Indra dengan tegas membuka pintu dari gedung terbesar di antara semuanya, kemudian di tengah sunyinya malam suara langkah kakinya bisa dengan jelas terdengar berjalan memasukinya.
*klck*
Lampu pun ia nyalakan, dan di depannya terpampang puluhan ribu kasur, saling tertumpuk di antara dinding-dinding tinggi. Masing-masing darinya, ditempati oleh pasukan dengan berbagai warna rambut dan iris mata, namun wajah-wajah di antara mereka yang sewarna begitu mirip, atau mungkin sama persis.
"Hari yang kalian semua tunggu-tunggu akhirnya datang!" Indra menyeru tegas pada mereka, suara lantangnya bisa terdengar menggema ke seisi gedung.
"Sebagian besar dari kalian akan ikut saya turun ke Daratan esok hari."
Mereka semua menatap Indra seakan terpaku pada mulutnya, memperhatikan tiap tutur kata dan gerak geriknya. Setiap orang yang hadir di sana, telah didesain khusus sebagai tentara yang patuh dan disiplin, mereka terlahir hanya untuk berperang, dengan pelatihan yang diemban seumur hidup mereka.
"Gerbang Kota, dini hari! Sekarang… TIDURLAH!" Suara Indra menggaung-gaung, bahkan tubuh orang-orang itu menyentak ketika dirinya membentak.
Sementara pada malam itu para Penempa Bumi tidur nyenyak, bermimpi-mimpi dipimpin oleh seorang Ardiansyah. Persatuan Daratan akhirnya akan resmi, dan ketujuh suku mungkin akan menjadi sebuah kekaisaran yang besar.
***
Esok harinya, pukul 2 pagi.
Langit dipenuhi awan kelabu, Bumi yang gelap kini kian suram layaknya akan terjadi badai yang begitu dasyat. Kepala suku Api terjaga dari tidurnya, Hakan tiada hentinya memandangi cakrawala luas yang mengatapi kaumnya. Raut gelisah di wajahnya begitu jelas, dia tau, mungkin hari ini akan diawali malapetaka jika ia tak segera berbuat sesuatu.
Suhu Daratan mulai menurun secara derastis. Maksallatan yang biasanya sangat panas dan membakar kini terasa hangat, sementara embun-embun pagi yang seharusnya belum muncul mulai membeku di provinsi lainnya. Angkasa dan Daratan seakan-akan ingin melebur menjadi satu.
Hewan-hewan mulai berlarian mencari tempat untuk berlindung, tangisan mereka memecah sunyinya malam. Penduduk suku Api terbangun oleh suara berisik yang mereka timbulkan. Beberapa dari mereka berlarian menemui Kepala Suku di istananya.
"Tuan Hakan, apa yang sedang terjadi?" Salah satu penduduk Afaarit bertanya.
"Meraka… argh! Akhirnya mereka memutuskan untuk tidak lagi menjalin hubungan dengan kita!" Hakan menggerutu, rambutnya menjadi berantakan karena diusap kekesalannya.
"Para burung itu, Tuan?" Tanya penduduk yang lain.
Hakan menghelakan nafas yang berat, membenarkan ucapannya.
"Kalian! Bawa warga ke Tempat yang Aman di Cheroef, lalu kumpulkan para Waraney dan minta mereka mempersenjatai diri." Hakan bertitah dengan tegas.
"Ucapkan selamat tinggal pada tidur nyenyak kalian, atau tidur selamanya!"
Semua orang seketika itu juga lantas menjalankan instruksinya masing-masing. Para orangtua memanggil anak-anak mereka untuk segera berkemas dan membawa hal-hal penting yang akan dipakai di 'Tempat Yang Aman', layaknya pangan dan herbal.
Kemudian serentak masyarakat bergegas menuju Tempat Yang Aman. Rakyat suku Api ahli dalam bergerak secara sembunyi-sembunyi, orang bilang mereka gerilya yang baik, terutama di daerah yang dilapisi atau dialiri oleh api (seluruh hal yang ada di Maksallatan dialiri elemen api). Dengan begini seharusnya mereka tidak perlu terlalu terburu-buru jika ada musuh yang datang, selama para Waraney bisa menarik perhatian lawan.
Di sisi lain, para Waraney, satuan bersenjata suku Api, sudah berkumpul di depan istana. Mereka sudah lengkap dengan seragam perang, cincin-cincin, serta perlengkapan tempur mereka.
"Maaf mengganggu tidur anda bapak, ibu dan adik-adik sekalian." Sapa Hakan. Ia sebenarnya agak tidak tega membawa Waraney generasi ke-3 yang berumur 1-2 tahun dibawah Amartya untuk terjun ke peperangan tanpa persiapan yang matang.
"Kali ini kita kedatangan tamu yang bisa dibilang… tidak cukup ramah."
Mereka memegang erat senjata mereka, raut wajah mereka terlihat begitu letih, bisa terlihat dengan jelas mereka tidak sedang dalam kondisi untuk situasi peperangan.
"Musuh akan datang lewat udara, ambil sebanyak mungkin baja-baja terfortifikasi yang kita punya, malam ini kita jalankan salah satu strategi terkuat kita." Lanjut Hakan.
Mereka kemudian mengambil semua persediaan baja yang telah diperkuat oleh suku Tanah dengan keahlian elemen mereka, baja-baja itu didesain khusus untuk menerima sihir dan serangan suku Air, seharusnya mereka juga cukup kuat untuk melawan sihir Angkasa. Baja-baja itu lalu dikumpulkan pada lokasi-lokasi yang telah ditentukan oleh Hakan. Mereka juga menaruh beberapa stok amunisi di lokasi tersebut.
Kota Afaarit memiliki tiga dinding tungsten, yang membagi wilayah kota sesuai dengan kepentingannya. Pusat militer kota dengan segala persenjataannya terletak di antara dinding kedua dan ketiga, para Waraney menggiring tiap hal yang dibutuhkan dari sana ke lokasi yang lebih luar di antara dinding pertama dan kedua, guna memanfaatkan asap-asap yang menggumpal dari wilayah pemukiman dan industri, untuk mengganggu indra dan pergerakan lawan yang berada di Udara.
Kini semua lokasi vital telah difortifikasi, dan para Waraney telah mengisi posisi.
"Operasi Backfire… dimulai!" Titah Hakan menjadi akhir dari suara Afaarit, dan malam pun kembali sunyi.
***
Para Ilmuan Langit nampaknya sedikit terlambat, fajar kini sudah hampir terbit.
Namun tak seperti yang mereka sangka dari kelalaian mereka, kota Afaarit begitu tenang dan redup. Tidak ada aktifitas yang dapat dirasakan di kawasan suku Api.
Sementara itu pasukan Ilmuan Langit turun dari Angkasa secara perlahan. Langit yang muram, di penuhi oleh sayap-sayap yang berpancarona. Terlihat seluruh suku dari Ilmuan Langit ikut berpartisipasi dalam penyerangan ini.
Turunnya pasukan persatuan Ilmuan Langit berjalan dengan lancar sejauh ini. Tidak ada kontak apapun yang dilontarkan oleh para Penempa Bumi. Suasana terasa teramat sunyi, cukup untuk membuat seisi tubuh merinding.
Setelah cukup dekat dengan Daratan, Magistra Indra, selaku panglima perang dari Ilmuan langit memerintahkan seluruh pasukannya untuk berhenti dan mempersenjatai diri mereka.
Para penyihir itu kemudian mulai mempersiapkan dan menyalakan sihir-sihir mereka. Energi-energi sihir pun mulai tersalurkan, menghasilkan ribuan cahaya menggema di Angkasa. Tingkat kewaspadaan mereka menaik, mata mereka menjadi liar mencari-cari pergerakan dari manusia di bawah mereka.
Setelah Langit kian cerah dibuatnya, Indra pun melanjutkan perjalanannya menuju kota Afaarit.
Namun seketika ia menggerakkan badannya, Daratan menjadi terang benderang, suhu di udara mendadak naik secara derastis. Letupan-letupan cahaya oranye mengisi kota Afaarit, bagai kilauan bintang-bintang di malam tak berbulan. Peluru-peluru api melesat, menembus sayap-sayap rentan pasukan Angkasa.
Mantra-mantra yang sudah dialirkan terpatahkan oleh buyarnya konsentrasi, serta badan dari rekan-rekan mereka yang gugur menimpa dan mengganggu keseimbangan mereka. Langit menjadi begitu berwarna dihiasi oleh ledakan peluru-peluru api yang senantiasa membakar udara di dalamnya.
Ilmuan Langit yang tak biasa berperang, mendadak kebingungan menghadapi situasi yang terjadi. Angkasa tak pernah bertempur melawan suku Api ataupun orang-orang Daratan sebelumnya.
Akan tetapi, jumlah para penyihir jauh lebih banyak jika dibandingkan dengan seluruh Waraney dewasa di Afaarit yang hanya berjumlah 3 digit. Tentu saja terdapat ribuan Waraney remaja yang masih di Papendangan (sekolah Waraney) ikut bertempur, meski begitu total mereka tetap tidak sepadan dengan jumlah sayap yang terkembang di atas kota mereka.
Di tengah kekacauan, Magistra Indra berusaha mengatur kembali keadaan. Ia hendak menenangkan pasukannya yang kini kocar-kacir, dan mulai mengkoordinasikan serangan balasan yang akan ditujukan pada pasukan suku Api.
Prajurit-prajurit Ilmuan Langit yang sudah berhasil menggapai keadaan dengan baik langsung menyalakan kembali mantra-mantra sihir mereka dan mulai membentuk berbagai perisai sihir. Sedikit demi sedikit para prajurit Ilmuan Langit yang tersisa ikut bergabung dengan mereka dan semaksimal mungkin menciptakan serangan balasan ke Daratan.
Indra pun mencapai posisi stabil, dan mengangkat tongkatnya tinggi ke atas.
"Terbanglah bersama awan"
"Menyalalah bersama kilatan petir yang berguguran"
[Sihir Listrik]
[Tingkat 7]
"(Pembersihan Total Sang Petir)"
"Sagunpu... Lebu... Pracalitalem!"
Awan-awan hitam pun berkumpul berterbangan di atas Daratan. Petir-petir liar mulai menghujani kota Afaarit, sementara penyihir lainnya mengikuti alur serangan Indra. Ribuan misil sihir berterbangan menuju pasukan suku Api, dan beberapa dari mereka tampak sangat tidak bersahabat.