Meja makan terasa sangat mencekam, aura panas begitu kentara terasa, terutama bagi Lia dan Akira. Melihat wajah ayahnya yang masam seperti itu, mereka berdua menjadi was – was, keringat dingin mulai menghampiri mereka.
"Selesai makan kalian temui bapak di perpustakaan". Ucap Rahman lalu pergi begitu saja meninggalkan meja makan.
Keduanya saling menatap memberi pandangan tanya, kemudian dengan serempak mereka meneguk air liurnya dengan susah payah.
"Mampus". Ucap keduanya dengan serempak di dalam hati.
Berusaha tenang keduanya menyantap makanan seperti biasa. Baru akan mengunyah, Minah juga pergi meninggalkan mereka berdua. Seketika mereka menjadi lemas, tenaga mereka seakan terkuras habis, untuk mengunyah pun rasanya sudah tidak sanggup lagi.
"Aku kenyang kak". Ucap Lia menghentikan makanannya.
Akira mengangguk, ia pun berdiri membereskan meja makan dibantu Lia.
"Bapak sama Inak pasti sudah tahu makanya wajah mereka kayak gitu". Ucap Lia khawatir. Melihat wajah orang tuanya seperti itu Lia ingin menangis. Baru pertama kali ia melihat wajah keduanya semarah itu. Terlebih Minah, semarah marahnya dia, ia tidak pernah sampai meninggalkan meja makan.
Akira mengangguk, pikiran mereka sama.
"Aku takut kak". Adu Lia.
"Ini kesalahan kakak, biar kakak yang akan menanggungya". Ucap Akira menenangkan. Ia sebenarnya juga takut menghadapi kemarahan ayahnya itu.
"Bapak". Ucap Akira mengetuk pintu perpustakaan.
"Masuk". Ucap suara dari dalam dengan intonasi dingin.
"Kalian tahu apa kesalahan kalian?". Ucap Rahman pada kedua anaknya. Ia langsung ke inti pembicaraan.
Keduanya duduk dengan keringat dingin. Padahal ruang perpustakaan cukup dingin. Terlebih posisinya yang berada dibawah tanah. AC pun sengaja Rahman hidupkan.
"Itu salah aku, bukan Lia". Ucap Akira.
"Sama saja, kesalahan tetap kesalahan". Ucap Minah muncul membawa secangkir kopi untuk suaminya.
Mereka kembali terdiam, suasana hening perpustakaan menambah keadaan mencengkam bagi keduanya.
"Kalian harus segera menikah". Putus Rahman setelah beberapa lama terdiam.
"Tapi, pak. Lia masih SMP. Mana boleh Lia menikah".
"Lantas saat SMP kamu boleh berciuman di depan umum". Skak Rahman pada putriya.
Lia terdiam tidak bisa membantah ucapan ayahnya.
"Maafkan Lia, pak". Ucap Lia mulai menangis. Ia tidak ingin segera menikah, terlebih ia masih sekolah, perjalanan hidupnya masih panjang.
"Nasi sudah menjadi bubur, sebelum kalian bertindak lebih jauh lagi kalian harus menikah". Ucap Rahman tidak ingin di bantah.
Masih terdiam. Keduanya tidak dapat berkutik sedikit pun. Ini kesalahan yang mereka perbuat, mereka harus menerima konsekuensi dari perbuatan mereka.
"Kalian akan menikah besok sore, tidak ada tamu undangan hanya ada keluarga kita saja dan berita ini tidak boleh sampai bocor ketelinga orang lain". Ucap Rahman kemudian meninggalkan mereka.
"Inak, tolong bujuk bapak agar menunda pernikahan ini, setidaknya sampai Lia lulus SMA". Pinta Lia pada ibunya.
"Inak tidak bisa membujuk bapakmu, kamu tahu sendiri bagaimana bapakmu". Ucap Minah. Ia sebenarnya kasian melihat putri kecilnya yang seperti itu. Tapi apa mau dikata, ia harus menerima konsekuensi dari apa yang telah dilakukan.
Minah berjalan meninggalkan dua anak yang sedang meratapi nasibnya.
"Maafkan aku Lia". Ucap Akira merasa bersalah.
"Ini semua gara-gara kakak". Teriak Lia, hancur sudah masa depannya.
"Maafkan kakak". Ulang Akira.
Lia terus menangis tanpa henti. Hal itu menambah beban dihati Akira. Ia benar menyesal atas berbuatannya itu, jika tahu akan berakibat fatal seperti ini, ia tidak akan pernah melakukannya.