sebuah senyuman manis.

"Terserah." ucap Farel pada akhirnya. Ia bahkan kini secara tidak sadar sudah mengesampingkan egonya supaya tidak tenggelam di dalam kesengsaraan perut lapar yang berbunyi. Ia adalah laki-laki yang paling tidak bisa untuk menahan lapar, bisa-bisa nanti malam perutnya keroncongan dam berbunyi meminta makanan.

Dalam hati, Farel menebak-nebak bagaimana rasa dari steak buatan Zulfa nanti. Apa akan terasa nikmat seperti buatan ibunya? Ah sudahlah, untuk apa dirinya jadi memikirkan tentang Zulfa. Dengan cepat, ia memasuki kamar dan menutup pintunya. Lelah sekali rasanya, hampir seharian full ia berada di dekat Rani. Menghabiskan waktu bersama, menemani gadis itu belanja bulanan, bermain game di salah satu tempat permainan, dan tidak lupa ia mengajak Rani untuk makan malam di salah satu restoran ternama di Jakarta. Ia tidak mau Rani memakan masakan yang tidak sesuai selera, contohnya seperti masakan Zulfa.

Ia langsung saja memasuki kamar mandi, membasuh tubuhnya dengan air hangat yang ia sudah atur temperaturnya, mengingat ini sudah malam. Rasa lelahnya terbawa sudah dengan aliran air yang jatuh dari tubuhnya ke lantai, sekarang tubuhnya sudah segar dan ringan kembali. Ia melilitkan handuk di pinggangnya, khas seorang laki-laki yang habis selesai mandi. Wangi maskulin sudah memenuhi setiap sudut kamar mandi, wangi yang memabukkan untuk kaum hawa karena aroma maskulin yang terpancarkan langsung dari tubuhnya itu.

Ia memakai pakaian yang ternyata sudah di pilihkan oleh Zulfa, t-shirt putih polos dengan boxer bewarna hitam. Outfit yang santai mengingat sekarang sudah malam hari. Ia menggantung handuknya lalu menatap nakas yang berada di samping tempat tidur, disana terdapat satu porsi beef steak dan ocean blue drink. Astaga, ini benar-benar menu kesukaannya!

Walaupun jam sudah ingin beranjak tengah malam, tidak menghentikan dirinya untuk memakan ini semua. Siapa yang berani menolak makanan seenak ini? Ia yakin tidak ada. Dan dirinya juga seperti itu, apalagi dirinya memang benar-benar kelaparan. Astaga...

Tatapan Farel jatuh pada selembar surat bewarna ungu yang terletak di atas nakas yang berada di samping kasur king size-nya. Ia menaikkan sebelah alisnya sambil mengambil surat itu, dan menatapnya dengan sangat perinci. Matanya menyipit kala isi kepalanya mulai menerka-nerka apa isinya.

Farel menaikkan bahunya acuh, lalu meremas surat itu menjadi sebuah gumpalan yang sudah tidak terbentuk lagi karena ia sangat tidak berminat untuk membaca apapun dari Zulfa. Ia membuang kertas tersebut, tepat di keranjang sampah khusus sampah kering yang berada tidak jauh dari pijakannya saat ini. Wanita itu sangat teramat tidak penting baginya, untuk apa pula dia memberikan dirinya hal yang seperti ini?

Dengan perasaan sedikit jengkel, ia mulai menikmati makan malamnya, lagi. Ternyata masakan Zulfa tidak terlalu buruk, namun untuk peringkat rasa masih dalam nomer urut 5 dari 10.

Dirinya memang membenci dengan kehadiran seorang wanita yang sama sekali tidak diinginkan masuk ke dalam hidupnya. Tapi, untuk saat ini sepertinya ia harus menelan ludahnya yang terasa sangat getir. Kalau begini jadinya, ia memang tidak ingin meninggikan rasa ego.

Rasa yang tidak akan pernah ada untuk Zulfa, tentu saja semakin membuat dirinya yakin kalau wanita itu pasti dengan perlahan akan meninggalkan dirinya. Dan kalau sampai hari itu terjadi, ia yakin kebahagiaan akan terukir di relung hatinya yang paling dalam.

Ia akan menjalin rumah tangga dengan seorang gadis yang tentunya ia sangat sayangi, siapa lagi kalau bukan Rani? Memangnya ada gadis yang lebih baik lagi selain kekasihnya yang satu itu? Tentu saja tidak ada. Zulfa? Ah tidak, ia belum minat dan tertarik dengan kedatangan wanita itu yang tiba-tiba merebut status 'istri' dari kekasihnya.

Dengan hanya bermodal segala pembuktian kalau Zulfa itu adalah seorang istri yang baik, tentu bukan menjadikan landasan supaya dirinya ini merasa berbaik hati untuk membuka wanita itu masuk ke dalam hatinya.

Kini, yang Farel harus lakukan adalah diam dan tidak melakukan apapun kecuali membuat Zulfa merasa kalau dirinya memang benar-benar tidak di butuhkan olehnya.

Jahat atau tidak, poin utamanya adalah kalau sesuatu yang tidak di inginkan masuk ke dalam hidupnya, ia hanya perlu menentukan untuk mengizinkan orang itu menetap atau di buang.

Semua sudut pandang dirinya memang terlihat sangat tegar, tapi ada penjelasan lebih rinci mengenai semua ini. Yang tentunya hal itu tidak dapat di publikasikan secara sembarang karena hal itu pun mengganggu privasi dirinya.

Apa yang mengalir kali ini, tentu saja harus tetap berjalan seperti ini sampai seterusnya. Kalau nanti dirinya kalah, pasti ada Rani yang menyadarkan dirinya untuk kembali ke rumah sebenarnya.

Ada hati yang tidak bisa di paksakan, dan hal itu membawa dampak buruk bagi seseorang yang terkena imbasnya. Mungkin hati yang satu memilih untuk berdiam diri dan menolak kehadiran, tapi yang satunya lagi tengah berjuang untuk mendapatkan hak dan kewajibannya seolah-olah tengah berjuang di ribuan jarum hanya untuk mencari satu helai jerami.

Sakit.

Untuk hal yang tidak dapat di deskripsikan, Farel dengan egonya mulai membuat luka baru di dalam hati seorang wanita yang memiliki rasa sabar dan pertahanan sekuat baja.

Namanya Zulfa Naraya, masih setia mengejar cinta seorang Farel Putra Brahmana.

Farel pun kini masih melayangkan pikirannya bersamaan dengan kunyahan steak yang berada di dalam mulutnya. Entah apa yang ia rasakan, tapi dia tidak memiliki perasaan apapun untuk Zulfa. Jika dirinya dibilang laki-laki tidak tahu diri dan tidak punya hati, siapapun orang itu pasti salah besar.

Toh seharusnya tahu, jika mencintai seseorang yang hatinya sudah terukir di lain hati, pasti akan sulit untuk berbelok.

...

Next chapter