Tak lama sampai akhirnya Ester datang dengan 1000 Raksaka (anak-anak pemanah Toksik dari suku Alam) dan 15 Sarma lain. Sebelum masuk, Vhisawi yang bersama Amartya meminta mereka untuk pergi menjauhi benteng Sfyra guna membersihkan Toksik yang akan memancar dari tubuh anak-anak itu setelah segel elemen mereka nantinya dilepas.
"Bocah-bocah ni tak murni Vhisawi, jadi ye… mungkin aye bisa ngilangin pancaran mereka sepenuhnye, tong." Ucap Vhisawi tersebut seraya mengobservasi mereka.
"Bagus deh, bang. Baiklah Ester, kita bisa mulai pelepasan segelnya." Pinta Amartya.
"Sebelum itu tong, ade baeknya situ same Permaisuri Salju pake perlindungan dulu, buat jaga-jaga aje."
"Kalau begitu teh, izinkan aku rek masangkan pelindung pada kalian berdua." Ucap Ester.
Ester pun memantrakan pelindung anti toksiknya kepada keduanya. Tubuh mereka kemudian diselimuti cahaya merah muda yang perlahan memudar seiring berjalannya waktu.
"Oke, mari kita mulai sekarang." Titah Amartya.
Ester lekas memandang pada para Sarma dan mengangguk. Mereka pun mulai mengelilingi para Raksaka dan menggenggam kedua tangan di depan dada mereka layaknya hendak menjatkan doa. Namun sebelum mulai, sang Vhisawi sempat membisikkan sesuatu kepada Ester. Wanita itu pun mengangguk paham dan lanjut berdiskusi dengan Sarma lainnya.
Setelah selesai, mereka pun memulai proses pelepasan segel. Cahaya merah muda lekas bersinar dari kaki mereka, memunculkan 5 akar pohon menjalar dari masing-masing Sarma. Akar-akar itu kemudian menyatu di bawah kaki-kaki para Raksaka, menjadi sebuah karpet kayu yang memancarkan cahaya.
Tak lama setelah itu terlihatlah sinar-sinar merah muda, yang seakan-akan mengelopak dari kulit para Raksaka, dan kemudian meluap lenyap ke udara. Sinar merah muda itu lalu tergantikan oleh sinar berwarna hijau layaknya elemen suku Toksik, dan setelah hampir semua warna merah muda tergantikan warna hijau, muncullah batang-batang pohon raksasa yang membungkus, merumahi para bocah Raksaka layaknya karantina berbentuk mangkok. Para Sarma, akhirnya selesai melepaskan segel mereka.
"Baeklah tong, aye masuk dulu ye ke dalem, jangan intip-intip, nanti situ sendiri yang kena batunya." Ucap sang Vhisawi dengan senyum merendahkannya pada Amartya dan Naema, sadar akan betapa besarnya rasa penasaran mereka.
"Dimengerti, bang." Amartya mengangguk paham, tubuhnya sedikit merinding mendengarnya.
Grimm pun masuk ke dalam karantina tersebut. Tak lama kemudian, muncullah cahaya hijau yang seakan memberontak ingin keluar dari karantina, begitu terang dan menyilaukan. Setelah sekian detik cahaya itu pun memudar, dan sang Vhisawi keluar dari karantina. Ia kemudian memberi isyarat kepada Ester untuk menghilangkan pepohonan yang membungkus bocah-bocah di dalam.
Setelah karantina itu hilang, terlihat para Raksaka terpapar lemas di tanah. Mereka terlihat letih dan ketakutan, tubuh mereka menggigil tiada hentinya. Namun yang jelas, mata mereka kini sudah sempurna berwarna biru gelap. Amartya pun meminta para Sarma untuk membawa mereka untuk beristirahat.
Selesai dengan ini semua, Naema kemudian berbisik pada Amartya mengenai kedatangan para Iska yang akan tiba sebentar lagi, jika mereka tidak terlambat. Mendengar itu Amartya berterima kasih kepada sang bangsawan Vhisawi dan bergegas kembali ke gerbang Sfyra.
Kabar dari Naema benar, tak lama setelah mereka sampai di gerbang Sfyra, para Iska mulai terlihat berjalan secara berbondong-bondong. Mereka penyihir bukan prajurit, tentu saja mereka tak paham tentang baris berbaris. Namun ada satu hal yang sedikit membuat Amartya tidak senang ketika mereka tiba di Gerbang.
"Ahh, selamat datang wanita-wanita muda Iska, suatu kehormatan bisa memiliki para Malianis (Satuan penyihir kuat di Iska) hadir di barisan pasukan kita." Sambut Amartya dengan senyum hangatnya.
Para gadis itu menoleh pada Amartya sejenak, memandanginya seakan sesuatu yang agung dan penuh keindahan. Akan tetapi tak butuh waktu lama hingga yang tersisa hanya tatapan dingin. Serentak mereka memalingkan pandangan dari Amartya, seraya berjalan masuk ke dalam benteng, dengan sedikit rona yang tertutupkan syal tebal mereka.
"Demi Mentari, apakah hanya Naema satu-satunya Iska di dunia ini yang tidak bersikap dingin padaku? Apa-apaan ini hah!?" Kejengkelan Amartya terdengar oleh para Malianis, dan dengan gugup mereka bersegera mempercepat langkah mereka.
"Iska memang selalu bersikap dingin kepada siapapun kakanda, karena ya… sifat es (walau sebenarnya bukan itu alasan mereka berpaling wajah)." Jelas Naema berusaha keras tak menyinggung Amartya, tanpa menyebar rahasia para perawan di sana.
"Lalu mengapa dirimu tidak bersikap dingin, adinda?" Tanya Amartya.
"Katakan saja, keluarga utama Iska memiliki sedikit… Anomali, sikap masing-masing kami unik." Lihat senyum gugup gadis (wanita) itu.
"Ah benar, dengar-dengar papa sering mengumpat, padahal dia kan seorang nabi. Apakah hal itu tidak apa-apa?"
"Yah, mau diapakan lagi? Hanya ada satu manusia yang terlahir sempurna di sepanjang sejarah, dan papa jelas bukan orangnya."
*!!!*
Tiba-tiba saja rombongan Malianis berhenti di tengah jalan. Dan kebisingan mereka, tentunya mengundang rasa penasaran Amartya. Ia pun langsung mendatangi mereka. Di sana, muka setiap gadis itu merah melepuh, badan mereka terdiam kaku, dan pandangan mereka semua tertuju pada satu hal (atau beberapa, jumlah mereka banyak oke?).
"Tunggu-tunggu! Jangan bilang…" Amartya terlihat tidak senang.
"A-ada masalah apa, kakanda…?" Naema tak mampu menatap mata Amartya, suaranya juga terbata-bata, ia tahu ada yang salah dengan kelakuan Malianis di mata Amartya. Udara sekitar menjadi semakin dingin sesuai berjalannya waktu, dilumuti kegugupannya gadis (wanita) itu.
"Jadi itu mengapa dirimu bersikap aneh saat bertemu Dara Komodo... demi Mentari, mengapa aku tidak menyadari ini dari awal."
Naema menunduk malu dan perlahan berjalan mundur menjauh dari Amartya, meninggalkan jejak es membekas di tanah bagai lumut yang menggumpal.
"Hei kalian pemudi Iska! Bagaimana bisa kalian terliput gairah hanya dari melihat tubuh perempuan lain!? Bukan hanya itu, mereka itu setengah kadal! Apa kalian sudah gila!?" Pria api itu mengamuk.
"Ma-maaf, Tuan. Tetapi seorang gadis tidak perlu menyukai wanita untuk menghargai keindahan tubuh mereka." Sahut salah seorang Iska di barisan terdepan, sebuah kesalahan besar berucap balik pada Amartya jika aku boleh bilang.
"Aku tak memberimu izin untuk berbicara balik kepadaku, No-Na! Demi Mentari, mengapa Pohon Kehidupan tak menghapuskan dosa hina ini dari mereka, dan mengapa Sang Pencipta harus menciptakan Ilmuan Langit dengan dosa ini? Memalukan!"
Para gadis Malianis membeku ketakutan melihat murka Amartya, pada dasarnya Iska memang memiliki rasa takut yang tinggi terhadap api, tapi murka Amartya memperburuk segalanya. Hal yang sama bisa dikatakan untuk Naema.
"Ah sial, apakah perlu aku meminta Vhisawi untuk memakaikan mereka baju yang benar? Tapi hal itu akan mengurangi kelincahan mereka, dan strategi kita untuk memanfaatkan sifat mesum lawan akan sia-sia." Amartya mulai berbicara sendiri.
"Ehm, maaf kakanda, tapi dirimu tak perlu memikirkan ketidakfokusan para Malianis di medan perang, mereka sudah cukup terlatih untuk menyihir dengan benar, lagi pula bukankah seseorang akan semakin kuat ketika dosa utama mereka semakin memuncak?" Aku bisa mendengar ketakutan dari suara wanita itu.
Amartya seketika mematung, matanya pun melebar selebar-lebarnya. "Tunggu, kamu benar." Ia tak kuasa memegangi kepalanya. "Tidak, kamu sepenuhnya benar."
"Semenjak dosa kamu memperkuat seseorang, semakin termakan hawa nafsu seorang Ilmuan, semakin kuat pula sihir mereka." Lanjut Amartya.
"Dan ya… kurasa sekumpulan penyihir yang terdiri dari Manshira (tingkat 7 dari 9) dan sejumput Magistra (tingkat 8 dari 9) memang sudah seharusnya bisa mengatur fokus." Tambahnya lagi. "Walau, kita harus benar-benar menyembunyikan para Dara Komodo, agar musuh kita tak terefek oleh mereka."
"Sejujurnya, tingkatan tidak berpengaruh pada keterampilan kita melawan nafsu, tapi memang bisa dibilang mereka sudah mendapat latihan khusus untuk masalah ini."
"Kalau begitu mari kita bawa para gadis ini ke daerah mereka, aku yakin mereka bisa membangun kemah sendiri dengan bantuan sihir dan elemental."
*Klentang!*
*Ting... ting ting!*
Tiba-tiba terdengar suara berlian terjatuh dan menggelinding di tanah. Suaranya begitu lantang, menggema ke seluruh penjuru Benteng. Terlihatlah salah satu Malianis tengah tertangkap basah dengan berlian itu.
Tanpa basa-basi segumpal baja mendadak datang meneancap, terlempar keras ke hadapan gadis itu. Ia pun menjadi panik dan menoleh perlahan ke arah datangnya lemparan kuat tersebut.