Oleh: Amartya Vasurha
"Ada apa kupu-kupu kecil? Kamu kehilangan rumahmu?"
"Janganlah dirimu bersedih temanku, tidurlah di rumahku, rumah kita bersama."
"Semuanya akan baik-baik saja ketika kamu terbangun dari mimpi burukmu."
Bulan 10 hari 23, tahun 8, reinkarnasi ke 3 Pohon Kehidupan. Pelukis Samudra kembali menyerang Maksallatan. Hutan Aghnii, utara pelabuhan Faerit yang merupakan salah satu pos utama Waraney, kini jatuh ke tangan Pelukis Samudra.
Seisi hutan banjir digenangi air, pohon-pohon ditebang dan digantikan tanaman laut, dan tanahnya dipasangi karang-karang yang menjadi tempat tinggal pasukan mereka. Tempat itu seketika disulap menjadi sebuah benteng Pelukis Samudra.
Hutan Aghnii merupakan rumah dari berbagai jenis satwa api, terutama kupu-kupu. Mereka dapat terlihat berterbangan di seluruh penjuru hutan, membiaskan cahaya oranye yang menyinari pepohonan. Sayangnya begitu banyak dari mereka yang harus terkena pedihnya pertempuran di sana, kini kupu-kupu yang tersisa tak lagi memiliki tempat yang dapat mereka sebut rumah.
Salah satu dari mereka datang kepadaku, dan dengan senang hati kuberikan tempat bernaung untuk ciptaan seindah mereka. Walau begitu, rumahku tak layak untuk dirinya, dia butuh pepohonan merah untuk berpijak, udara segar untuk melayang, kerabat untuk bercanda ria. Suku Api, harus bisa merebut kembali hutan Aghnii.
Mengapa aku bicara soal kupu-kupu... mereka bukan satu-satunya yang terkena masalah karena jatuhnya hutan Aghnii. Jika pasukan Samudra membangun benteng di sana, maka desa terdekat kami, desa Cheroef yang merupakan tempat pengungsian dan gudang berbagai persediaan hidup, akan mengalami mimpi buruk dalam waktu dekat.
Untuk mengatasi ini, suku Api mengirim 160 orang untuk mempertahankan desa Cheroef. Aku tahu, sedikit bukan? Mereka bahkan bukan Waraney. Tapi apa boleh buat, suku Kegelapan cukup merusak jumlah personel militer kami. Walaupun begitu, aku juga ikut pergi bersama mereka, sebagai Teterusan, seorang Tona'as (pemimpin) pada medan pertempuran, dengan kata lain, seorang panglima perang. Jangan salah, meski baru berumur 7 tahun, aku termasuk salah satu sosok tercerdas di suku Api.
Sesampainya di Cheroef, kami langsung mempersiapkan tiap-tiap lokasi, dan membangun parit yang diisikan air. Kalian bertanya mengapa membuat kolam untuk mahkluk yang tinggal di air? Hah, kalian terlalu banyak bertanya.
Parit ini hanya kita buat di Selatan Cheroef, bagian yang dekat dengan hutan Aghnii. Kita tak perlu membuat parit di seluruh sisi Cheroef, mengapa? Hal ini karena Pelukis Samudra itu... cukup berbeda dengan dua ras lainnya, mereka harus menjaga kulit mereka tetap lembab agar tetap sehat. Ya setidaknya... makhluk-makhluk yang mereka bawa harus demikian. Dan ketika mereka tahu ada air di dekat sini, mereka pasti akan mendatanginya. Oh ya, mereka juga bodoh, lawan kami tentunya, bukan para Pelukis Samudra seutuhnya.
Kini saatnya mengatur formasi, kami mendapat bantuan sejumlah 52 Waraney yang selamat dari hutan Aghnii serta 160 Milisi Api dan 88 warga Cheroef yang siap bertempur. Aku tidak berharap banyak dari warga yang tak terlatih, jadi aku hanya beri mereka sedikit perlengkapan. Sementara Waraney, aku memberikan mereka stok peluru saja (banyak), karena perlengkapan mereka sudah jauh lebih bagus ketimbang kami.
Desa Cheroef semakin ke utara semakin menanjak, oleh sebab itu tempat ini menjadi tempat yang baik untuk pengguna senapan macam kami. Aku menaruh personelku di bagian paling depan, 70 di bagian kanan dan 70 di bagian kiri. 20 lagi aku taruh untuk menjaga stok persenjataan, dengan tugas mengirimkannya pada kami jika kami membutuhkan. 10 dari mereka adalah ahli medis, jadi akan sangat baik jika mereka tumbang terakhir. Walau tentu saja, kemampuan medis mereka jauh lebih lemah ketimbang Phoenix Waraney.
Di bagian belakang, aku menaruh warga setempat. Tujuan mereka bukan untuk menembak, tapi untuk memberikan perlindungan pada garis terdepan ketika mereka mundur dari pos mereka. Aku membentuk 4 barisan dengan 3 Waraney pada masing-masing baris.
Bagian paling terakhir diisi sisa Waraney, akan sangat baik menjaga kondisi mereka tetap prima apa bila pertempuran berlangsung lama. Dan juga mereka itu selain ahli pedang juga ahli menembak jitu, jarak tidak terlalu berpengaruh pada hasil tembakan mereka.
Ketika terjadi pertempuran antara suku Api dan Pelukis Samudra, masing-masing pihak punya kondisi menang mereka sendiri. Suku Api memiliki kualitas pasukan Waraney yang sangat tinggi, sementara pasukan Samudra memiliki jumlah personel yang luar biasa banyak.
Ketika dalam kondisi menang, umumnya suku Api tak akan kehilangan satupun Waraneynya. Dengan kekokohan tubuh yang tinggi serta regenerasi yang cepat, akan sangat sulit bagi para pasukan Samudra bahkan untuk membunuh satu orang dari mereka. Biasanya Waraney akan mulai bertumbangan ketika medan tempur merupakan lokasi yang vital bagi kami, dan para Waraney terpaksa bertempur melebihi batasan mereka.
Di sisi lain, para pasukan Samudra akan selalu kehilangan banyak prajurit baik itu menang ataupun kalah. Hanya saja jumlah mereka begitu banyak hingga kadang mereka akan memojokkan para Waraney, sampai mereka tak sanggup lagi bertempur atau bahkan kehilangan nyawa mereka.
Dan jika kalian ingin tahu, komposisi pasukan Samudra biasanya diisi oleh para duyung dan manusia ikan. Seorang Pelukis Samudra seutuhnya sama kuatnya dengan para Penempa Bumi, dan bahkan jauh lebih kuat ketika berada di lautan, hanya saja jumlah mereka sangat sedikit (dalam skala spesies layaknya Penempa Bumi dan Ilmuan Langit, ditambah mereka terpisah atas banyak faksi dan keluarga) sehingga mereka cenderung menggunakan biota laut untuk berperang demi mereka.
Beberapa hari pun berlalu, pasukan Samudra akhirnya datang untuk berkunjung. Seperti yang sudah kuperkirakan mereka datang di malam hari. Ikan-ikan ini hidup di lautan dalam yang suram di kala siang dan hitam di kala malam, sementara kami hidup dipenuhi cahaya selama 12 jam tiap harinya, tentu saja malam menjadi waktu yang menguntungkan untuk mereka.
Tapi tak apa, akan kumainkan permainan mereka. Kumatikan semua sumber cahaya tiap malamnya, guna mengundang mereka untuk menyerang. Dan sekarang, mereka telah tiba tepat di depan kolam buatan kami. Kini tiba waktunya memberi malam ini… sedikit sentuhan.
*Tchuiiing!*
Belasan suar api dilontarkan ke Angkasa, bersama puluhan obor yang terbakar seketika. Daratan yang telah digenangi minyak kini membara sepanas-panasnya. Apa? Desa kami akan terbakar oleh ini semua? Kami ini putra-putri suku Api, apa yang membuatmu berpikir kami peduli bahkan jika seluruh dunia ini tenggelam dalam lautan api?
Dengan betapa panasnya medan perang, para ikan bergegas langsung terjun ke kolam, 400 lebih berhasil masuk jika mata ini tidak mengelabuiku. Tapi dari sini kita mulai senang-senangnya ya.
*Duarrr!*
Air yang menyelimuti mereka seketika meledak terkena peluru tembakan kami, semua yang masuk ke dalam kolam meluap, habis tak bersisa.
Perkenalkan peluru ciptaanku, Cesis 7.62mm, sebuah peluru yang berbahan baku timbal dan kristal es. Peluru ini akan meledak ketika bersentuhan dengan air, karena ujungnya dipenuhi oleh sesium. Sangat cocok untuk menembak mahkluk-mahkluk basah di Daratan.
Setelah menerima pukulan keras, perkiraan pertamaku mereka akan memutari air itu dan menyerang kami dari dua sisi. Tapi ternyata mereka memutuskan untuk kabur ke hutan Aghnii dan mungkin menyerang di lain waktu.
Tentu saja aku tak terima. Pasukan Samudra bukanlah lawan yang bisa diberi waktu untuk memulihkan diri. Jadi aku kejar mereka dengan harapan bisa merebut kembali hutan Aghnii. Namun begitu aku berada di depan sana, hanya ada satu hal yang melintas di pikiranku.
"Ini ikan, sekali beranak berapa puluh dah!?"
Aku melihat ribuan dari mereka menunggu kami masuk ke hutan Aghnii. Trisula, gada, lembing, semuanya terangkat ke atas siap menyambut kedatangan kami. Beberapa penyihir mereka membuat portal-portal heksagon yang kemudian darinya, tertembakkan misil-misil air ke arah kami, lembing-lembing juga ikut melesat berterbangan bersama mereka.
Tiba-tiba beberapa Waraney melompati pasukanku dan menancapkan lempengan logam persegi setinggi manusia. Logam itu kemudian mengeluarkan cahaya oranye dan serentak melebar menjadi tembok-tembok baja tipis. Mereka cukup untuk melindungi kami dari serangan pertama ini.
Ke-52 Waraney seketika maju ke belakang tembok baja lalu melelehkan sebagian kecil darinya. Mereka memasukkan senapan mereka, lalu menembak secara acak, sebuah formasi yang dikenal dengan nama "backfire". Setelah itu mereka menarik senapan mereka dan menambal lubang tadi, lalu mengganti peluru, dan kembali menembak. Hal ini terus mereka ulangi selama baku tembak dengan pasukan Samudra.
Aku pikir ini akan menjadi malam yang panjang jika kedua pihak hanya terus menembak satu sama lain. Tetapi kupu-kupu api yang datang kepadaku sepertinya punya ide lain.
Ia tiba-tiba terbang menuju suatu tempat. Firasatku mengatakan dia ingin menuntunku pada area yang mungkin akan membantu kami. Jadi aku mengajak 50 orang Milisi Api mengikuti si kupu-kupu api.
Si kupu-kupu terbang mengitari hutan, tapi jauh dari pantauan para pasukan Samudra. Aku mulai berpikir ada satu lokasi atau hal yang mungkin menguntungkan pasukan kami. Dan dugaanku ternyata benar.
"I-ini..."
Ia mengantar kami ke satu posisi yang tak pernah aku kunjungi sebelumnya. Tempat ini seakan tersembunyi dari mata telanjang manusia. Di sana sebuah patung dewi kupu-kupu tengah berdiri dengan kian anggunnya. Dan di depannya terdapat belati kecil dengan ukiran kupu-kupu pada tiap sisi bilahnya.
Aku mencoba mengambilnya, guna melihatnya dengan lebih jelas. Dan seketika kuraih, belati itu seakan merayuku untuk mengangkatnya tinggi, mengarahkannya pada Angkasa. Lalu tanpa sungkan-sungkan aku pun langsung melakukannya.
Mataku... lekas terbuka selebar-lebarnya.
Terpampanglah ribuan kupu-kupu bertengger pada setiap tanaman yang tersisa. Mereka kemudian memancarkan sinar oranye dari sayap mereka dan menerangi hutan yang gelap gulita. Dan karenanya, aku bisa melihat seisi pasukan Samudra terbuka lebar dari tempatku berpijak.
"Whoa, seakan mereka tersaji mentah-mentah untukku!"
Dari sana langsung kuperintahkan pasukanku untuk menembak dan meruntuhkan formasi pasukan Samudra. Tentu saja mereka tak siap menghadapi sergapan dari sisi yang tak terduga, alhasil barisan pasukan Samudra pun mulai porak poranda. Aku memakai kesempatan ini untuk menghabisi mereka pada jarak yang lebih menyenangkan.
Maka dari itu aku memerintahkan warga, Waraney, pokoknya seluruh pasukanku untuk menyerbu pasukan Samudra yang sedang kocar-kacir.
Dengan cepat kami pun menggusur mereka dari hutan Aghnii, walau banyak dari pihak kami, kecuali Waraney tentunya, yang gugur dan luka berat karena kecerobohanku. Ya mau bagaimana? Aku tak punya hati yang sanggup untuk menyayangkan kematian mereka yang berperang. Bahkan ketika menghadiri pemakaman orang-orang itu, dan melihat rambut merah keluarga mereka lepek tertempel genangan air mata pada wajah mereka yang basah kuyup, tak sedikit pun tubuh ini rasanya tergerak atau merasa bersalah.
Aku tak tahu apakah kecacatan ini sesuatu yang baik atau sesuatu yang buruk. Namun saat itu di mataku, kemenangan adalah kemenangan, selama objektif kami tercapai, dan tak satupun Waraney yang tumbang. Mungkin ketika pada akhirnya hatiku bisa sempurna, aku akan bisa merasakan beban tanggung jawabku atas nyawa mereka.
Dengan demikian kami berhasil mengusir ikan-ikan amis itu dari hutan kami. Beberapa hari silang, ayah pun meminta Pohon Kehidupan untuk memperbaiki hutan Aghnii, hanya beliaulah yang mampu memperbaiki kerusakan sebesar itu. Dengan ini para kupu-kupu api mendapatkan kembali kuasa atas rumah mereka. Aku harap ini terakhir kalinya Pelukis Samudra bisa mendorong kami sejauh ini.
*
Aku berniat menaruh kembali belati kupu-kupu tadi pada tempatnya berasal, tapi para kupu-kupu api memintaku untuk menyimpannya. Mereka membuat kontrak denganku, menjadikanku raja mereka dan memberikanku ilmu api yang tak bisa kupelajari dari manusia manapun. Semenjak saat itu, aku bisa membentuk kupu-kupu apiku sendiri, dan yang paling penting, membentuk sihir spiritualku dengan seni api dalam bentuk mahkluk-mahkluk alam.
Para Ina Waraney juga menemukan makna baru pada hari itu.