Bunga menuruni gunung tempatnya bertapa dengan tergesa. Pikirannya dipenuhi oleh rasa khawatir. Ia menuju rumahnya sendiri, tempat ia tinggal bersama ibunya yang juga seorang tabib pada masa Kerajaan Mataram.
Dalam hati ia terus berdoa bahwa apa yang ia dengar adalah suatu kesalahan. Tidak mungkin sekarang sudah dua ribu dua puluh dua masehi.
Begitu sampai di tempat yang ia kenal itu, auranya tetaplah sama, namun rimbunan tumbuhan sudah memenuhi tempat yang dulu disebut Bunga sebagai rumahnya. Tidak ada sisa kayu bangunan sama sekali. Ia benar-benar sudah berada jauh di masa depan.
Air mata Bunga tidak bisa ditahan lagi. Ini semua petaka. Petaka!
Bunga berlari tidak tentu arah dengan pakaian mode jaman dulu, ia berulangkali terjatuh karena terbelit oleh kain jariknya sendiri. Hatinya hancur. Tujuannya bertapa hanya untuk mengumpulkan kekuatan agar Mataram bisa menghadapi perang melawan penjajah. Tapi ia bangun di dunia yang benar-benar baru dan asing.
Bunga menyesal. Kenapa ia harus bertapa? Kenapa ia harus menuruti keinginan ibunya yang juga menjadi guru sihirnya untuk mengumpulkan kekuatan. Seharusnya ia pergi saja ke medan perang saat itu. Biarkan ia segera mati dan tidak menghadapi dunia ini sendirian.
Semua yang terjadi bukan hal yang ia inginkan. Bunga menangis sampai lemas. Ia tidak tahu harus bagaimana. Ia teringat janji yang telah dibuatnya sebelum ia bertapa kepada ibu sekaligus gurunya, dan juga kepada seseorang bernama Wijaya, kekasihnya yang menjadi panglima perang saat itu.
Bunga berjanji untuk membantu Wijaya dengan sihirnya untuk mengalahkan penjajah. Setelah Negeri Mataram damai kembali, ia akan melangsungkan pernikahan yang sudah ia idamkan dengan Wijaya.
Bunga melakukan semua pertapaan ini adalah untuk membela negerinya, membantu ibunya, membantu kekasihnya untuk menghadapi penjajah. Kenapa Penguasa Jagad memanjangkan umurnya sampai beratus-ratus tahun dan membangunkannya di fase ini.
Kini Bunga tidak punya siapa-siapa lagi. Bunga tidak tahu kini harus bagaimana, harus seperti apa. Ia tidak punya harapan lagi selain mati.
Bunga kembali berdiri dan melihat jauh ke arah hutan belantara. Mencari pohon paling tinggi di sana. Ia ingin menghabisi nyawanya sendiri dengan menjatuhkan diri dari pohon tertinggi itu. Ia pun berbegas pergi.
Sesampainya di pohon itu, Bunga melihat ke bawah untuk memastikan, pohon itu benar-benar tinggi agar ia bisa mati dengan mudah tanpa rasa sakit, menyusul ibu dan juga kekasihnya.
Bunga segera berniat menjatuhkan diri namun tiba-tiba ada suara yang terdengar di telinganya.
'Bunga, ini adalah saat yang tepat kau menggunakan kekuatanmu,' gema suara itu di telinga Bunga.
Bunga berteriak, "Hah! Kenapa? Aku kini sudah sendirian, tidak ada yang perlu aku bantu, lagipula kulihat negeri ini sudah damai. Tolong buat aku mati saja!"
Setelah Bunga berucap seperti itu, ia segera menjatuhkan dirinya dari pohon itu. Angin terasa begitu kencang menerpa tubuhnya yang terjun dari atas ketinggian. Ia senang begitu akhirnya melihat tanah. Sebentar lagi ia mati.
Anehnya, Bunga menyentuh tanah dan mendarat dengan mulus. Sama sekali tidak terluka. Ia tidak menabrak tanah dengan keras. Pohon yang tingginya sekitar 6m itu benar-benar tidak ada apa-apa dibandingkan kesaktiannya saat ini.
Bunga memegang kedua kepalanya yang benar-benar masih utuh. Tidak terluka atau tergores apapun. Ia melihat ke arah kakinya yang menapak dengan tegap dan kuat. Bunga menjadi panik.
"Kenapa aku masih hidup?" Teriak Bunga.
Tidak ada suara yang menyahutinya. Hanya terdengar nyayian alam, suara daun yang saling bergesekan tertiup angin, burung-burung yang berkicau. Suara yang membisikinya beberapa saat yang lalu entah kemana.
Bunga melangkah gontai meninggalkan tempat itu. Walau ia ulang kembali terjun dari atas sana, ia tidak akan mati dengan mudah karena kondisinya yang masih full-power. Ia harus mencari cara lain.
Bunga berpikir keras. Pasti ada sesuatu yang menjadi pengapesannya. Ia ingat, ia pernah memiliki sebuah keris pasangan. Satu adalah miliknya, satu lagi miliki Wijaya. Ia menyimpannya di lemari kamarnya sebelum ia bertapa.
Bunga kembali lagi menuju rumahnya. Dengan sihir, ia bisa menemukan kembali keris kecil itu dengan mudah. Sekarang keris kecil seukuran telapak tangan itu sudah berada di tangannya.
Bunga membuka sarung keris itu dengan hati-hati. Ia sekali lagi tidak dapat membendung air mata yang mengalir deras. Ia mengingat kembali semua yang sudah ia lewati bersama Wijaya. Ini terlalu berat.