Menjadi bahan omongan satu kelas bagi dirinya memang biasa saja. Tapi, jika menjadi pembicaraan satu fakultas mau diletakkan dimana wajahnya?
Rumor yang dengan cepat dan sengaja di sebarkan oleh orang kurang ajar. Setiap dirinya lewat sendirian pasti ada saja yang berkomentar tentangnya.
"Eh, itu yang katanya pembawa sial ya?"
"Pantes, sendirian terus."
"Jangan deket-deket deh, ngeri ketimpa sial."
Asha hanya menutup telinganya rapat-rapat mengunakan earphone. Menyalakan lagu dengan volume yang besar. Tak peduli ia akan budek atau apalah itu.
Tujuannya sekarang ke arah kantin fakultas, ia sangat lapar karena tadi tidak sarapan.
Jalan menuju kantin fakultas hanya bisa melewati lapangan basket. Dan sekarang beberapa mahasiswa cowok yang terkenal sedang bermain basket disana. Lebih tepatnya di tonton oleh banyak mahasiswa. Apalagi jika mereka memang kurang kerjaan?
Pandangan Asha berhenti pada cowok yang memasukkan bola ke ring lawan. Wajahnya peluh oleh keringat, ditambah ia mengenakan kaos putih yang basah oleh keringat.
Asha masih normal, ia akan terbuai oleh itu semua tapi, tidak dengan berteriak histeris seperti orang gila. Membayangkan suaranya habis saja sudah ngeri.
Seperti biasa, Asha jalan dengan tampang biasa tetapi, pandangan mata yang bisa menusuk orang yang ditatap. Ia tidak menunduk seperti orang yang malu di cap pembawa sial. Tidak merasa pembawa sial kenapa harus malu?
Ambil mudahnya saja, orang-orang yang merendahkan dirinya berarti telah menghina Tuhan. Menghina dirinya sebagai ciptaannya sama saja dengan menghina Tuhannya.
Tak ingin ambil pusing, Asha kembali berjalan. Tapi, sepertinya sekarang adalah hari sialnya.
"Awas!"
Asha yang memakai earphone hanya samar-samar mendengarnya, saat dia menoleh. Tepat saja, bola basket telah mengenai wajahnya hingga dirinya terduduk di pinggir lapangan. Dengan keadaan memegang hidungnya yang terasa nyeri.
Darah mengalir dari sana, Asha mengadahkan kepala berusaha menahan darahnya agar tidak semakin banyak.
Tentu saja kejadian itu menyita perhatian semua orang, lihat saja sekarang. Asha telah dikerubungi oleh beberapa mahasiswa, ada yang tertawa, menatap kasihan tanpa ingin menolong dan lain-lain. Ya pasti kalian udah tau.
Cowok yang dibilang tak sengaja melempar bola kearah Asha berada di hadapannya sambil mengulurkan tangan. Asha hanya memandang uluran tangan itu dan mengabaikannya, ia mengambil tisu di tas selempangnya dan menahan darahnya dengan tisu.
Karena merasa terabaikan cowok itu menarik kembali uluran tangannya. "Maaf." Ucapnya dengan datar, dingin, dan nada tak bersahabat.
"ASHA!! Ya ampun lo kenapa?!" Zola datang berlarian dan mendekat ke arah Asha. Zola mengadahkan kepalanya melihat cowok yang sedang menatap datar kearah mereka berdua. Zola berdiri.
"Cakra! Lo kenapa sih?! Sengaja ya?!"
Yap dia Cakra Dikara Mahendra. Cowok yang terkenal di kampusnya, apalagi kalau bukan tampan, pintar, atletis, dan tajir. Paket komplit. Sayangnya sikapnya yang harus dibenahi.
Cakra mengerutkan keningnya. Tak setuju dengan cewek dihadapannya.
"Jawab kek! Gue aduin Bunda lo nanti!" Ancam Zola, Cakra yang merasa diancam menatap datar Zola.
"Gak peduli." Cakra berbalik badan, berniat menghampiri temannya.
"Oh? Nantangin, yaudah gue bawa nih cewek ke hadapan Bunda lo. Biar lo dihakimin sama Bunda lo." Langkah Cakra berhenti. Anak dari teman Bundanya sangat cerewet, membuat telinganya panas.
Zola membantu Asha berdiri. "Liat aja lo Cak!"
"Udah La.. gak papa, ke ruang perawatan aja." Zola dan Asha meninggalkan lapangan.
Cakra yang melihat itu hanya diam dan melanjutnya jalannya kearah teman-temannya.
******
"Si Zola bawel lagi bro?"
"Ya lo kagak tau aja Tan, kalo menyangkut si cewek sial itu. Jiwa-jiwa pendekarnya bangkit." Jawab Aksa menjadi wakil dari Cakra.
"Eh kambing! Enak aja lo manggil gue Tan, Tan. Nama gue Etan!" Etan tak terima jika dirinya dipanggil Tan. Katanya seperti tante-tante. Padahal dia pejuang wanita. Semua kategori dipacarin, heran.
"Sama aje, biar lebih ringkes."
Sekarang mereka berada di ruang band. Mereka anggota Band, bisa dibilang anggota ekskul seni.
"Udah, gak usah ngomongin orang." Ucap si kalem, Alby.
"Asyiapp! Uztad Alby sudah beraksi!" Etan menoyor kepala Aksa.
"Udah ah diem! Nanti dia ceramah panjang." Aksa mengusap kepalanya sendiri karena saat Etan menoyor kepalanya, ia kehilangan keseimbangan dan terkena dinding.
"Vyn, diem aja lo." Ucap Alby melihat Gavyn hanya diam menatap layar ponselnya.
Ia melirik teman-temannya dan berdiri dari duduknya.
"Mau kemana lo?" Tanya Cakra.
"Tidur."
Gavyn ini salah satu spesies yang sama seperti Cakra. Bedanya Gavyn sangat irit berbicara, ia akan berbicara jika hanya untuk keperluan penting. Tertawa saja tidak. Gavyn lebih sering bertindak dibanding kan berkomentar.
"Si kutub utara kagak cair-cair tuh, kalo kayak Cakra kan perlahan-lahan cair. Ya seengaknya ngomong nya kagak irit banget kek Si Gavyn." Ucap Aksa panjang lebar.
Dirasa tak ada yang perlu di bicarakan lagi, Gavyn keluar dari ruang klubnya dan berjalan menuju kantin. Sekedar membeli 2 potong roti dan air mineral.
******
Kantin terasa sangat ramai di jam apapun. Datangnya Gavyn dengan gaya yang cool, kedua tangan dimasukkan kedalam kantung celana dan tatapan datar. Membuat banyak mahasiswa perempuan singgah menatapnya.
Tak lama di kantin, ia memutuskan untuk ke ruang perawatan, bersantai disana tanpa beo-an dari orang-orang.
Gavyn masuk kedalamnya dan melihat satu ranjang yang di tutup tirai, karena tak punya urusan, ia memutuskan untuk tidur di ranjang paling pojok dan menutup tirainya.
Pelan-pelan Gavyn membuka kemasan rotinya, tak ingin menganggu istirahat orang selain dirinya.
"Aish, Zola lama banget sih." Lirih seseorang, Rupanya Asha. Dia berbaring karena rasa pusing akibat hantaman bola basket yang melebihi besar kepalanya.
"Cowok gila." Lirih Asha tak menyadari bahwa ada orang lain selain dia.
"Ishh.." rintih Asha, menyadari penyakit maagnya kambuh.
"Telpon aja deh." Asha menelpon Zola, tidak diangkat. Sedang kemana sih temannya?
Perutnya semakin sakit, keringat menetes dari dahinya. Wajahnya sudah pucat.
Tiba-tiba tirainya dibuka paksa. Asha terkejut, bukan Zola yang membukanya. Tapi, salah satu teman dari Cakra. Gavyn.
Gavyn memandang Asha dengan datar. Ia melempar roti dan botol mineral kearah Asha. Untung Asha cepat tanggap, jika tidak, maka untuk yang kedua kalinya wajah Asha tertimpuk benda.
Gavyn pergi dan mengacak-acak lemari obat. Setelah menemukannya ia memberikannya ke Asha.
"Lo ganggu tidur." Asha menelan ludahnya sendiri. Cowok dihadapannya sangat dingin. Ia hanya mengangguk.
"M..makasih." Lirih Asha pelan, tak berani menatap Gavyn yang sudah menutup tirai miliknya dan kembali ke tempatnya.
"S..sial banget sih gue, aish. Apes banget." Bisik Asha sangat pelan.
Tapi, ia bingung dengan teman Cakra. Sangat berbeda dengan Cakra. Cakra sama sekali tidak punya rasa perduli, jika Gavyn tidak banyak ngomong tapi langsung gerak.
Asha semakin pusing memikirkannya, masa bodo dengan manusia-manusia itu. Ia hanya ingin tenang dan cepat-cepat sarjana.
*****