Sang rembulan menampakkan wajahnya, menjadi waktu istirahat untuk umat manusia.
Tidak seperti Asha, gadis itu terbangun pukul 10 malam. Rasa lapar melandanya, melihat kondisi kulkasnya yang kosong tak ada makanan membuatnya menghela napas.
Tak ingin maagnya kambuh, Asha memakai hoodienya dan membawa dompet. Berniat membeli nasi goreng yang tidak terlalu dari kos-nya. Tanpa mobil, bermodal kaki saja.
Asha bersedekap dada, udara malamnya lumayan dingin tak seperti biasanya. Tapi, tak di sangka ternyata jalananan masih ramai. Mungkin karena besok sabtu, orang-orang jadi berkeliaran di malam hari layaknya kelelawar.
Asha menikmati langit yang dipenuhi bintang malam ini, ditemani nyamuk yang senantiasa menghisap darah di kakinya. Ia menyesal mengenakan celana hitam karena kakinya sekarang tengah gatal-gatal.
Gerobak nasi goreng sudah terlihat di depan matanya. Hanya ada 2 orang pembeli disana. Beruntung ia bisa segera mengisi perutnya.
"Pak, nasi gorengnya satu ya. Pedes sedeng, gak pake acar." Pinta Asha kemudian mendudukkan dirinya dikursi plastik.
"Samain sama dia."
"Oke, siap!"
Asha menoleh. Orang yang membantunya tanpa banyak bicara ada di sampingnya, sekarang. Tengah bermain hp.
"Gavyn ya?"
Gavyn menoleh sekilas tapi, kembali sibuk pada hpnya.
Asha tersenyum kecut, tak seharusnya ia bertanya. Yang ia lakukan sekarang hanya bermain hp, men-scroll beranda instagramnya dengan asal.
Dering hp Asha menganggetkan dirinya yang tiba-tiba melamun.
"Halo?"
"Lo lagi dimana?"
"Kedengeran berisik ya?"
"Iya, lo lagi dimana?"
"Tukang nasi goreng, deket kos-an."
"What? Malem-malem? Lo yakin?"
"Gue laper, tadi kebangun. Dari siang belum makan."
"Salah lo sendiri cantik."
Asha hanya terkekeh.
"Lo pulang naik ojek aja Sha!"
"Kenapa?"
"Bahaya Asha, daerah lo rawan orang nongkrong. Gue gak mau ada apa-apa sama sahabat imut gue ini."
"Iya Zola, oke."
"Yaudah bay, gue lanjut nge-drakor."
Asha tersenyum kecil, sahabatnya ini sangat unik.
"15 ribu neng." Asha berdiri dan mengeluarkan uang 20 ribu.
"Kembaliannya ambil Pak." Asha tersenyum.
"Wah, makasih ya neng." Asha berjalan keluar dari tenda sembari menghirup aroma nasi goreng yang menguar, membuat perutnya tak sabar minta diisi.
******
"Pak, katanya daerah sini rawan orang tongkrongan ya?" Ucap salah satu pembeli cowok kearah tukang nasi goreng.
"Oh iya mas, waktu itu pernah ada korbannya. Untung pelakunya ke tangkep sama warga."
Gavyn terdiam, ya. Dia masih menunggu pesanannya siap dan mendengar hal yang tak enak dia dengarkan.
"Ini Mas, 15 ribu." Sama seperti Asha, Gavyn memberikan uang 20 ribu. Bedanya, Gavyn pergi berlalu tanpa mengucapkan sepatah kata.
"Kembaliannya." Tukang nasi gorengnya terkejut saat mengetahui pembelinya sudah meninggalkan tempat.
"Hari ini banyak orang baik ya."
****
Asha mengusap lengannya, baru 30 menit diluar membuatnya semakin kedinginan.
"Wih, si Mbaknya bening amat." Asha menoleh ke sumber suara. Melihat beberapa orang tengah duduk di dekat pohon tidak jauh dari posisi dirinya.
"Sini dong. Bawa makanan kan, bagi-bagi kita." Asha takut. Ia mengabaikannya dan berjalan lebih cepat.
"Mbak! Judes bener." Yang Asha pikirkan sekarang adalah lari. Masa bodo dengan dirinya yang akan lelah, yang penting ia bisa selamat.
Derap langkah lebih dari satu orang mendekat kearahnya. Bersamaan dengan deru motor yang mengalihkan pandangan gerombolan itu.
Asha hanya terus berjalan lebih cepat, hingga sebuah motor hitam berhenti disampingnya.
Sang pengendara menaikkan kaca helmnya. Asha tau siapa ini.
"Naik."
Asha langsung naik dan sebelumnya ia meminta izin memegang bahu si pengendara karena susah naik ke atas motornya.
"Dimana?" Asha mengerutkan kening, ia mendekat. Berusaha mendengar ucapan selanjutnya.
Karena peka dan ulah kaca spion motor. Gavyn berbicara kembali.
"Kosan lo."
"Ohh, permai pelita."
Gavyn menambah kecepatan motornya dan sampailah Asha serta Gavyn di gerbang kos pelita.
Asha turun dengan bantuan bahu Gavyn. Tak mungkin ia lompat. Bukannya berdiri dengan tegak, yang ada malah tersungkur memalukan dihadapan si manusia kaku.
"E..ehm makasih Vyn." Gavyn mengangguk dan menancapkan gas. Pergi meninggalkan kosan Asha.
"Kaku banget sih."
*****
Gadis itu berdiam diri dibawah kucuran air shower, mengenggam tangan sebelah kirinya. Mengusap lembut bekas sayatan tipis dan tidak sedikit.
Dia Asha, melampiaskan pikiran buruk dan beban di tubuhnya sendiri. Dengan menyilet.
Sensasi yang Asha rasakan setelah menyilet tak lain kepuasan, lega hati dan pikiran.
Asha terbiasa dengan itu. Tak ada rasa takut atau sakit saat dirinya menggoreskan benda tajam dan tipis itu di permukaan kulitnya.
Jika ditanya Asha salah atau benar, jawaban yang Asha berikan hanya. "Gue yang ngalamin, kalian gak ngalamin jadi diam aja."
Jika menyangkut pautkan dengan kehidupan yang dialaminya, Asha berubah. Berubah menjadi seseorang yang temperamental. Dalam arti, "Gak usah peduliin. Ini urusan gue."
Zola tidak tau tentang ini ralat, tak akan pernah tau. Zola sudah cukup mengetahui selak beluk tentang kehidupannya. Tak ingin membuat beban pikiran Zola bertambah, cukup dirinya saja yang menanggung beban.
Ya..seperti biasa, tengah malam Asha terbangun karena mimpi sialan itu. Membuat otaknya berpikir buruk dan menganggu batinnya. Buktinya Asha sampai menyilet tangannya sendiri. Jika tidak menganggu batin dan pikiran untuk apa Asha menyilet?
Pukul 3 pagi Asha matanya masih terbuka. Pikirannya kemana-mana berkeliaran ke masa lalu, masa dimana ia berakhir dengan kegelisahan.
Dan ia baru ingat, besok ia akan menghabiskan waktu di perpustakaan. Menerima bimbingan dari Kak Ratih. Lalu, pikirannya terpecah belah. Ia baru ingat juga, jika besok ia akan latihan gitar bersama dengan manusia kaku setelah Gavyn.
Asha
Pagi,
Saya Asha
Cakra kosongnya besok jam brp?
Tak di duga-duga, Cakra membalas pesannya di jam 3 pagi.
Cakra
Hah?
Oh benar saja, pemikiran yang ada di otak Asha tertebak. Cakra lupa.
Asha
Cakra lupa?
Besok ajarin saya main gitar.
Cakra bisanya jam brp?
Cakra
Oh.
1
Asha
Kenapa sih,
Demen banget singkat"
Asha berdecak, pesannya hanya di baca. Tak dibalas, salah apa Asha dengan Cakra. Emang ya spesies kayak Cakra dan Gavyn tuh harus di kurangin, disangka ngomong itu dosa apa.
Tambah hancur sudah moodnya Asha. Tak ingin perduli Asha mengatur alarm pukul set 6 dan kembali tidur.
*****
Suara motor terdengar dari luar rumah yang terbilang megah. Cowok itu turun dan merogoh kunci pintu dapur lalu membuka pintunya.
Suasana dalam rumahnya sepi, hanya benda-benda mati yang terlihat. Ia menuangkan air putih dan menenguknya.
"Gavyn!"
Yang dipanggil menoleh dan mengalihkan pandangan kearah lain.
"Papa panggil kamu!" Gavyn meletakkan gelasnya dengan hentakan lumayan keras, hingga terdengar dentuman kecil.
"Dari mana kamu?"
"Gak Gavyn bilang juga papa juga tau." Gavyn menaiki tangga, melewati Papanya yang tengah bersabar menghadapi anak pertamanya.
"Papa gak pernah ngajarin kamu kayak gitu Gavyn!"
Gavyn berhenti sebelum sampai anak tangga teratas.
"Gavyn juga gak pernah ngajarin Papa untuk benci Mama." Skak. Papa Gavyn diam, hanya menatap anaknya menghilang masuk ke dalam kamar.
Di dalam kamar, Gavyn merebahkan tubuhnya dengan posisi telentang. Wajahnya ia tutup dengan lengan kanannya.
"Gavyn rindu Mama."
"Kapan kita ketemu?"
*****