Chereads / Ardiansyah: Raja dari Neraka / Chapter 91 - Chapter 28: Shadows Above the Cloud

Chapter 91 - Chapter 28: Shadows Above the Cloud

"Asu! Dingin amat jir…" Kepala keluarga Keshan, Borea, membuka matanya dan terpancarlah cahaya ungu darinya. Tubuh gelapnya sedikit gemetar karena suhu rendah yang tak biasa ia rasakan.

"Selamat pagi, tuan Borea." Seseorang dengan tubuh kurus yang tak terlalu tinggi berdiri di depannya dan menyambutnya dengan senyuman yang semu.

"Sayap kelabu?" Borea menoleh pada orang itu.

"Ah aku mengerti, kita berada di atas awan."

"Benar sekali tuan."

Borea memandang sekelilingnya, dan terlihat;ah tanah buatan yang menutupi menutupi awan, begitu luas dan berbentuk persegi. Di sisi-sisinya terdapat empat kumpulan bangku penonton yang di duduki oleh ratusan Ilmuan Langit. Tempat ini adalah salah satu stadium olah raga yang berada di Ibu Kota Negri di Atas Awan.

"Jadi, mengapa aku diikat di kursi?"

"Maaf atas perlakuan tidak sopan kami tuan, tapi kami mengundang anda kemari untuk meminta bantuan anda."

"Bantuan?"

"Ya, kami sedang melakukan penelitian mengenai Dramu dan Lishmi, tentang mengapa kalian masih hidup sementara generasi pertama lainnya selain Ibunda Zoastria tentunya, sudah lama mati."

"Oh? Kurasa kalian lupa kalau Viper juga masih sehat dan bugar saat ini."

Borea menghentakkan giginya 4 kali, dan keluarlah 4 nada yang memotong tali di tangan dan kakinya. Ia pun menjentikkan jarinya, dan muncullah nada yang berubah bentuk menjadi bangku kecil di depannya. Borea lalu dengan ganas meletakkan kedua kakinya pada bangku kecil itu. Para Ilmuan Langit terlihat sedikit panik melihat tingkah Borea yang dengan mudahnya telah terbebas dari ikatannya.

"Ngomong-ngomong tuan, anda sepertinya cukup mengenali kota di atas awan, saya kira Dramu belum pernah berkunjung kemari." Tanya Ilmuan Langit itu, ia berusaha keras untuk tak terkejut dengan tingkah Borea.

"Oh pernah, kamu terlihat muda jadi kurasa kamu belum lahir saat itu."

"Jika saya boleh tahu, mengapa anda berkunjung pada saat itu tuan?"

"Aku? Tentu saja membantai orang-orang di sini, apa lagi?" Borea terlihat begitu santai ketika mengucapkannya.

Mereka terkejut mendengarnya, mulai muncul bisikan-bisikan di antara mereka. Suasana di sana mendadak tegang, dan Borea mulai memakan rasa takut mereka layaknya sarapan yang dengan nikmat terhidang untuknya.

"Kalau begitu, bagaimana caranya aku dapat membantu kalian dalam penelitian ini?"

"Kami membutuhkan beberapa helai rambut dan beberapa tetes darah tuan, jika tuan bersedia mendonorkannya untuk kami."

"Ah aku mengerti, tes DNA ya…" Borea tersenyum sinis.

"Masalahnya ilmuan muda, tubuh kami tidak mirip dengan kalian."

Borea pun berdiri, mematahkan kursi yang ia duduki, dan menyayat tagannya dengan serpihan kayu dari kursi tersebut. Darah hitam menetes darinya, lalu menguap ketika menyentuh tanah bersama lantai dan udara di sekitarnya. Luka Borea kembali menutup tak lama setelahnya, seakan-akan luka itu tak pernah hadir dari sedia kala.

"Seperti yang kalian lihat, kami adalah bangsa yang suci, dunia ini tak cukup kuat untuk menerima tetesan darah kami secara langsung."

"Menarik sekali tuan Borea, jika memang begitu keadaannya maka kami tak ada pilihan lain, kami harus melakukan otopsi atau pembedahan terhadap tubuh anda demi keberlangsungan penelitian ini."

"Walau aku cukup penasaran bagaimana kalian bisa membedah tubuhku dan menjaga hasil sayatan kalian tak tertutup kembali, bagaimana jika aku menolak tawaran manis itu?"

"Tentunya kami akan mengambil paksa kesediaan anda." Para penyihir mengeluarkan tongkat-tongkat mereka, begitu pula dengan orang yang berdiri di depan Borea. Dari betapa banyaknya ratna pada tongkat ilmuan di depannya, Borea paham benar bahwa pemuda di depannya adalah seorang Profisa.

Senyum Borea semakin melebar, seakan ingin tertawa.

"Begini ilmuan muda, aku mengerti mengapa kalian menaruhku di tempat yang luas dan terbuka, namun seberapa banyak penyihir yang kau bawa untukku?"

"Aku dan Hyakra di sebelahku adalah seorang Profisa, lalu empat magistra di tiap sisi, dan sisanya manshira."

"2 Profisa, 16 Magistra dan 128 Manshira kah? Seharusnya kalian membawa lebih banyak orang, ilmuan muda." Borea lalu duduk di bangku kecil buatannya.

"Begitukah? Sayangnya anda terlalu menganggap remeh kami... tuan Borea."

Para penyihir mulai membaca mantra-manta mereka. Ribuan lingkaran sihir muncul dari segala arah, membentuk tempurung yang mengelilingi Borea. Profisa itu pun mengehentakkan tongkatnya, dan sihir-sihir melesat menghujani Borea dengan ganas. Panggung pun dipenuhi dengan debu dan asap.

*!*

Tak lama hingga udara kembali jernih. Lalu terlihat tujuh buah wayang gunungan raksasa berdiri melindungi Borea, hitam dan besar, dipenuhi dengan ukiran dan lukisan yang indah pada tubuh mereka.

"Masalahnya ilmuan muda, kalian lah… yang terlalu menganggap remeh diriku." Borea lantas menjentikkan jarinya.

Satu set gamelan pun muncul mengelilinginya. Bergelora, ia mulai memainkan mereka, mengeluarkan melodi yang menggentarkan Angkasa, begitu kuat lagi merdu. 1000 wayang golek terbentuk dari nada-nadanya, melayang di Angkasa mengelilingi para penyihir.

Masing-masing dari mereka memainkan sebuah gamelan dan memainkan nada yang memenuhi panggung. 700 wayang kulit muncul dan menari-nari di atas panggung, sementara bayangan mereka memenuhi tanah, hidup, menjadi pasukan bayangan dengan panah dan tombak mereka. Para penyihir menjadi semakin panik dan menembaki mereka dengan sihir. Tempat itu kini menjadi medan perang antara para penyihir dan pasukan bayangan. Dan Borea, sebagaimana dirinya seorang dalang, kini tertawa di atas panggung yang telah menjadi miliknya seorang.

Ia pun berdiri di atas bangku kecilnya, membentangkan kedua tangannya ke atas, seakan menyambut tiap penonton yang datang dan terjebak di pertunjukannya.

"The curtains of the universe was finally open!"

"So ladies and gentle-birds…"

"Let the show, BEGIN!"