Brak!
Bram membanting pintu kamarnya dengan keras. Sehingga pintu itu kembali rusak. Ya, sebelumnya akibat ulah Bram yang juga membanting pintu dengan keras membuat pintu itu rusak. Akhirnya pintu itu diganti dengan pintu yang baru. Naasnya, tanpa tahu apapun pintu baru itu pun kembali rusak akibat ulah Bram yang lagi-lagi membantingnya dengan keras.
Bram mengacak seluruh kamar, dia melemparkan semua yang ada di meja rias kamar itu.
Di telinganya terngiang ucapan Clara yang sebelumnya mengatakan bahwa dia datang menghargai undangan ulang tahun maminya Gerry. Itu artinya secara tak langsung Gerry memperkenalkan Clara pada maminya.
Bram mengepalkan tangannya kuat. Dia melemparkan botol parfum yang tersisa di meja rias ke arah cermin rias. Dia benar-benar kecewa pada Clara. Sudah jelas tertulis di surat perjanjian bahwa selama Bram masih belum mencampakannya, Clara tak boleh berhubungan dengan pria manapun. Bahkan meski Clara mengatakan Gerry hanyalah temannya, Bram tetap tak menyukai itu.
Bram melihat ke arah pintu ketika menyadari kedatangan Clara. Bram menatap Clara dengan tajam. Tak ada rasa iba meski melihat wajah Clara memar bahkan sudut bibirnya mengeluarkan darah.
"Kamu bebas memakai seluruh fasilitas yang kuberikan, tetapi tidak dengan dekat pria manapun. Apa kamu mengerti, Clara?!" teriak Bram.
Clara menelan air liurnya. Tubuh Clara gemetar ketika Bram kembali menghampirinya.
Lagi-lagi Bram mencengkram wajah Clara, membuat Clara tak tahan lagi menahan rasa sakitnya.
Plak!
Clara repleks menampar wajah Bram, membuat Bram melepaksan cengkraman tangannya. Bram semakin nyalang menatap Clara.
"Jika kamu berani menyentuh keluargaku, maka aku takan pernah membiarkanmu hidup tenang!" tegas Clara.
Bram terkekeh. Bisa-bisanya Clara mengancam dirinya. Ancaman Clara bahkan tak membuatnya merasa takut sedikitpun.
"Bagus, Clara! Kamu menamparku barusan," ucap Bram sambil mengusap pipinya yang terasa ngilu. Keras juga tamparan Clara.
Clara semakin muak melihat Bram. Entah hantu apa yang merasuki Bram, sehingga akhir-akhit ini Bram terus saja memperlakukannya dengan kasar. Bahkan Clara ingat betul di surat perjanjiannya, bahwa baik Bram maupun Clara tak berhak ikut campur urusan pribadi masing-masing. Clara bahkan tak pernah sekalipun mencampuri urusan Bram. Clara pun tak pernah melanggar perjanjian itu, memang benar dia hanya berteman dengan Gerry. Tak lebih dari itu. Dan Clara berhak berteman dengan siapa saja. Itu sejak awal sudah disepakati bersama.
"Kamu benar-benar sudah gila!" geram Clara.
"Kamu berani mengataiku!" Bram mencengkram lengan Clara. Clara kesakitan, hanya saja tak menunjukannya pada Bram.
"Mulai detik ini, kamu tak boleh pergi tanpa seizinku. Dan mulai detik ini juga, aku akan tinggal di sini. Ke mana pun kamu mau pergi, bahkan mengunjungi Mama mu sekalipun, jika aku tak mengizinkannya, maka kamu takan pernah bisa melangkahkan kakimu keluar dari apartemen ini!" tegas Bram dan mengempaskan lengan Clara.
Clara hampir saja terjatuh ke lantai jika saja dia tak mencoba menahan tubuhnya.
"Kamu mungkin lupa. Bahwa sudah jelas dalam perjanjian, kita tak boleh mencampuri urusan masing-masing. Dan kamu sudah melanggar itu!" tegas Clara.
Bram terkekeh. Dia mengambil surat perjanjian yang ada di lemari Clara. Surat itu milik Clara, tetapi Bram tahu Clara menyimpannya di mana.
Bram mengambil surat itu yang berada di dalam sebuah map. Terdapat banyak lembar surat di sana yang diapit paper clip. Bram kembali menghampiri Clara dan memperlihatkan surat itu.
"Kamu mungkin lupa poin penting terakhir Clara. Atau kamu tak membacanya karena sudah terlalu tergiur dengan tawaran fasilitas yang kuberikan? Atau matamu minus sehingga tak bisa membacanya? Di poin penting terakhir tertulis, perjanjian ini dapat kurubah sesuai keinginanku, karena akulah pihak utama yang berkuasa! Jadi, mulai detik ini, aku merubah perjanjian awal kita! Dan aku memutuskan, bahwa kamu tak boleh berhubungan dengan pria manapun, sekalipun itu hanya sebatas teman! Jika sampai aku mendapatkanmu melanggar perjanjian ini, maka kamu akan tahu akibatnnya!" tegas Bram dan melemparkan berkas perjanjian itu ke wajah Clara.
Clara terdiam. Bukan tak membaca poin penting terakhir, di mana segala kendali ada dipihak Bram. Melainkan sejak awal Clara tak menyangka akan terjadi hal gila seperti ini. Bram bukan saja mencampuri privasinya, tetapi juga mencoba terlibat dalam privasinya dan mencoba membatasi pergaulannya. Clara tak pernah mengkhianati perjanjian itu. Dia hanya baru pertama kali dekat dengan pria lain selama berhubungan dengan Bram. Pria itu hanyalah Gerr, dan Gerry hanya temannya. Clara bahkan baru mengenal Gerry belum lama ini.
Tentu saja semua tak adil bagi Clara, mengingat Bram pun berhak berhubungan dengan wanita mana saja yang di inginkannya.
Clara masih terdiam, sementara Bram menghubungi asisten pribadinya yang bekerja khusus di rumahnya. Asisten itu yang mengurus segala keperluan Bram. Mulai dari pakaiannya, makanannya, dan keperluan Bram lainnya jika sedang berada di rumahnya. Bram meminta asistennya itu agar membawa seluruh barang-brangnya ke apartemen Clara. Bram tak mengatakan apapun pada asisten pribadinya, dia bahkan tak mengatakan akan tinggal di apartemen itu bersama seorang wanita. Tak penting juga baginya, dan itu privasi.
Bram menatap Clara sekilas dan pergi menuju mini bar. Dia menenggak minumannya. Dia ingin mabuk agar dapat melupakan amarahnya pada Clara. Dia benar-benar kehilangan kendali terhadap Clara.
'Kenapa kamu tak mengerti, Clara?' gumam Bram.
Bram merasa kesal karena Clara tak juga mengerti apa yang diinginkannya. Clara tak mengerti apa yang Bram sukai dan tak Bram sukai, dan Clara terus saja membuatnya kesal dengan berulah. Dan yang membuat Bram lebih kesal, karean dia kerap kali dibuat kecewa oleh Clara, tetapi rasa ingin memiliki Clara secara nyata justru semakin kuat di hati Bram.
Sedangkan di kamar. Clara melihat luka di dahi dan bibirnya dari cermin kecil miliknya. Dia benar-benar terlihat layaknya korban kekerasan dalam rumah tangga. Kali ini Bram benar-benar keterlaluan. Bram benar-benar melakukan kekeras fisik padanya. Bahkan Bram meghancurkan isi kamar itu. Beberapa parfum mewah dengan merk ternama yang dimiliki Clara pun semuanya ikut hancur.
'Apa dia psychopat?' gumam Clara.
Sesaat kemudian Clara teringat, bahwa inilah pertama kali Bram melakukan kekerasan fisik padanya. Sebelumnya, Bram tak pernah melakukam itu bahkan dari sejak awal mereka saling terikat kerjasama. Saat bercinta pun, Bram tak pernah menunjukan sikap yang berlebihan. Bahkan Bram lebih sering memperlakukannya dengan lembut ketika sedang bercinta. Hanya akhir-akhir ini saja Bram bersikap kasar. Sikap Bram pun tak sewajarnya. Kemarahan Bram layaknya seseorang yang merasa terusik atas miliknya yang seakan-akan mau direbut oleh orang lain. Bram bahkan tak terima Clara berteman dengan pria. Jika hanya sebatas kebutuhan isi perjanjian, Clara tahu bahwa Bram bukan orang dengan sifat pengekang.
Clara terdiam sejenak. Entah mengapa dia teringat pada malam-malam sebelumnya, di mana ketika itu Bram bergumam mengatakan kata rindu, dan Clara yakin mendengar Bram mengatakan itu dengan jelas. Bram bahkan memeluknya ketika bergumam mengatakan semua itu.
Clara menelan air liurnya. Tiba-tiba saja jantungnya berdegup tak karuan.
'Apa dia mencintaiku?' batin Clara.