Hari yang cerah saat Bunga berjalan-jalan di tepi hutan. Ia sedang mencari tanaman obat yang biasa digunakan ibunya untuk membuat obat. Ia mengambil pucuk teh, bunga telang, krisan, akar cendana, daun kayu putih dan masih banyak lagi. Tugasnya sehari-hari memang mencari bahan-bahan itu.
Sejak usia sepuluh tahun, Bunga sudah diberikan izin untuk mencari sendiri bahan-bahan obat itu bahkan sampai ke tengah hutan. Rumah Ibu Bunga memang berada di tepi hutan dekat dengan Keraton Mataram. Kebetulan sekali, ibunya juga bekerja sebagai tabib di Keraton Mataram.
Ibu Bunga merupakan tabib yang terkenal di seluruh pelosok Negeri Mataram. Selain pintar meracik tanaman obat, kekuatan tenaga dalam penyembuhannya juga sangat membantu. Bakat ini pun menurun pada anaknya, yaitu Bunga.
Ayah Bunga sendiri juga merupakan dukun sakti yang bisa mengeluarkan kiriman kejahatan jarak jauh. Sayangnya, Ayah Bunga meninggal saat Bunga masih berusia sepuluh tahun.
Saat itu ia sedang mengambil bunga telang liar yang tumbuh di tepi hutan. Tiba-tiba dari arah yang sangat dekat ia mendengar suara kuda meringkih. Bunga kemudian pergi mencari sumber suara itu dan ia bertemu Wijaya pertama kali saat itu.
Wijaya rupanya terjatuh dari kudanya. Kudanya terluka akibat terkena sebuah mata tombak di kakinya, entah darimana.
"Kau tidak apa-apa?" Tanya Bunga.
"Kakiku sakit, tapi tolong bantu kudaku lebih dulu," jawab Wijaya sekenanya. Wijaya sedang kesakitan memegangi kakinya sambil meringis.
Bunga melihat kuda itu. Dengan cepat Bunga tahu apa yang akan ia lakukan untuk menyelamatkan kuda itu. Ia segera mengambil beberapa dedaunan dari keranjang obat yang dibawanya dari rumah.
Bunga meremas beberapa daun itu sampai sedikit halus. Bunga kemudian menarik mata tombak itu. Darah keluar perlahan dari kaki kuda itu. Bunga segera menutup luka itu dengan daun-daun yang telah dihaluskan itu.
"Terima kasih," Ucap Wijaya tulus.
Bunga langsung berganti mendekati Wijaya untuk melihat lebih dekat, apakah pria itu terluka. Setelah Bunga periksa, rupanya kaki Waluya terkilir cukup parah sampai menimbulkan bengkak yang cukup besar.
"Kakimu terkilir dan bengkak cukup parah, kemungkinan kau tidak akan bisa berjalan selama dua hari sampai bengkaknya hilang," jelas Bunga sambil duduk memeriksa kaki Wijaya.
"Ah, itu lama sekali. Aku harus menghadiri pengangkatanku sebagai prajurit terbaik tahun ini di Keraton Mataram besok," Gerutu Wijaya pelan tapi terdengar oleh Bunga.
"Jangan khawatir, dengan ibuku kau pasti bisa sembuh lebih cepat. Ayo kita pergi ke rumahku," ajak Bunga.
Bunga mengikat kuda milik Wijaya di pohon dekat tempat itu. Ia kemudian membantu Wijaya berdiri dan membantu memapahnya pulang ke rumahnya.
Sampai di rumah Ibu Bunga terkejut karena Bunga membawa pulang pria.
"Bunga, siapa ini?" Tanya ibunya bingung.
"Aku tidak tahu namanya siapa. Tapi apakah ibu bisa membantunya? Aku menemukannya di pinggir hutan sedang terjatuh dari kudanya," jawab Bunga.
Ibu Bunga kemudian celingak-celinguk melihat di belakang anaknya. Mencari kuda yang baru saja dikatakan.
"Mana kudanya?" ucap Ibu Bunga sambil menutup pintunya setelah Bunga masuk.
Wijaya dibaringkan di ranjang depan yang juga merupakan tempat praktek ibunya bila sedang tidak bertugas di Keraton Mataram.
"Kudanya kuikat di pohon tepi hutan, Ibu. Ini tanaman obat yang kau minta Ibu. ucap Bunga.
Ibu Bunga menerima keranjang itu kemudian masuk ke dalam ruangan belakang rumah mereka. Bunga menemani Wijaya bercakap-cakap.
"Hei, kita belum berkenalan, aku Bunga," sapa Bunga santai sambil melihat luka bengkak yang terdapat di pria itu.
Pria itu menjawabnya sambil meringis pelan, "Wijaya."
Percakapan mereka terhenti begitu Ibu Bunga kembali ke ruangan depan tempat Wijaya berbaring. Ibu Bunga kemudian melihat dan menyentuh beberapa sisi bengkak itu.
Wijaya berjingkat kesakitan saat tangan Ibu Bunga menyentuh bengkaknya.
"Kakimu sepertinya terkilir parah, nak. Kau setidaknya harus beristirahat 2 hari," ucap Ibu Bunga yang sama persis dengan Bunga.
Wijaya melirik ke arah Bunga seperti meminta tolong. Bunga membalas tatapan itu dengan senyuman canggung lalu bertanya pada ibunya, "Ibu, kalau dari pakaiannya, sepertinya ia orang penting Keraton Mataram, apakah kau tidak bisa menyembuhkannya lebih cepat?"