Brak... Tubuh Airin menabrak salah satu pintu bilik toilet. Airin merasa kesakitan. Tapi dia diam saja. Entah kemana keberaniannya, semuanya rasanya mengintimidasinya. Airin tak punya keberanian, terlebih mereka adalah kakak tingkat, teman-teman Yola. Airin tak berani. Perasaan tertindas itu selalu membuatnya teringat akan musuh-musuhnya. Dia lelah. Tapi dia tak bisa memberontak.
"Besok sidangnya kan? Jangan sampai lo ngadu ke DPM kalau kita dan Yola yang nyuruh lo untuk lapor ke DPM," kata salah satu teman Yola.
"Pokoknya lo diem aja. Jangan ngomong apapun. Jangan bikin Yola kena masalah lagi. Intinya lo harus dukung Yola, bilang kalau Yola nggak salah tapi Stefa yang cari gara-gara," ancam salah satu temannya.
"Ngerti nggak lo?" tanya mereka.
"I..iya kak, aku ngerti kok," jawab Airin dengan lemah.
"Ya udah pergi sana. Jangan sampai lo bocorin semuanya. Atau enggak gue akan bilang ke musuh-musuh lo untuk gangguin lo lagi," kata salah satu dari mereka.