Auspicius tersenyum dan seisi tubuhnya meluap ke udara. Sementara dari kejauhan seekor kuda pucat berlari dengan kencang dan gagahnya, di atasnya menunggang seorang pria dengan jubah hitam yang menutupi seisi tubuh dan wajahnya. Dari tangannya muncul sebatang penggesek biola, ia melompat dengan ganas ke arah pasukan Langit dan memunculkan biolanya dari pundi-pundi udara.
♪ Sforzando! ♪
Nada tinggi kencang yang begitu menggelegar tergesek, dan suaranya mengehempas tiap penyihir tinggi ke udara. Langit mendadak suram kian pekatnya dan bulu-bulu hitam bertaburan dari Angkasa. Jubah itu terlempar, berubah menjadi gagak-gakak yang berkicau pekak, dan darinya Verslinder memainkan biolanya, penuh akan kebencian.
"Sial! Seharusnya mereka membunuhku sebelum sempat bertemu dengan gagak bedebah ini!"
Parjanya dan para penyihir mengembangkan sayap mereka, berusaha mengembalikan keseimbangan mereka selagi mengambang di udara. Akan tetapi bulu-bulu hitam yang bertaburan menempel pada sayap-sayap mereka dan mulai mengirimkan rasa takut yang begitu jarang dimiliki oleh Ilmuan Langit.
"ACROPHOBIA!"
Rasa takut akan ketinggian. Mendadak mereka lupa bagaimana cara mengepakkan sayap mereka untuk terbang di Angkasa. Bumi pun menarik mereka jatuh, semakin cepat bersama kegelapan yang mendorong mereka ke bawah. Wajah mereka semakin dekat dengan tanah dan Verslinder tiada hentinya memakan rasa takut mereka.
*Brak!*
Dan para penyihir terbentur ke tanah. Mereka bisa merasakan setiap tulang di tubuh mereka remuk tak beraturan, namun mengapa kematian belum juga menjemput mereka menjadi pertanyaan yang paling besar di antara semua ini.
♪ *Duk!* *Duk!* *Duk!* ♪
Terdengar pukulan genderang dari segala arah. Para penyihir pun membuka mata mereka, dan terlihat not-not putih kekuningan melayang-layang di antara mereka. Seiring berjalannya waktu, luka-luka yang mereka rasakan mulai menghilang, sembuh, layaknya tak pernah tergores sekalipun. Meski begitu, tak peduli seindah apapun kedengarannya, ini adalah awal dari mimpi buruk yang begitu nyata.
Dari kejauhan berjalan seorang gadis dengan gaun putih, bola matanya menghitam namun irisnya bersinar kuning terang. Di sekitarnya melayang 6 papan segi enam bewarna putih dan 4 piringan mengkilat bagai platina. Tiap ia menggerakkan jarinya maka salah satu dari mereka akan berbunyi. Ia memainkan mereka begitu cepat seakan jarinya bergetar angankan sedang menggigil.
"Lihat diri kalian! Begitu bahagia akan kematian yang akan segera menjemput. Tapi bahkan Bumi sekalipun tertawa akan ketamakan kalian!"
Verslinder berteriak ke arah Parjanya yang kini terkapar di tanah. Di tengah-tengah itu pasukan Langit berusaha sebisa mereka untuk berdiri, berupaya keras menyalakan tongkat-tongkat mereka. Jujur sebenarnya aku takjub melihat mereka masih sempat berpikir untuk menyerang Verslinder di tengah situasi seperti ini. Namun ya, kebanyakan dari mereka hanyalah klon dengan pemikiran yang sederhana.
♪ Smor... zando... ♪
Verslinder menggesek biolanya, dan suara yang keluar darinya perlahan mengecil, hingga tak lagi terdengar apa-apa. Sebuah gaya yang begitu kuat menghampiri mereka, para penyihir bisa merasakan jiwa mereka tertarik keluar, begitu dekat dengan kematian. Namun ketika mereka berada di detik terakhir kehidupan mereka, Verslinder kembali menggesek instrumennya dengan luar biasa cepat, melempar mereka semua menjauh darinya. Jiwa mereka mungkin kembali pada badannya, namun rasa sakit yang terasa, tak mampu lagi terbayang.
♪ *Duk!* *Duk!* *Duk!* ♪
Lagi-lagi not putih melayang di antara mereka, menyembuhkan mereka dari segala luka. Tapi kali ini, tak hanya not-not itu yang berada di antara mereka.
1000 genderang putih bertaburan di Angkasa, berdetak dengan begitu lantang, memainkan nada-nada yang tak henti-hentinya memompa jantung dan gendang telinga. Melodi yang dihasilkan begitu memacu semangat dan adrenalin, sayangnya, mereka tak tertuju pada pasukan Langit.
Nada-nada berkumpul, tinggi dibelakang Austra. Dua ribu pasang sayap raksasa terbentang, begitu putih dan suci, darinya muncul malaikat kian besarnya, seakan kepalanya menyentuh awan dan kakinya hampir menyentuh daratan. Ia tertutup oleh jubah yang bersinar begitu terang, membawa sebilah sabit putih yang bergelimpangan cahaya.
"Azrael!"
Sang malaikat maut, kini hadir di antara mereka.
Austra perlahan mengangkat tangannya ke udara dengan telapak tangannya terbuka lebar, dan bersamanya sang malaikat maut menarik sabitnya setinggi mungkin. Setelahnya, seelok wajah tampak dari punggungnya. Para penyihir berlarian ketakutan, berterbangan menjauhi sang malaikat, namun itu semua tak ada gunanya, dan mereka sadar akan itu.
Austra mengepal tangannya dan sabit itu terayun ke arah pasukan Langit.
*SHIIING!!*
Sepertiga dari mereka mati begitu saja. Meski begitu, Azrael nampak tak tertarik dengan roh-roh mereka, dan tak membawa mereka pergi bersamanya. Sementara Verslinder menjadi begitu kuat dan bulu-bulu hitam berlomba-lomba keluar dari punggungnya.
Terdapat banyak alasan mengapa Verslinder bisa menjadi kepala keluarga yang terkuat. Untuk seorang Dramu, ada tiga hal yang mempengaruhi kekuatan musiknya. Status dalam keluarga, keahlian dalam bermusik dan rasa takut yang mereka sebarkan semasa hidup di Buana Yang Telah Sirna.
Verslinder merupakan kepala keluarga sekaligus seorang jenius dalam bermain biola… dan segala hal lain. Oh asal kalian tahu, iq rata-rata Dramu mencapai lebih dari 200 itu karena dia seorang. Dua hal ini sendiri cukup membuatnya menjadi Dramu yang begitu kuat. Namun yang paling berpengaruh adalah rasa takut yang ia sebarkan semasa hidupnya.
Ketimbang Ares yang mengemban perang di segala penjuru dunia, mungkin kehidupan Verslinder terdengar tak ada apa-apanya. Tapi rasa takut yang disebar Verslinder tak berasal dari kesehariannya, melainkan legenda yang terus hidup hingga akhir zaman.
Cerita rakyat tentang kerumunan gagak yang memakan pasukan jepang hidup-hidup menjadi kisah yang terus menghantui generasi-generasi setelahnya. Dan dengan tertulisnya nama Verslinder dalam sejarah sebagai raja para gagak, menjadikan setiap rasa takut yang muncul akibat kehadiran gagak tercatat sebagai rasa takut darinya.
Gagak adalah seekor burung yang merupakan simbol kematian. Ia pun tumbuh menjadi rasa takut sejati yang diemban oleh Verslinder, rasa takut terbesar yang hampir dimiliki semua orang, rasa takut yang mejadi akar dari segala kengerian, rasa takut… akan kematian.
Hal ini membuatnya berbeda dengan para Dramu lain yang mengharuskan lawannya tetap hidup untuk menyuapi mereka rasa takut. Keangkuhannya tak memiliki belas kasih, Verslinder akan melahap ketakutan terbesar musuh-musuhnya ketika ajal mereka datang menjemput.
"THANATOPHOBIA!"
Gelombang hitam kian gelap gulita keluar dari tubuh mati para penyihir. Benda itu melimpahkan dirinya pada Verslinder dan ia melahapnya mentah-mentah. Perlahan bajunya tersobek sedikit demi sedikit, melayang-layang di udara, tertarik menuju punggungnya menjadi bulu-bulu hitam.
Sayap gagak hitam pun terkembang, begitu besar, bermandikan pesona dan cahaya ungu menggema di antaranya. Langit menjadi cerah akan kegelapan dan bulu-bulu hitam tak henti-hentinya menghujani daratan.
"Sayap? Aku kira hanya Ilmuan Langit manusia yang memiliki sayap." Naema terlihat bingung tapi matanya berbinar-binar kian terangnya. Kurasa Naema lebih tertarik pada apa yang dilakukan para musisi ketimbang kematian yang jelas melanda orang-orang Langit.
"Jangan samakan sayap kalian dengan sayap Verslinder, Naema... (Lagi pula Phoenix Waraney kan juga punya sayap…)."
"Maksud kakanda?"
"Sayapnya tak terbuat dari elemen dan kaku seperti para penyihir, namun murni dari rasa takut yang ia panen."
"Apakah itu berarti ia tak menggunakan energi sihir untuk membuatnya terbang?"
"Tidak, murni stamina layaknya burung di Angkasa."
Suara ketukan instrumen muncul dari segala arah. Para penyihir yang ketakutan mulai berdiri tegap seakan berhasil melawan rasa takut mereka, namun mata mereka kini tampak terhipnotis dan tak berkedip menatap Verslinder.
"Mereka… Apa yang sedang terjadi kakanda?"
"Sekeji-kejinya Verslinder ia punya prinsip dan pendirian, ia tak suka melawan musuh yang tak memberikannya perlawanan."
"Jadi ia membuat Austra memacu moral para penyihir?"
"Bisa dibilang, tapi kurang tepat, Austra menyuntik mereka adrenalin terkuat yang bisa dirasakan manusia, bedanya mereka masuk melalui suara."
"Apa yang akan terjadi pada para Penyihir."
"Apa yang akan terjadi? Mereka akan berperang seakan itulah satu-satunya yang mereka lakukan seumur hidup mereka, mengerahkan segalanya, bergelora dan penuh akan hal-hal berlebihan yang menurutku tidak penting."