Para Dubalang tampak tak senang dan memelototi gadis penjatuh berlian itu dengan tatapan yang mengancam. Beruntung bagi si gadis, Amartya lekas mengambil alih dan memberi isyarat kepada para Dubalang untuk memaafkannya dan kembali ke pekerjaan mereka.
Lagi-lagi Amartya menghela nafas. "Aku lupa kemewahan termasuk bagian dari nafsu, adinda aku mohon... mengerti? Aku mohon dengan sangat kepadamu, untuk menjauhkan para Malianis dari berlian." Amartya terdengar muak dan lelah akan sikap para Malianis.
"Te… tentu saja, kakanda. Kalau aku boleh tahu, mengapa para Dubalang terlihat begitu kesal?" Tanya Naema, air mata terlihat membeku di sisi matanya, ia masih terciutkan amarah para pria di benteng itu.
"Layaknya Angin Dingin Iska, dan Mentari Genka, berlian merupakan sesuatu yang sangat dihormati oleh Ambawak, bersikap buruk kepada berlian berarti kita menodai kehormatan mereka. Jadi, mohon banget ya, jangan sampai ada permusuhan di dalam internal pasukan kita." Amartya menatap gadis (wanita) itu sedalam yang ia bisa, agar dirinya senantiasa mengingat apa yang diucapkannya.
"Aku mengerti… baiklah, kakanda. Akan kupastikan mereka bersikap semestinya, walau mereka mungkin akan sedikit berisik dengan alkimia mereka."
"Berisik tidak apa-apa, militer Penempa Bumi tidak pernah punya masalah dengan suara, tapi jangan pernah sekalipun mengusik barang-barang mereka."
Naema pun mengangguk paham dan undur diri untuk menemui para Malianis dengan langkah yang canggung. Sementara itu Amartya pergi ke kemah Sarma di Utara untuk menemui Ester. wilayah Sarma mendadak sudah disulap layaknya taman kecil di Umanacca, terdiri dari rumah pohon, sekumpulan tumbuh-tumbuhan dan bunga-bunga yang menari-nari tertiup angin. Segala sisi terlihat begitu merah muda, putih dan memancarkan percik-percik keindahan alam.
"Eh, kang Amartya. Wilujeng sumping…" Ester menyambut kunjungan Amartya. Entah mengapa ia tampak sedikit malu menunjukkan kemahnya pada pemuda itu.
"Punten atuh nya, kami numbuhin banyak tumbuhan di benteng akang. Walau teh... ini benteng Raja Alam sih nya, tapi kan akang yang lagi megang. Nampakna teh para Raksaka belum terbiasa meninggalkan taman-taman Umanacca."
"Tak ada masalah, aku hanya terkejut kalian bisa menumbuhkan segalanya secepat ini." Amartya tampak cukup kagum, matanya berkeliaran ke mana-mana, memperhatikan tiap tumbuhan di tempat itu.
Sebenarnya alasan lainnya ialah karena Amartya tidak suka mengadahkan pandangannya ke atas, mengingat para Sarma yang bertubuh 1,8 - 2 meter. Ester tahu akan hal ini dan sempat berusaha membungkukkan badannya agar Amartya tidak kesulitan, namun melakukannya hanya membuat pemuda itu jengkel, jadi dia tak melakukannya lagi. Setiap Sarma sudah dapat memaklumi Amartya tak akan pernah menatap mata mereka ketika diajak berbicara.
"Kami ini keturunan langsung Pohon Kehidupan, Kang Amartya, tentu saja kami mampu melakukannya dengan cepat."
"Ah ngomong-ngomong soal menumbuhkan, aku harap kalian bisa menumbuhkan tiga pohon yang cukup tinggi di luar benteng." Amartya menunjuk pada padang luas di belakangnya.
"Sok atuh, tapi untuk apa, Kang?"
"Mata dari Manguni melihat segalanya."
"Ohh aku mengerti, katakan saja di mana aku harus menumbuhkan mereka."
"Semua detail lengkapnya ada di sini." Amartya memberinya secarik kertas. "Terima kasih, Ester."
"Tentu, mugi patepang deui, Kang Amartya."
Setelah dari kemah Sarma, Amartya pun berjalan kembali menuju Naema di dalam benteng. Akan tetapi ketika ia hendak memasuki gerbang, datanglah seekor harimau putih membawakan surat dari Tanduk Putih. Surat itu berisikan keterlambatan mereka untuk menghadiri jadwal pertempuran yang telah diperkirakan oleh Amartya dan Hakan.
"Ahh tentu saja, kurasa agak egois bagiku untuk mengharap mereka datang sesuai pintaku di tengah kesibukan agamis mereka."
Amartya kemudian meminta salah seorang Waraney untuk membawakannya amplop dan pena. Ia kemudian memasukkan 2 buah alat terbuat dari logam beserta instruksi penggunaannya ke dalam amplop tersebut. Lalu diberikannya amplop itu ke si harimau putih, dan memintanya mengantarkan benda itu ke pemiliknya. Tak lama setelah si harimau mencongklang pergi, Naema pun datang dengan rasa ingin tahu.
"Mengapa harimau putih itu pergi lagi, kakanda?" Tanya Naema dengan raut bingung lagi penasarannya.
"Ia hanya mengantarkan surat keterlambatan dari Tanduk Putih, aku memintanya kembali untuk membalaskan pesan mereka." Jelas Amartya seraya mengembalikan pena yang ia gunakan pada Waraney yang membawanya.
"Begitu. Ngomong-ngomong soal Tanduk Putih, kakanda bilang mereka kaum yang dekat dengan Tuhan kan? Aku bingung, bahkan sebagai anak seorang nabi aku tak pernah melakukan ibadah untuk Sang Pencipta ataupun Tuhan layaknya kaum terdahulu di Buana Yang Telah Sirna."
"Hmmm... begini, di semesta yang luas ini, terdapat dua jenis ibadah, vertikal dan horizontal. Ibadah vertikal itu antara kita dengan Tuhan, sementara horizontal ialah kita dengan makhluknya, dan di dunia baru ini kita hanya melakukan ibadah horizontal." Jelas Amartya pada Naema seraya berjalan bersamanya.
"Mengapa demikian kakanda?" Tanya si permaisuri es.
"Karena kita merupakan ciptaan Sang Pencipta, cara kita beribadah ialah dengan menjadi hasil ciptaan yang baik dan bermanfaat. Meski begitu, para musisi masih melakukan ibadah vertikal, walau DiVarri sempat bilang kalau mereka sebenarnya sudah tak perlu lagi melakukannya."
"Oh aku mengerti, para musisi merupakan ciptaan Tuhan secara langsung jadi mereka beribadah kepadaNya, bukankah berarti Ibunda dan Yang Mulia Viper juga beribadah vertikal?"
"Bisa dibilang, kata DiVarri bahkan Sang Pencipta juga melakukan ibadah vertikal. Kurasa kita akan selalu lebih rendah di matanya ketimbang para penghuni Surga."
*!!!*
Di tengah pembicaraan keduanya, Amartya mendapat kabar tentang keberangkatan pasukan Ilmuan Langit dariku (iya aku, si Raja Magnet). Mereka saat itu tengah bergerak menuju desa di daerah pesisir Mitralhassa, desa Asimi. Puluhan portal sudah menyala di kota Angkasa, dengan belasan ribu pasukan berbaris rapih di depannya.
"Raja Magnet baru saja bilang Ilmuan Langit sudah bergerak ke Asimi, kita harus bergerak sekarang." Raut wajah Amartya berubah kian serius.
"Raja Magnet? Aku tidak melihatnya, bagaimana kakanda bisa tahu?" Gadis (wanita) itu tampak bingung akan perubahan situasi yang bergerak begitu cepat.
"Akan kujelaskan nanti, sekarang kita harus bergegas!"
Amartya menarik tangan Naema berlari keluar benteng. Melihatnya Naema sadar ia hanya akan memperlambat Amartya jika ia ikut berlari dengannya, maka ia pun mengembangkan sayapnya, kemudian terbang berusaha mengikuti kecepatan Amartya.
*Fuufh!*
Jubah api pun datang membara, berkobar-kobar melahap damainya angin, menyelimuti punggung Amartya. Dua singa api lalu muncul dan mengaumkan suara mereka yang agung di antara ricuhnya udara. Para Waraney yang mendengarnya seketika bergerak layaknya lesatan peluru, mengambil perlengkapan perang mereka dan berlari mengikuti Tona'as (pemimpin) yang kini membarakan status Teterusannya (panglima) menuju medan perang. Daratan dihiasi bendera merah yang dengan ganasnya berkibar-kibar.
[Seni Api]
[Tingkat 4]
"(Kabasaran: Tarian Pertama)"
"Cakalele..."
***
Sesampainya di Asimi, para Waraney yang berjaga di sana sudah memasang posisi menghadap ke laut dengan senapan mengarah ke Angkasa. Di depan mereka juga pula berjejer dinding-dinding rendah terbuat dari baja dengan bata magnesia melapisi mereka guna menahan panas para Waraney.
Saat Amartya datang mereka tetap menjaga posisi, dan dengan siaga bersiap menghadapi lawan. Tak satupun dari mereka menoleh ke arah Amartya dan pasukan Waraney yang baru tiba. Hingga suara lantang memanggil mereka.
"Waraney!" Sorak Amartya.
"Yayat!" Balas para Waraney.
Setiap Waraney yang ada di sana serentak memutar badan dan berkumpul mengelilingi Amartya. Mereka semua berdiri dengan senapan di tangan mereka. Wajah mereka terlihat serius dan garang, memandang ke arah Amartya dengan fokus dan penuh konsentrasi.