Chereads / IRONA / Chapter 2 - Frustasi

Chapter 2 - Frustasi

pagi ini terasa cerah sekali, mentari bahkan tak malu-malu untuk menampakkan sinarnya. Menyelusup dibalik gorden, hingga menusuk ke dalam retina. Seorang gadis masih tertidur pulas, dengan balutan selimut berwarna putih polkadot. Ia enggan membuka mata, padahal sedari tadi cahaya mentari mengayun meminta gadis itu untuk terjaga.

"Ngghh," Irona mengerang, ketika gorden benar-benar di sibakkan oleh sang Mama.

"Bangun, Rona," Mama Selvia, ibunda dari Irona. Mama yang super hebat, karena ia menghidupi Irona seorang diri. Ayahnya telah lama meninggal karena sakot, dan sejak itu Mama Selvi mulai mandiri untuk membiayain Irona.

"Jam berapa, Ma?," masih enggan untuk bangun, Irona justru berguling-guling dan kembali menutupi wajahnya.

"Jam 05.30, cepet bangun supaya ngga telat," sang Mama benar-benar menyibakkan selimut Irona sehingga sang empu duduk tegap dari tidurnya.

"Cepet mandi, Mama siapin sarapan"

"Iya, Ma," Irona berjalan menuju kamar mandi. Entahlah hari ini ia benar-benar pergi sekolah, ia malas bertemu Zio, ia malas harus bersitegang terus menerus demgan Zio, ia ingin sekolah dengan tenang, damai tanpa gangguan apapun.

Setelah berkutat dengan acara mandi dan mengenakan seragam, Irona mengahampiri sang Mama yang sedang menyusun piring-piring. "Makan, Na", Mama Silvi menyodorkan piring sekaligus mengisi dengan nasi goreng, makanan favorit Irona.

"Makasih Ma."

"Kamu kenapa males sekolah? biasanya ngga gini," firasat seorang ibu memang kuat, beliau melihat ada yang beda dari putri nya.

"Males Ma, aku di jailin terus sama temen aku," Irona melemaskan bahu, seperti---tidak siap menghadapi hari ini.

"Cewek?"

"Cowok," Irona menatap lurus ke depan, membayangkan seperti apa kegilaan seorang Zio.

"Wah.. mungkin dia suka sama kamu," mata ibunya justru berbinar, terlihat pundi-pundi kebahagiaan disana. Irona fikir bercerita kepada ibunya akan mengeluarkan solusi, ternyata tidak. Irona mendengus kesal.

"Udah ah aku berangkat," Irona merapikan alat-alat makannya. Percuma saja ia membagi kekesalannya disini, tidak ada jalan keluar.

"Eh kenapa buru-buru banget," sang Mama terlihat panik, karena belum ada setengah nasi goreng itu habis.

"Rona takut kesiangan, assalamualaikum," seperti anak pada umumnya, ia mencium kedua tangan sang ibu. Itu memang sudah salah satu kewajiban bagi Irona, baginya tidak ada pahlawan sehebat Mama Silvi.

Irona telah sampai di depan gerbang SMA Altamevia, sekolah yang cukup terkenal di Kota Bandung. Sekolah yang memiliki tiga lantai ini berisikan siswa-siswa pintar, hampir setiap kejuaraan di menangkan oleh siswa dari Altamevia, jadi tidak heran kalau banyak siswa sekolah lain yang tahu tentang Altamevia.

Irona berjalan menyusuri koridor, masih terlihat sepi, hanya ada beberapa siswa yang sudah datang. Ia melihat jam yang melingkar cantik di pergelangan tangan kirinya, ternyata masih jam 06.30 pantas saja sepi, pikirnya.

Irona terlalu takut kalau harus masuk kelas dalam keadaan sepi, ia pun memutuskan untuk pergi ke kantin, hanya untuk sekedar membeli cemilan, sarapannya tidak habis tadi, jadi ia membeli makanan lain untuk mengganjal perutnya.

Kantin terlihat sepi, Irona memperhatikan tiap sudutnya untuk memastikan ada orang atau tidak. Hingga bola matanya melotot ketika melihat pojok sebelah kanan kantin, Zio, batinnya. Irona terlihat menarik nafas, ia tidak ingin ada keributan pagi ini, ia berusaha bersikap biasa-biasa saja, dan tidak peduli.

***

Zio datang terlalu pagi hari ini, padahal niat nya ia ingin datang sedikit lebih akhir dari biasanya. Jam di tangannya menunjukan pukul 06.15, "masih terlalu pagi, gue ke kantin dulu lah," gumamnya.

Zio duduk di kursi pojok sebelah kanan, tempat kesukannya. Karena disana sepi, tenang dan damai. Suara dari koridor pun hampir tidak terdengar. Ia membeli beberapa makanan ringan dan susu, memasangkan earphone di telinganya adalah ciri khas Zio.

Tiba-tiba saja ekor matanya melihat seseorang yang baru saja datang memasuki kantin, ia menegakan kepala dan melihat Irona disana, sendirian. Zio hanya mengangkat bahu acuh dan kembali fokus ke ponsel nya.

Tiba-tiba saja otak jahil Zio bekerja walaupun masih pagi, mungkin karena efek dari susu stroberi yang ia beli. Zio terlihat mengahampiri Irona, dengan sebelah tangan ia masukan ke dalam saku, menambah ke tampanan yang ia miliki.

"Ehem," Zio berdeham di samping kuping Irona langsung, membuat si empu terperanjat karena keterkejutannya.

"Apaan sih lo pagi-pagi udah nyari masalah," Irona menatap sinis Zio, padahal ia pagi ini tidak ingin membuat masalah. Tapi lihat, pria menyebalkan ini datang dengan sengaja.

"Lo ngapain disini? lo ngikutin gue ya?," tembak Zio langsung, ia berubah duduk berhadapan dengan Irona.

"Cih, pede banget lo," Irona tersenyum sinis dan melipat kedua tangannya di dada.

"Alah bilang aja lo ngikutin gue, secara gue kan cowok paling ganteng se Altamevia," Zio menyugar rambut dengan jari-jari nya, terlihat bangga dengan kualitas ketampanannya.

"Heh curut, mau seganteng apapun lo, gue ngga akan suka sama lo. Lagian ngapain lo nyamperin gue?," Irona masih dengan posisinya, ia tak gentar, tidak boleh. Irona harus bisa menahan emosi nya, ia tidak ingin membuat mood nya rusak se pagi ini.

"Ehm.. gue mau------- ini," tiba-tiba saja Zio beranjak dari duduknya dan menguncir rambut indah Irona, ia menguncir dua rambut panjang itu dengan karet gelang bekas bungkusan nasi uduk.

"Heh Zio kampret, lepasin ngga, aaww sakit beg---aaaw," Irona menggeliat-geliat di tempat, dengan tangan yang berusaha melepaskan ikatan yang di lakukan Zio. Dia benar-benar menyebalkan, batinnya.

"Haha.. lucu banget lo, kayak neneng pea," Zio tertawa lepas, sangat lepas, ia sepertinya benar-benar senang membuat Irona menderita.

"Awas lo ya," Irona berdiri, berusaha menggapai tangan Zio, ia ingin mencakar kulit Zio, kulit bagian mana pun itu, kebetulan sekali ia belum memotong kuku dua minggu ini. Zio sadar dengan apa yang akan dilakukan Irona, ia segera berlari sebelum kulit tubuhnya mengelupas.

"Jangan lari woy," Irona berteriak dan berlari menyusuri koridor. Ia tidak merasa malu karena sekolah mulai ramai, ia menjadi pusat perhatian. Irona dan Zio sudah dikenal sebagai musuh bebuyutan, sejak kelas sepuluh mereka tidak pernah akur, mereka tahu Zio sangat senang menjahili Irona.

"Haha.. neneng pea, lemah lo ngga bisa ngejar gue," Zio menolehkan kepala, melihat Irona yang terus berlari mengejarnya. Ia puas, senang karena pagi ini sudah mendapat hiburan gratis.

"Brengsek," Irona mengumpat pelan setelah mendengar hinaan yang menyebut dirinya lemah.

"Si Irona dari dulu ngga pernah akur ya sama Zio"

"Iyah, aneh. Dari kelas sepuluh kayak gitu mulu kelakuan mereka"

"Alah itu mah paling si Irona caper, kan Zio ganteng. Secara dia most wanted Altamevia"

Cih, Irona tidak menperdulikan selentingan cibiran untuknya. Mereka tidak tahu apa-apa, tidak tahu apa yang telah Zio lakukan. "Dasar nitijen, maha benar," batinnya.

Irona berlari semakin kencang, sangat kencang, lantai yang licin pun tidak ia hiraukan yang terpenting ia bisa mendapatkan Zio.Tapi tiba-tiba di ujung koridor sana, terlihat seseorang yang sedang berjalan dengan tergesa-gesa, "pak awas pak, aaaaa, "bruk, terdengar bunyi benda terjatuh. "Aduh pantat gue," Irona meringis mengusap-usap pinggangnya yang terasa sakit. "Irona apa-apaan kamu hah?," suara berat ini menyadarkan Irona, ia tercekat ketika menengadah, melihat Pak Handoko sudah berdiri berkacak pinggang dengan mata yang hampir keluar.

"Eh bapak kumis ganteng," Irona menyengir kuda, dengan menampilkan puppy eyes nya berharap Pak Handoko tidak menghukumnya pagi ini.

"Bangun kamu, pagi-pagi udah lari-larian. kalau mau olahraga, di lapangan sana jangan di koridor, bahaya. lihat buku saya berantakan," bukanya membantu Irona, Pak Handoko justru memperhatikan buku-buku nya yang berserakan.

"Iya-iya saya minta maaf, Pak," Irona mencoba tenang dan menunduk.

"Sudah-sudah kamu pergi sana," Pak Handoko mengibas-ngibaskan tangannya, tanda ia sudah tak ingin melihat Iroan di hadapannya.

Irona berjalan gontai menuju kelas, Zio benar-benar sukses membuat mood pagi nya hancur. Ia berjanji akan membalas semua perbuatan Zio. Irona memasuki kelasnya, ia tidak memperhatikan hal lain selain Zio, ia berjalan dengan langkah lebar.

"Heh gara-gara lo mood gue hancur pagi ini, gue ngga mau tau pokoknya lo------"

"Ehem"

Irona menoleh, ia terkejut. Sejak kapan ada guru di depan kelasnya, ia berbalik memperhatiakan teman-teman sekelasnya. Mereka semua terkikik geli melihat Irona dengan wajah cengo nya.

"Sejak kapan bapak ada disini?" dengan wajah tanpa dosa dan beban Irona bertanya kepada guru tersebut.

"Sejak kamu masuk dengan tidak sopan, dan nyelonong gitu aja," Pak Sastro, guru matematika yang terkenal kiler. Beliau seperti tidak mempunyai rasa kasihan saat menghukum siswa nya.

"Mampus gue," gumam Irona.

"Steffani Irona Najma," Pak Sastro menurunkan sedikit kacamata nya, ia melihat papan nama yang tertera di dada sebelah kiri Irona.

"Iya pak, saya," Irona berusaha setenang mungkin, dengan kedua tangan menjulur terlipat ke depan.

"Sekarang kamu berdiri di depan bendera dan hormat," Irona melotot terkejut, "tapi pak----," "saya tidak mau tahu, sekarang kamu keluar," Pak Sastro menunjuk ke arah pintu kelas dengan suara yang sedikit meninggi. "Iya pak," Irona berjalan lesu keluar dari kelas.

Pantas saja tadi pagi ia sangat malas pergi ke sekolah, ternyata akan jadi begini. "Huh, tadi-tadi gue ngga usah berangkat sekolah aja," Irona melemaskan bahu.

"Baik anak-anak, sekarang kalian kumpulkan pr yang bapak kasih kemarin." Di dalam kelas sebelas ips terlihat sangat hening, karena seluruh siswa tidak berani dengan Pak Sastro, si guru kiler.

"Mampus, buku pr gue mana," Zio mengobrak abrik isi tas nya, ia mengeluarkan semua isi di dalam tas nya.

"Ada apa Zio," Pak Satro memperhatikan gerak gerik salah satu siswa terpintarnya itu.

"Buku saya ngga ada ada, Pak," Zio masih terlihat bingung mencari, ia sudah mengacaukan isi tas nya.

"Baik kalau gitu, kamu susul Irona. Berdiri dan hormat di depan tiang bendera," tanpa basa basi Pak Sastro langsung menghukum Zio.

"Tapi p---"

"Silahkan Zio," tanpa menoleh sedikitpun ke arah Zio, Pak Sastro melanjutkan memeriksa satu persatu hasil pekerjaan rumah siswa nya.

Zio berjalan sambil bersiul, tidak ada rasa takut apalagi bersalah. Padahal baru hari ini ia di hukum, sebelumnya tidak pernah. Ia mengahmpiri Irona, dan berdiri di sampingnya. Irona yang menyadari itu hanya melirik dengan ekor matanya, ia enggan menoleh.

"Ngapain lo disini," Irona membuka suara, dengan nada sinis yang terdengar.

"Buku pr gue ketinggalan," jawab Zio datar tanpa menoleh.

"Karma," begitupun Irona membalas dan tak kalah datar. Zio hanya mengangkat bahu acuh, ia hanya ingin hukuman ini cepat selesai.