Karena aku ingin yang terbaik untuk sahabatku. Apa pun itu, akan kuberikan yang terbaik untuknya. Bahkan yang paling terbaik
~~~
"Oh, jadi ini karena Nana?"
"Mm ... Ya ada deh," ucap Kiki sembari tertawa.
"Ih, apaan sih lo, gaje!" kesal Deni yang ditanggapi Kiki dengan gelak tawa. Deni yang kesal pun langsung membuang wajahnya ke arah Vino yang sedang serius dengan ponselnya.
"Eh No, gue ikutan dong," melas Deni dengan mata memohon.
"Ayuk," jawab Vino yang masih tetap berkutat pada ponselnya.
"Lah gue?" tanya Kiki sembari menunjuk dirinya.
"Lo? Lo sana main sama cewek-cewek," usir Deni sembari menaik turunkan kedua alisnya. Setelah itu, ia pun membuka aplikasi game online.
"Yaelah Ni, lo jahat banget." Kiki yang mendengarnya langsung duduk di lantai dan menengadahkan tangan layaknya orang berdoa.
"Ya Allah ... Apa salah hamba-Mu yang ganteng ini. Sampai-sampai dia dibully, Ya Allah. Semoga mereka diberikan kerendahan hati untuk mengajak sahabatnya bermain," ucap Kiki lirih dengan posisi yang masih sama.
"Hilih ... Gak usah lebay!" sahut Nana dari tempat duduknya yang berjarak lumayan jauh dari tempat Kiki berdoa.
"Sst ... Diam Na, aku lagi khusyuk nih. Biar terkabul," sahut Kiki yang menolehkan wajahnya ke arah Nana.
"Aamiin ...," ucap Nana sembari mengusap wajahnya.
"Makasih, Na." Kiki kembali ke posisi duduknya dan kembali menengadah.
Vino yang tak rela pun akhirnya buka suara. "Ya sudah, kalo gitu ayuk buruan gabung sama kita. Gue sudah stay nih, tinggal lo doang."
Setelah mendengar hal itu, Kiki dengan cepat langsung berdiri dan menghadap ke Vino.
"Oke-oke."
Ketika Kiki hendak merogoh ponselnya ....
"Selamat pagi, anak-anak," sapa Bu Feni sembari memasuki kelas dengan tangan kiri yang membawa banyak buku sejarah yang tebal-tebal.
"Ya elah, barusan juga doa gue dikabulin, sudah main masuk-masuk aja," kesal Kiki dengan air muka bete.
"Iya tuh, gue aja belum sempet menikmati," tambah Deni yang memasukkan ponselnya ke dalam saku. Menatap Kiki kesal.
"Kiki! Deni! Kalian ngapain gerombol di sana?" bentak Bu Feni setelah melihat ke arah para siswanya.
"Ini Bu, anu ...," ucap Deni mencari alibi. Ia tampak melirik ke segala arah untuk mencari alibi yang tepat.
"Anu apa?!" Bu Feni kembali berkacak pinggang.
"Anu, Deni barusan mau duduk. Soalnya tadi Deni ... Barusan ngambil sesuatu di mejanya Kiki," ucap Deni sembari mengedipkan matanya sebelah kanan memberikan kode ke arah Kiki. Sontak, aksi tersebut membuat kaum hawa keGR-an.
"OH MY GOD! DEMI APA! GUE DIKEDIPIN SAMA SI DENI. AA ...."
"WAH, NGAJAK JADIAN SAMA GUE NIH."
"YUHU ... COGAN MENANTI GUE."
Namun, tidak dengan Kiki. Ia pun langsung melototkan matanya kesal. Bahkan sangat lebar hingga matanya saja ingin keluar.
"Sst ... Yang lain diam!" perintah Bu Feni menenangkan kelas yang sangat ricuh itu. Yang dimana, kericuhan lebih didominasi oleh kaum hawa.
"Oke, apa benar Kiki?" Kiki yang mendengarnya langsung mengalihkan pandangannya ke arah Bu Feni. Setelah mencaci maki Deni.
"I ... Iya Bu," jawab Kiki ragu dengan rasa gugup yang menjalar di seluruh tubuh.
"Oke, kalau gitu kamu boleh duduk."
"Makasih ya Bu." Deni mengatupkan tangannya layaknya orang meminta maaf.
"Iya." Deni berjalan menuju bangkunya dan bergegas duduk. "Oke anak-anak, kita mulai pelajaran pagi ini." Bu Feni pun beralih ke papan tulis kelas.
~~~
Kring ....
"Lo apa-apaan sih nglibatin gue tadi," sungut Kiki berapi-rapi ketika mereka telah keluar dari kelas. Ia pun melotototkan matanya ke arah Deni. Menatap tajam sang sahabat. Deni yang dipelototi langsung memegang kedua telinganya. Meminta maaf.
"Ya sorry Ki, habis gue kan di tempat lo. Jadi ya gue menyangkut pautkan elo," jelasnya dengan tangan masih di kedua telinganya.
"Hufft ... Untung aja tadi Bu Feni gak marahin gue. Kalo gue sampe dimarahin siap-siap lo harus nraktir gue selama sebulan." Kiki menunjuk wajah Deni sembari memberikan tatapan ingin membunuh
"Ya elah, lo jahat banget. Sahabatnya lagi dalam masalah, malah disuruh nraktir." Deni menurunkan kedua tangannya dan mengganti air mukanya menjadi tatapan memelas.
"Ya habis lo sih bawa-bawa nama gue."
"Udah-udah, gak usah ribut," lerai Nana sembari merentangkan kedua tangannya di antara Kiki dan Deni.
"Habis dia sih bawa nama gue." Emosi Kiki kembali membara.
"Setidaknya lo ngerti dong kondisi gue." Kali ini Deni membalasnya dengan nada kesal.
"Bisa diam gak kalian?!" bentak Nana berusaha menenangkan kedua kubu. Nana mengalihkan pandangannya ke arah Kiki.
"Kamu Ki, diam dong. Gak usah ribut-ribut gini!" bentak Nana berusaha meredan emosi sahabat terbaiknya. Kiki yang dibentak langsung menolehkan wajahnya ke arah Nana.
"Tapi—"
"Udah! Gak usah tapi-tapian. Sekarang cepet kalian baikan." Nana megalihkan pandangannya ke arah depan dengan raut muka yang menahan emosi.
"Mm ...." Kiki tampak berpikir sejenak.
"Sudah cepetan!" Nana kembali membentak dengan nada memperintah. Tak ingin membuang-buang waktu.
"Oke-oke. Ki, maafin gue ya." Deni mengulurkan tangannya ke arah Kiki.
"Iya gue maafin, gue juga minta maaf ya." Kiki menerima uluran tangan Deni.
"Iya." Deni tersenyum yang dibalas oleh senyuman Kiki.
"Nah, gitu dong akur. Kalo gini kan baru sahabatku." Nana merangkul Kiki dan Deni.
"Sahabat yang paling ganteng kan Na?" tanya Kiki sembari menaik turunkan alisnya. Sontak, Nana melepas rangkulannya.
"Idih ... Mulai lagi." Nana menoyor kepala Kiki pelan.
"Hehe ...." Tawa Kiki.
"Btw, lo tadi ngedipin mata ke siapa Ni?" tanya Nana kepo yang teringat akan kedipan mata maut dari Deni yang membuat kelas menjadi sangat bising.
"Hah?" Deni mengerutkan keningnya tampak bingung. Ia mengetuk-ngetukkan jari telunjuk kanannya di dagu.
"Itu loh, yang pas kamu jawab pertanyaan Bu Feni," tambah Nana memperjelas ucapannya.
"Oh, yang itu. Gue itu ngasih kode ke Kiki biar dia setuju. Dasar lo gak peka emang," umpat Deni.
"Hm ... Iyain deh. Habis cewek-cewek sekelas langsung heboh sendiri. Gue kan jadi bingung," ucap Nana dengan polosnya.
"Emang tuh cewek-cewek pada keGR-an banget," bisik Deni dengan tangan kanan yang ia gunakan untuk menutupinya.
"Ngapa lo bisik-bisik?" tanya Kiki yang juga ikut berbisik. Ia pun menirukan gaya Deni.
"Ya elah, lo juga sama. Dasar kalian tuh kepekaannya minus." Deni kembali mengumpat.
"Oh ... Iya-iya gue tau," ucap Kiki setalah terdiam cukup lama untuk berpikir.
"Sst ... Ki. Emang ada apa sih?" tanya Nana yang menyenggol lengan Kiki.
"Itu, biar Deni gak kehilangan fansnya. Soalnya dia kan tadi habis ngata-ngatain fansnya."
"Oh, gitu. Gue paham sekarang." Nana mengangguk-anggukan kepalanya.
"Woi, ini pada mau ke kantin atau pada mau bisik-bisik tetangga sih?" protes Vino yang sudah mulai muak akan kelakuan mereka bertiga. Ia sendiri sedang berdiri di depan ketiganya.
"Hehe ... Yuk ke kantin," ajak Kiki dengan tangan melambai ke atas.
"Telat," jawab Vino dengan nada judesnya.
"Kan lebih baik telat daripada tidak sama sekali. Iya kan, Na?" Nana mengangguk-anggukan kepala petanda setuju.
"Iya tul yang dikatain Kiki," tambah Nana.
"Kalian tuh ya, jadi orang kompak banget," kesal Vino dengan kedua tangan yang dimasukkan ke dalam sakunya.
"Pasti dong," jawab mereka serempak sembari hi five.
"Cie ...," sindir Fafa yang berada tidak jauh dari sana.
"Emang ya kalian sahabat sejati," tambah Deni dengan tangan yang bersedekap dan seulas senyum.
"Udah yuk, buruan ke kantin." Vino melenggang pergi menuju kantin dengan wajah dinginnya.
"Eh, tunggu dong No," kejar Kiki dan yang lainnya.
"SI DINGIN KOK TUMBEN JALAN SENDIRIAN."
"LOH, PANGERAN KIKIKU KOK GAK IKUT."
"NAH ITU DIA, KUKIRA GAK IKUT."
"KIKI! A ... MY BEBEP EMESHKU ...."
"No, jangan marah dong," melas Kiki sembari mengejar Vino yang sudah jauh di depan. Kiki berusaha menyejajarkan langkahnya dengan langkah Deni.
"Iya, maafin kita," tambah Nana yang ikut berlari mengejar Vino. Vino yang mendengarnya pun berhenti melangkah dan menghadap ke belakang dengan wajah dinginnya.
"Hm, gue maafin. Tapi kalian harus nraktir gue bakso," jawabnya dengan nada enteng.
"Oke, Deni selalu siap," jawab Kiki sembari menunjuk ke arah Deni dengan kedua tangannya. Deni yang ditunjuk pun tanpa sadar menganggukkan kepalanya dengan senyum yang terulas.
"Eh, kok gue." Deni menunjuk dirinya setelah tersadar akan kalimat Kiki.
"Ya elolah, kan tadi lo biang keroknya."
"Tapi—"
"Sudahlah, ikhlasin aja uang lo," ucap Kiki sembari merangkul Deni. Deni yang dirangkul pun langsung menolaknya.
"Ih, jijik lo. Oke-oke gue mau."
"Ikhlas gak nih?" tanya Nana yang melihat air muka ketidak ikhlasan Deni.
"Ikhlas, Na, kalo gitu gue pesen makanan dulu ya."
"Oke, gue nitip ya Ni."
"Hm ... Iya deh, lo pesen apa?"
"Kayak biasanya aja."
"Siap." Deni berjalan menuju counter makanan dan mulai memesan. Sedangkan yang lain, menunggu.
"Kiki, minta nomor HP dong," ucap seorang perempuan yang langsung duduk di sebelah Kiki tanpa izin. Sontak, Nana yang duduk di sisi satunya pun tersulut emosi.
"Eh, lo tuh ya jadi orang tuh bisa sopan dikit gak sih?!" bentak Nana sembari berdiri dari kursinya.
"Lo itu sapa? Emosi aja. Kan lo bukan pacarnya Kiki, kenapa lo marah?!" sungut cewek itu dengan beraninya.
"Ih ... Apa—"
"Nih HP lo," ucap Kiki sembari memberikan HP fansnya.
"Ma—"
"Udah sana lo pergi!" usir Kiki dengan tangan yang ia ayunkan di udara. Perempuan tersebut pun berdiri sembari mendengus kesal.
"Eh Ki, lo kok usir fans lo sih," ucap Vino heran setelah melihat perdebatan sengit itu.
"Ya habis Nana gak suka sama dia. Apalagi dia gak sopan banget kayak yang dikatain Nana. Habis itu dia berani-beraninya marahin Nana. Kan gue gak terima."
"Na, sudahlah ... Kamu gak usah emosi. Aku akan selalu mendukungmu. Kalo kamu gak menyukai seseorang otomatis aku juga nggak." Kiki menarik Nana agar duduk kembali. Nana menurut dan kembali duduk di bangkunya.
"Makasih Ki," ucap Nana sembari tersenyum.
"Uhuk," sindir Fafa yang duduk di seberang Nana.
"Napa Fa? Lo haus? Sabar ya, Deni bentar lagi datang," ucap Nana menenangkan.
"Nggak kok, gue baik-baik aja. Lo gak usah khawatir."
"Makanan datang," ucap Deni sembari membawa pesanan.
"Hore ... Ayo kita makan," jawab mereka serempak. Mereka pun makan bersama sembari bercanda ria.
"Btw, kok kamu mau sih bagi nomormu ke fansmu tadi," ucap Nana sembari memotong baksonya.
"Apa? Bagi nomorku? Ya gak bakalanlah.. Enak aja nomorku dibagiin sama orang yang gak kukenal. Kan nomorku privasi," ucap Kiki sembari memelankan suaranya. Lantas, ia menyuapkan bakso ke dalam mulutnya.
"Terus? Tadi kamu ngasih nomornya siapa?" tanya Nana setelah mengunyah baksonya.
"Entahlah, aku ngasal nomor. Ya ... Kalo dia beruntung mungkin akan dapat nomor bapak-bapak atau ibu-ibu. Hahaha ...."
"Oh gitu, hahaha ...."
"Btw, kok bakso gue hilang dua ya?" heran Nana setelah melihat isi mangkuknya. Sedangkan Kiki hanya tersenyum sembari mengunyah.
"Oh ... Ini kerjaan kamu kan Ki?" tuduh Nana sembari menodongkan garpunya ke arah Kiki.
"Eh, gak boleh suudzon jadi orang."
"Gimana gak suudzon coba. Kamu aja baksonya masih tetap sama. Trus kok kamu bisa nguyah bakso tapi gak kurang?"
"Mm ... Anu ...." Kiki menggaruk-garuk tengkuknya sembari tersenyum jail.
"Tuh kan bener, dasar Kiki!" ucap Nana sembari menyubit lengan Kiki.
"Aw ... Sakit, maafin akulah. Iya, aku makan baksomu. Kamu sih jadi orang teliti banget." keluh Kiki sembari mengusap-ngusap lengannya.
"Siapa dulu dong? Nana ... Hahaha ...," ucap Nana menyombongkan dirinya.
"Iyain deh biar seneng." Nana mengalihkan pandangannya menuju arah lain.
Tak lama, Nana terdiam. Dikarenakan tanpa sengaja ia melihat seorang cowok yang menurutnya ganteng sedang duduk di kursi kantin tak jauh dari kursinya. Hal itu membuatnya tertarik dan langsung berhenti makan. Ia dengan seriusnya memperhatikannya terus menerus.
"Na, halo," panggil Kiki yang berada di sampingnya. Karna tidak direspon sang empu nama, ia pun mengikuti arah pandang sahabatnya.
"Oh si Brandon, kamu seneng sama dia?" tanya Kiki yang berbisik di telinga Nana dengan suara yang agak di keraskan. Hal itu membuat Nana tersadar dari lamunannya dengan wajah yang terkejut.
"Ih!! Gak usah teriak juga kalik! Kamu tuh ngeselin deh, kalo dia sampe tau gimana?" Nana memukul lengan Kiki yang dibalas oleh kekehan Kiki.
"Ya gak papalah, biar dia peka." Kiki berdiri dari kursinya. Dan ....
"Perha—" teriak Kiki yang langsung dibekap Nana. Nana langsung menyuruh Kiki untuk duduk dan Kiki pun mematuhinya.
"Eh Ki, lo mau ngomong apa?" tanya Deni kepo setelah kedua insan itu sudah duduk kembali di kursinya.
"Itu ... Aww ...," ucap Kiki yang terpotong karna Nana menginjak kakinya. Kiki melototkan matanya ke arah Nana.
"Gak papa, kepo lu sama masalah kita."
"Ya elah ... Pasti kalian kalo punya rahasia gak pernah bagi-bagi."
"Iya dong, makannya cari pacar sana."
"Berarti kalian pacaran?" tanya Vino yang tiba-tiba ikut nimbrug.
"Ya gaklah," jawab Nana cepat sembari menoyor kening Vino.
"Aw ... Sakit tau! Lo ngeselin banget sih, Na." Vino mengelus-elus keningnya.
"Makannya jangan sok tau." Nana kembali duduk di kursinya.
"Kan mungkin aja suatu hari nanti. Lagian soal jodoh gak ada yang tau."
"Iya, kan yang tau soal besok atau yang akan datang hanya Allah," tambah Fafa yang akhirnya membuka suaranya.
"Terserah deh." jawab Nana sembari memegang garpu dan sendoknya.
Kring ....
"Gilak!! Kok sudah masuk sih? Makanan gue kan belum habis," kesal Nana dengam air muka kesalnya.
"Sini aku bantuin," ucap Kiki dengan garpu yang hendak ia masukkan ke dalam mangkok Nana.
"Gak usah, lagian ini juga sudah mau habis. Kan kamu tadi udah makan baksoku."
"Iya-iya."
"Yuk kita masuk, nanti keburu Pak Dedi guru killer datang," ajak Nana setelah menghabiskan makanannya.
"Ayuk." Mereka berlima kompak berdiri dari bangku masing-masing dan berlari di lorong menuju kelas.
~~~