Penuh dengan kekuatan, Parjanya kemudian dengan cepat menyodok tongkatnya ke depan dan bersamanya petir-petir yang tertarik masuk ke dalamnya. Petir pun meledak, cahayanya merambat ke mana-mana, kilatannya membuat semua orang kehilangan pandangannya untuk sesaat, begitu juga dengan Parjanya.
"Hah!?"
Alangkah kagetnya dirinya menemukan ujung tongkatnya menabrak sebuah perisai merah raksasa, yang setelahnya hancur bagai kepingan kaca yang berjatuhan ke atas dinding tembok. Tubuhnya seketika merinding dimakan rasa takut, gema cahaya merah di dekatnya membuat dirinya menoleh ke kanan.
*!!!*
Di sana ia temukan Amartya tengah melayang di sampingnya dengan kaki terangkat ke atas, begitu panas, hingga udara kian berubah pekat dengan asap, tenggelam dalam api yang bergejolak.
"Sial!"
Parjanya dengan panik melakukan Blink, dan berpindah ke atas dalam sekejap mata. Amartya melihat ke arahnya, di matanya parjanya bisa melihat neraka berkobar-kobar dengan ganasnya, layaknya mulut yang menununggu untuk melahapnya. Pemuda api itu mengubah cincin di tangan kanan dan kirinya menjadi dua senapan bermoncong dua, dan ia pun berputar, dan dengan cepat menembak ke bawah secara bergantian. Bagai sebuah bor yang menggali ke atas, dorongan kuat dari kedua senapannya memuat Amartya melesat ke Angkasa.
Di punggung Amartya bertengger sebuah senapan panjang yang kuat. Di tengah kehampaan udara ia mengembalikan senapan moncong dua di tangan kanannya, lalu secepat jentikan tangan ia mengambil senapan panjang di punggungnya dan menembakkannya pada Parjanya, kemudian dengan kecepatan yang sama, kembali menaruhnya di punggungnya dan kembali mengeluarkan senapan moncong dua dengan tangan kanannya, kembali menembak kebawah, lalu mengembalikannya lagi dan lanjut mengambil senapan di punggungnya. Peluru terus melesat, menerjang Parjanya bagai seekor buruan.
Hal ini terus menerus ia ulangi. Amartya melakukannya dengan begitu cepat, bahkan mata Parjanya yang terbiasa melihat kilat tak sanggup untuk mengikutinya.
Parjanya berhasil menghindari dan menangkis serangan-serangan dari Amartya dan membalas melemparkan petir ke arahnya. Namun gerakan Amartya terlalu cepat untuk diikuti petir-petir itu, dan apa bila mereka berhasil mengejar, Amartya akan membentuk salawaku dari salah satu cincinnya.
Keduanya kini berduel di udara untuk beberapa saat, hingga Parjanya meledakkan udara dengan petir-petir yang merambat ke mana-mana di tengah rasa frustasinya. Perisai api muncul dan menyelimuti Amartya, melindunginya dari petir-petir yang ganas.
Begitu petir itu meruntuhkan perisai api, Amartya sudah menodongkan senapannya, dengan santi terangkat di tangan kanannya.
[Seni Api]
[Tingkat 5 Ekstensi]
"(Ledakan Api Penuh)"
"Kusal, Dakagentera..."
Api merah menggema, berkumpul layaknya hendak membentu mentari. Tembakan yang kuat keluar dari tangan kirinya, melontarkan serpihan api ke segala penjuru. Bersama peluru-peluru itu Amartya pun melesat ke arah Parjanya dan mengayunkan santinya, menghasilkan gelombang api kolosal di Angkasa.
*!!!*
Parjanya menghindar ke bawah, namun tanpa ia sadari sudah terdapat dua kupu-kupu api bertengger di kedua tangannya. Kini terbentuk jarak antara mereka berdua, dan keduanya serentak menyalakan keterampilan tingkat 8. Lamun kali ini, si wanita (gadis) salju kita, turut ikut mencampuri duel mereka.
[Seni Api]
[Tingkat 8]
"(Taman Hukuman)"
"Seni Api! Gen Udyadarma Ai!"
-----
[Sihir Listrik]
[Tingkat 8]
"(Sarang Belut Petir)"
"Sihir Listrik! Gun Sarut Pracalita Lem!"
-----
[Sihir Es]
[Tingkat 8]
"(Ruang Hukum)"
"Sihir Es! Is Rudarma Fui!"
Empat perisai api membungkus Amartya, dan di sekelilingnya perisai lain berjejer dari samping, atas dan bawah, membentuk taman di udara yang diisi hanya oleh perisai miliknya. Sementara itu puluhan petir Panjang bagaikan belut memengitari mereka, membentuk sarang yang memerangkap Amartya dan Parjanya di dalamnya. Lalu di luar mereka bola es mengunci mereka bagai katak dalam tempurung, tak bisa lari ke mana-mana.
"Enyahlah!"
Parjanya mengayunkan tangannya dan para belut petir menjadi liar, menabrakakkan diri mereka pada tiap perisai api dan berpantulan ke segala arah. Serangan mereka tak kunjung henti, membekukan gerakan Amartya yang berselimutkan perisai.
"Lihat itu, sihir tingkat tinggi memang selalu merepotkan." Tiap perisai api, kecuali yang membungkus Amartya, kemudian membentuk lubang di tengah-tengah mereka.
"Meski tidak kuat, terkadang kita perlu melawan sihir dengan sihir."
[Sihir Api]
[Tingkat 7]
"(Suar Pengecoh)"
"Genlare Cohopo"
Dari tiap lubang itu pun muncul suar-suar api yang berkeliaran ke mana-mana, menarik para belut petir untuk mengejar mereka.
"Sihir Api!?" Parjanya terkejut, satu-satunya Genka yang menggunakan sihir api di pertempuran hanyalah para wanita elite, Phoenix Waraney. Dan Amartya jelas bukan bagian dari mereka.
Perisai-perisai yang mengarah pada Parjanya lalu terbuka, memberikan jalan bagi Amartya untuk menuju dirinya.
"Koyak..."
Dalam sekejap mata, pemuda api itu melesat dengan santi yang berkobar-kobar. Pedang itu pun terayun, menebas seisi bola es, seakan ia hendak terbelah dua. Beruntung bagi Parjanya ia sempat menyadari kedatangan Amartya dan menghindari serangannya dengan blink.
Suara gemuruh dari dalam bola itu cukup membuat para Magistra menjadi prihatin dengan kondisi Profisa mereka, kini mereka dan beberapa dari penyihir Langit mulai menembaki bola es itu, berusaha menghancurkannya dari luar.
"Kurasa ini saatnya untuk menaikkan permainan kita Parjanya."
"Hah?"
"Tahukah dirimu bahwa nama lain dari bola yang dibentuk Naema adalah… Ruang Hukum?"
Para belut petir dan suar api yang berkeliaran menabrak bola es pun menjadi terbungkus oleh es. Pergerakan mereka tidak berubah, hanya saja kini mereka menghasilkan kerusakan es ditambah dengan elemen awal mereka.
"Beruntung bagiku, Genka adalah musuh terburuk elemen es, tapi kamu?" Tatapan Amartya penuh dengan rasa kasian, seakan menetapkan orang di depannya sudah kalah.
"Omong kosong!"
Secepat kilat Parjanya melesat menerjang Amartya, walau serangannya terhambat oleh santi di tangan pemuda api itu, menyisakan kedua wajah mereka berpas-pasan menatap tajam antara satu sama lain. Mereka berdua pun kini berduel dengan cepat di dalam bola itu, melompat di antara dinding dan perisai, melancarkan serangan pada lawan mereka, dan menghindarinya. Sementara tiap suar dan belut masih liar berkeliaran bersama mereka.
Setelah sekian lama, ruang hukum Naema menjadi lemah karena serangan dari luar, dan akan segera pecah, Amartya sadar akan itu semenjak ia bisa melihat suhu di sekitarnya. Ia pun berniat mengakihiri duel mereka dan menabrakkan tiap suar pada tubuh Parjanya.
Tak ada kerusakan fatal yang terjadi pada anak itu, tetapi tabrakannya cukup untuk mendiamkannya sejenak dan memberikan kesempatan bagi Amartya untuk menyentuh badannya.
[Seni Api]
[Tingkat 4]
"(Menusuklah Tombak)"
"Wengkow Rokek!"
Kedua kupu-kupu di tangan Parjanya pun berubah menjadi tombak api, menusuk telapak kanan dan kiri Parjanya.
"ARGH!"
Dirinya merintih seketika merasakan sakit yang luar biasa. Kedua tombak itu lalu saling menjauh, membentangkan kedua tangan Parjanya. Lalu bersamaan dengan pecahnya ruang hukum, tombak itu terjun bebas, meluncur ke bawah, membawanya turun ke darat. Sementara karena sudah tak ada lagi suar api, tiap belut petir pun menyengat tubuh Amartya. Sengatan mereka mungkin tak cukup untuk membunuh pemuda itu, namun mereka membuat tubuhnya lumpuh dan kini ikut jatuh ke bumi bersama Parjanya.
Di darat, kedua tombak tadi kemudian kembali berdiri dan mempersembahkan Parjanya dengan kedua tangannya terbentang, tak bisa digunakan.
*Shyuu...*
Sementara panah Sarma menyambar Amartya dan mengobati luka serta kesadarannya. Ia pun bangkit dan datang menghampiri mangsa di hadapannya.
"Aku katakan untuk terakhir kalinya Parjanya, kalian tidak diciptakan untuk berperang." Wajah Amartya menggambarkan muak dan tak tega.
"Sayang sekali kak, tapi Angkasa akan renggut tanah ini dari badak-badak bodoh macam kalian…" Profisa itu menyeringai begitu canggung di tengah kehancurannya.
"Ah Parjanya… padahal aku selalu berpikir kelak kamu akan tumbuh menjadi Ilmuan yang hebat."
"AHAHAHAHAHA! Bukankah itu sudah jelas!? Sejarah akan mengingatku sebagai salah satu dari yang terbaik!"
Amartya lantas mengangkat senapannya dan mengarahkannya pada wajah Parjanya. Aku bisa melihat keringat mengalir deras darinya.
[Sihir Penguat]
[Tingkat 8]
"(Penguatan Api Pamungkas)"
"Magma Enchantra…"
"Enchantra!? Kakak kan bukan penyihir! Jangan bercanda! (Ini buruk, sekarang belum saatnya untuk mati!)" Parjanya membentak dengan lantang, ia meronta hebat di tengah kepanikan yang luar biasa mendekapnya.