14 tahun kemudian....
*
"Lihat dia, menakjubkan bukan?"
"Kau memanggilku hanya untuk ini?!"
"Tentu, Aku ingin kalian mengawasinya."
"Tunggu, apa?!"
"Kau ini bukan makhluk hidup, masa mendengar saja tidak benar."
"Hei! Dia ini masalahmu! Bukan kami!"
"Huft… sekarang aku mengerti mengapa manusia begitu mulia ketimbang kalian."
"Hah?"
"Bagian dari sarangmu ada di dalam tubuh anak itu, dan kamu masih berpikir kalian tidak ada sangkut pautnya dengan dirinya?"
". . ."
"Bagus, biar aku jelaskan tugas kalian, tidak kan memakan waktu lama, aku juga tak ingin merusak keseimbangan kobaran api mengerikan itu."
***
Atas jasa para malaikat, si bayi kini mampu menikmati masa mudanya.
Tentunya sebagai keturunan dari keluarga utama, Amartya tumbuh dengan kemampuan jauh melebihi anak seumurannya. Di saat dirinya tengah memasuki masa remaja, dia telah mahir dalam berbagai macam ilmu persenjataan api, dan layaknya seorang prajurit api seutuhnya, karya-karya perangnya ia buat dan rawat sendiri. Akan tetapi di antara semua prestasi yang diraihnya, tentu ada satu hal yang penting melebihi segalanya, yaitu kemahirannya dalam Seni Api.
Seperti rakyat Api pada umumnya, ia memiliki warna kulit angankan tembaga dan rambut semerah anggunnya mawar yang mekar.
Hanya saja, di saat seluruh warga suku Api memiliki iris mata kuning oranye, mata Amartya dilukiskan dengan kemerahan yang merekah, berdetak-detak menggambarkan pemburu yang lapar. Tubuhnya juga tidak setinggi dan seberat anak seumurannya, menjadikannya cukup lincah dan cepat ketimbang anak laki-laki lainnya.
*
Setiap suku memiliki makhluk spiritual yang menjaga kesetimbangan elemen penggunanya, dan untuk suku Api, mereka memanggilnya si Jago Merah, roh perkasa berwujudkan seekor singa api dengan rambut lebat yang meluap-luap megah ke udara.
Bayi kecil kita kini telah genap 14 tahun, dan kali ini ia tengah sibuk mengemasi perlengkapan pada kamar tidurnya di lantai atas Istana.
"Amartya, sudah siap belum? Hari ini perburuan ke-4 kita untuk si Jago Merah!"
Di saat yang sama, terdengarlah suara seorang pria memanggilnya dengan lantang dari lantai bawah.
Sadar akan panggilan itu, Amartya pun membawa tas besarnya berlari keluar kamar, dan lekas menuruni tiap bongkah anak tangga untuk memenuhi apa yang dimintakan kepadanya.
Sesampainya di bawah ia disambut oleh sesosok pria tinggi berpakaian hitam merah. Pada lengannya menggantung lempengan emas yang berukirkan berbagai jenis permata, menggambarkan dengan jelas kepentingan statusnya di suku Api.
Rambutnya merah, matanya jingga benderang dan kulitnya matang agak kecoklatan. Wajah cerahnya dipenuhi oleh senyuman, memancarkan kehangatan yang menampakkan jelas watak ramahnya.
"Mari, kita berangkat." Ajak pria itu.
"Berdua aja?" Tanya Amartya heran.
"Kenapa? Kamu mau ajak ibu?"
"Eh..." Amartya terdiam, sebuah kenangan buruk mendadak menghampiri benaknya.
"Ahahaha." Tawa kecil berbisik dari mulut pria itu, ia paham akan kekhawatiran bocah di depannya.
Hari ini Amartya diajak ayahnya untuk berburu. Hasil dari buruan khusus rakyat Api akan menaikkan derajat mereka di mata si Jago Merah, semakin tinggi derajat mereka, semakin besar tingkatan kekuatan yang mampu mereka lepaskan seutuhnya.
Sang ayah, Hakan, membawanya ke hutan api, tempat yang dipenuhi dengan pepohonan berbatang pucat, dedaunan yang merah benderang, serta tanah yang kian kelabu. Ia juga tak lupa memberikan putra tunggalnya beberapa jenis umpan yang akan menarik perhatian binatang.
"Perburuan kali ini, kamu pilih hewan apa?" Tanya Hakan di tengah perjalanan mereka, di bawah bayangan pepohonan yang menaungi mereka dari teriknya mentari.
"Hmm... hewan tingkat 4 yang enak diburu... rusa betina?" Jawaban Amartya terdengar ragu, sementara jemarinya masih tertempel di dagunya setelah berpikir singkat.
"Kalau begitu mungkin apel lezat ini bisa jadi pintu keberhasilan kita."
Setiap makhluk yang tinggal di wilayah suku Api memiliki elemen api di tubuh mereka, hal ini menjadikan tiap-tiapnya cukup kebal akan segala jenis api dan serangannya. Oleh karena itu Amartya tak akan bisa menggunakan seni api untuk memangsa buruannya, dan dipaksa bergantung pada ketajaman senjatanya.
Rusa di daerah suku api adalah hewan yang damai, tetapi mereka akan lari jika merasakan kehadiran manusia, atau setidaknya hal ini berlaku bagi rusa betina.
Ah, mungkin perlu kalian tahu, tak ada satupun hewan api yang mudah untuk dikejar. Elemen api membuat mereka pelari yang handal, terlebih dalam kasus rusa sendiri, mereka merupakan salah satu yang terbaik dalam hal ini.
Pemburu harus bisa menyembunyikan kehadirannya untuk bisa menikam mereka, sedikit saja kesalahan, dan kesempatan kedua hampir mustahil untuk didapatkan.
"Baiklah, lokasi ini cukup memuaskan."
Hakan meraba sebatang pohon tinggi. Rambut merahnya menari dibawa angin yang bersilir-silir, bersama senyuman hangat yang seakan tak pernah pudar dari wajahnya.
"Dari mana ayah tahu?"
Mendengar ayahnya, Amartya lekas menaruh tasnya, ia tak akan perlu menopangnya ke mana-mana di lokasi perburuan yang statis. Terlebih suaranya yang berisik akibat berbagai macam barang di dalamnya.
"Danau untuk minum, rerumputan yang lebat, pohon yang teduh, benar-benar tempat yang nyaman bukan~?"
"Hanya berdasarkan ini?"
Anak itu mencuatkan alisnya, siapapun bisa melihat ketidakpuasan di wajahnya.
"Wah wah... anak ayah ini serba ingin tahu ya."
"Ha...? Ayah punya masalah dengan itu!?"
Mata Amartya yang kian menyala dengan jelas menggambarkan ketidak handalannya menahan amarah.
"Tentu saja tidak."
Hakan tertawa kecil melihat tingkah putranya.
"Baiklah, kamu lihat pohon ini? Goresan ini adalah bekas tanduk dari rusa jantan, biasanya dia menggoreskan tanduknya untuk menandakan wilayahnya." Tangannya memampangkan pada Amartya hasil temuannya pada pohon di sampingnya.
"Bagaimana dengan bekas kuku di sana? Itu penanda wilayah juga?" Tunjuk anak itu pada wilayah yang tak terselimutkan rerumputan.
Senyum Hakan semakin melebar, ia mengangguk membenarkan Amartya.
"Tapi yang kita cari kan... rusa betina." Ucapnya bingung.
"Rusa itu hewan poligami, pasti ia punya beberapa betina di bawah perlindungannya."
Mendengarnya Amartya pun mengangguk paham. Menurutnya argumen itu cukup logis dan bisa diterima.
"Baiklah, biar ayah tunjukkan bagaimana caranya, lalu... kamu silahkan coba sendiri."
Hakan kemudian mengambil sebuah apel dari tasnya dan menaburinya dengan benih aroma yang telah dikembangkan rakyat Api bertahun-tahun lamanya, terkhusus untuk menarik buruan yang spesifik.
Ia menaruhnya di bawah sebuah pohon yang tinggi, lalu memanjat pohon itu dan meramukan dirinya di balik dedaunan.
*Tooottt...*
Pria itu menirukan suara rusa jantan, memanggil para betina untuk datang menghampirinya. Menirukan suara binatang adalah cara termudah untuk menarik perhatian mereka ke tempat yang kita inginkan, meski begitu untuk meniru mereka bukanlah sesuatu yang mudah untuk dilakukan. Terlebih pada rusa, lokasi, waktu dan keadaan juga menentukan suara apa yang pas untuk dikeluarkan demi memanggil mereka.
Tak lama hingga salah satu betina datang memenuhi seruannya.
Buruan pun mulai berjalan mendekati arah datangnya suara. Ia terlihat mencari-cari si pejantan, namun berakhir menemukan dirinya tergoda oleh hidangan lezat yang tersaji rapih di hadapannya.
Si betina mendekati apel tersebut, mengendus-endusnya, dan mulai menjilatinya. Perlahan-lahan giginya pun tampak, dan ia mulai memakannya. Sayang buah merah itu kini menjadi santapan terakhirnya.
"Dengan nama Tuhan pencipta semesta alam."
Hakan menjatuhkan badannya, menapakkan kedua kakinya pada bagian bawah dahan pohon. Dengan tolakan yang kuat ia melesat, menikam leher sang rusa, dan dengan cepat menyemblihnya. Pria itu menggunakan sebuah pisau yang khusus ia desain untuk menembus kulit tebal dari seekor rusa. Tentu saja Amartya juga memilikinya, namun desainnya sedikit berbeda dengan Hakan.
Amartya memperhatikan tiap gerak-gerik Hakan dengan saksama, dan berusaha memahaminya sebaik mungkin. Ia tampak puas, dan ingin segera mempraktikan pemahamannya.
Anak itu pun langsung berlari menuju ayahnya.
"Baiklah, giliranku?" Sebuah cincin di tangan kiri Amartya seketika berubah menjadi sebilah pisau. Amartya mengeluarkan sebatang pengasah dari tas kecil di pinggangnya, dan sekilas mengasah pisaunya.
"Jangan terlalu bersemangat, terkadang rusa bisa jadi sangat sensitif." Hakan lalu membawa Amartya ke pohon lainnya.
Seperti sebelumnya, Amartya pun meletakkan apel di bawah pohon, sementara Hakan mencoba merapihkan buruannya agar tak menambah curiga rusa lain yang akan datang. Anak itu kemudian menaiki pohonnya dan mencoba membunyikan suara rusa.
*Teaeout...*
Tapi suaranya sangat jauh dari apa yang bisa disebut mirip.
"Kamu sedang apa?" Hakan kebingungan.
Dengan polos Amartya pun menjawab, "Memanggil mereka?"
Tawa seakan meledak dari mulut Hakan, ia spontan menutup mulutnya karena takut hewan-hewan akan berlarian.
"Ada yang lucu dengan suaraku?" Ia terdengar jengkel.
"T-Tidak ada," Hakan masih berusaha menahan tawanya, namun gagal melakukannya. "Hanya saja ayah pernah mendengar seekor rusa diare bersuara lebih merdu dari itu."
Naik pitam lah Amartya, pipinya menggembung dengan warna merah bertaburan di atasnya.
"Tenang saja, semuanya akan terbayar dengan banyak latihan." Tepuk Hakan.
Memang benar, pada dasarnya suara rusa akan ditirukan menggunakan alat atau trompet yang menirukan bentuk tenggorokan mereka. Kemampuan Hakan untuk meniru mereka dengan mudahnya bisa dianggap luar biasa.
"Untuk sekarang, biar ayah dulu yang memanggil mereka untukmu."
*Tooottt...*
Hakan menirukan suara rusa jantan, lantang dan jelas. Suaranya memikat para betina yang mendengarnya. Butuh waktu, tapi akhirnya seekor rusa betina pun muncul dan mendatangi arah datangnya suara. Amartya kini mulai menghentikan semua gerakannya dan menaruh fokus pada si rusa.
Seperti sebelumnya, si rusa berjalan mendekati apel yang ditaruhnya, sementara Amartya mengangkat pisaunya dan bersiap untuk menikam buruannya.
Rusa itu kini tepat berada di bawahnya. Amartya mengarahkan dirinya kepada si rusa dan berusaha untuk memasang kuda-kuda yang tepat.
'Posisi ini... apa aku salah perhitungan?' Ucap Amartya dalam hati.
Sayangnya pohon yang ia naiki cukup licin, menggelincirkan kakinya dan jatuh ke bawah pohon.
Rusa yang kaget, saat itu juga langsung berlari pergi, menjauh dari pemburunya. Sementara Hakan masih berusaha semaksimal mungkin menahan tawanya.
"Tak apa, semua orang pasti pernah gagal." Hakan menyemangati anaknya.
"Ingin mencoba sekali lagi?"
"Aku harap itu bukan sebuah pertanyaan."
Aku bisa mendengar nada jengkel dari tiap untai katanya.
"Ahahaha, tentu saja." Meski lucu baginya, Hakan cukup bangga dengan tekad kecil putra tunggalnya.
Mereka pun melanjutkan pergi mencari pohon strategis lainnya. Seperti sebelumnya, Amartya menaruh umpannya dan menaiki pohon yang ia pilih. Mereka masih berusaha menyelesaikan teknik yang sama. Namun kali ini Amartya meninggalkan tiga buah tanda pada tanah.
Hakan kemudian mengeluarkan suara rusa seperti sebelumnya.
Setelah menunggu cukup lama, tak satu pun rusa yang datang, Hakan pun mencoba kembali menyerukan panggilannya, namun kali ini lebih lantang dan merdu. Mungkin kerumunan rusa berada di jarak yang lebih jauh dari perkiraannya.
Setelah cukup lama, akhirnya seekor rusa betina lainnya datang menghampiri pohon itu. Aku tahu, menakjubkan bukan bagaimana bisa trik yang sama tetap membuahkan hasil? Apa-apaan peniruan suara orang itu.
"Fokus Amartya, kali ini jangan biarkan sedikitpun celah pada buruanmu."
Gumam anak itu.
Kali ini Amartya memasang konsentrasi penuh dan memperhatikan dengan benar tempat ia bertapak. Rusa betina itu pun mulai berjalan mendekati apel mengikuti pola selayaknya sebelumnya.
Akan tetapi saat itu juga seekor rusa jantan muncul dan berjalan ke arah sana. Ia mungkin mengira terdapat pejantan lain yang memasuki wilayahnya, dan sayangnya, fokus yang dalam membuat Amartya tidak sadar akan kehadiran hewan buas itu.
Amartya memperhatikan tiap langkah si betina, memegang pisaunya dengan erat, dan bersiap untuk menikamnya. Hingga si betina pun akhirnya menginjak salah satu dari tanda yang ditinggalkan dirinya.
"Dengan nama Tuhan pencipta semesta alam."
Amartya melesat bagai peluru dan menikam si rusa dengan sempurna, gerakan tangannya gesit dan rapih, darahpun mulai mengalir dari leher hewan itu.
"Akhirnya!"
Amartya menyentakkan pisaunya dari hewan buruannya.
Ia tak sadar akan bahaya di dekatnya.
"Amartya! Lihat belakang Amartya!" Teriakan khawatir Hakan menggema ke seluruh hutan.
Anak itu pun menoleh ke belakang, menemukan seekor rusa jantan yang tiga kali lebih besar darinya, tengah mengangkat kaki di udara. Dan dengan hentakan yang begitu dasyat si rusa jantan menendang ke arah Amartya.
"Tch! Salawaku! (perisai)"
Secara reflek Amartya mengayunkan kedepan tangan kanannya, salah satu cincin di tangannya pun berubah menjadi perisai merah besar setinggi orang dewasa. Akan tetapi tendangan si rusa begitu membahana, memecahkan pelindung itu dan mementalkan Amartya ke udara.
*Nguuoook.... HUOOOOOKKK!*
Si pejantan tangguh merana ketika melihat betinanya terbaring di tanah, berlumurkan darah merah. Nafasnya menghebuskan kekesalan, namun penuh dengan duka. Ia mendekati jasad itu, dan mulai mengelus-elus betinanya.
Sayang waktu berkabungnya tak berjalan lama, naluri memaksanya untuk kembali berdiri. Namun ketika ia hendak menoleh ke arah Amartya, bocah api itu sudah melayang di hadapannya dengan santi (pedang) yang lapar, sudah siap terayun buas.
*Sing* Terciptalah satu sayatan yang begitu kuat, dan tubuh si rusa pun memuncratkan cairan kental yang luar biasa panas, angankan tanah yang terciprat olehnya seketika menguap begitu saja.
Amartya kemudian serentak melompat mundur dan memasang kuda-kudanya.
Rusa jantan itu meronta-ronta, merintihkan rasa sakitnya, kini terpampang amarah yang begitu jelas di matanya yang bergejolak. Api terhembus dari nafasnya, membakar habis udara di sekitarnya.
Keduanya saling menatap dan si rusa menundukkan kepalanya, tatapnya tegap dan tajam, kakinya mengorek-ngorek tanah, bersiap menyeruduk bocah api di hadapannya.
Hewan buas itu pun berlari layaknya angin, tak berkata namun siapapun bisa mendengar letupan kebenciannya. Tanduknya menyala-nyala siap menghantam apapun yang berada di hadapannya.
"Datanglah makhluk buas, hari ini kau akan jadi buruanku..."
Amartya berdiri tegap, tangannya sejajar dengan kepala, dan santinya mencondong ke depan.
Rusa itu pun datang, begitu dekat dengan tempatnya berdiri.
Dengan rapih anak itu berputar ke kanan, kakinya terseret setengah lingkaran ke belakang, meninggalkan jejak api yang membakar tempatnya berpijak. Ia menghindar, dan bagai kilatan petir mengayunkan santi ke leher buruannya.
"Dengan nama Tuhan pencipta semesta alam."
Sayatannya kian dalam, hampir saja kepala si jantan terpisah dari badannya. Tubuh itu pun tumbang, tergeletak di tanah yang hangat. Hakan hanya bisa terkagum dan perlahan berjalan mendekati putranya, ia seperti ingin bertepuk tangan, tapi tidak melakukannya demi menghormati rusa yang tergeletak di depannya.
"Ayah rasa memburu rusa jantan lebih mudah bagimu, semenjak mereka tak lari dari manusia." Meski apa yang ia ucapkan, Hakan terlihat sangat khawatir.
"Tidak juga, memburu rusa betina tidak mengancam nyawaku." Amartya memandangi dua tubuh yang tersayat oleh santinya.
"Ya... jika saja tak ada kutukan itu mungkin ini hari terakhir untuk kita saling berjumpa."
"Maksud ayah?" Anak itu menoleh padanya, penuh kebingungan.
"Tak ada." Hakan tersenyum canggung, matanya tertutup rapat.
"Rapihkan kedua buruanmu, kita memerlukannya untuk pamer prestasi pada si Jago Merah."
Hakan kemudian mengambil semua barang mereka dan bersiap untuk membawa Amartya kembali ke Istana. Namun amat disayangkan, kisah pertama kita nampaknya belum berakhir. Apa? Udah kepanjangan? Astaga suka-suka aku dong, kan aku yang cerita.
Suara teriakan Hakan tadi menarik perhatian para bandit suku Tanah yang sedang berkeliaran di sekitar sana. Suara kaki dan bisikan mereka kini dapat terdengar oleh pria Api itu.
"Ini akan jadi hari yang panjang, hah...?"