Hai. Namaku Shinta Maureen. Aku biasa dipanggil Reen (baca: rin). Aku adalah anak tunggal. Papa dan mamaku pebisnis tangguh yang terkenal sebagai duet maut di dunia retailer Surabaya. Namun, entah darah siapa yang mengalir di tubuhku, karena aku sama sekali tidak tertarik dengan dunia bisnis. Aku justru suka musik. Menyanyi dan menari adalah hobiku.
Sejak kecil, aku jarang berkomunikasi dengan orang tuaku, mereka sepertinya lebih menyukai pekerjaan mereka daripada sekedar duduk menemani anaknya nonton TV. Apalagi ketika aku mulai sekolah di TK, papa meminta keponakannya yang saat itu masih duduk di bangku SMA untuk mengasuhku. Praktis sejak saat itu, mereka seolah lupa kalau punya anak secantik aku.
Kak Yuni, keponakan papa yang sudah kuanggap bagai kakakku sendiri. Dia yang mengajariku menari dan menyanyi. Dia juga yang sering mengajakku mengikuti event atau lomba menari dan menyanyi di mana-mana.
"Reen. Kok belum mandi? Sudah jam tujuh, nih," katanya sambil menggoyang-goyang kakiku.
"Bentar lagi, ya, Kak. Aku ngantuk banget," kataku sambil menarik selimutku lagi.
"Haduuh. Ya, udah, sepuluh menit, oke?" jawabnya mengalah.
Aku mengangkat tangan menyatukan jempol dan telunjuk membentuk tanda "oke". Aku pun terlelap lagi.
*****
Kak Yuni melempar handuk kecil yang dengan sigap kutangkap. Aku pun melangkah menuju kursi kosong di sampingnya.
"Kak, habis ini mau ke mana?" tanyaku sambil meraih botol minumku.
"Kamu mau ke mana?" tanya kak Yuni balik.
"Pulang aja, ya. Capek," jawabku singkat.
"Oke. Ntar aku pijitin deh."
"Asyeeek."
Kak Yuni tertawa melihat binar di mataku ketika mendengar janjinya memijatku. Ya, aku memang sangat suka dipijat.
"Reen, yuk mulai lagi," ajak Reno yang juga kami dapuk menjadi ketua band.
Saat ini aku ada di studio yang kami sewa buat latihan band. Personil band kami tidak banyak. Ada Yuwa si cewek centil yang memainkan keybord. Anton, cowok slengekan yang memegang bass, dan Reno cowok berambut gondrong tapi kalem sebagai drummer.
Aku? Tentu saja aku vokalisnya.
Kak Yuni menemaniku hingga kami selesai latihan. Dia melempar botol-botol air mineral ke arah kami begitu usai. Mereka juga sangat akrab dengan kak Yuni.
"Kak. Udah punya pacar belom?" goda Anton sambil mendekati kak Yuni.
"Apa nanya-nanya? Usaha? Ogah aku ama bronis macam kamu," jawab kak Yuni sambil tertawa.
"Nah, nah, Kak Yuni aja bilang aku manis, loh," ujar Anton dengan sikap narsisnya.
"Ya kamu emang hitam manis, tapi banyakan hitamnya," seloroh Yuwa yang langsung dilempar handuk oleh Anton.
"Rese!"
"Udah, udah ... yuk pulang. Dah sore nih, ingat Sabtu besok kita kumpul di posko pukul 9.00 pagi, ya. Seleksi dimulai jam 12.00."
"Siap Kak!" kata mereka serempak.
🐢🐢🐢
Sebut saja kami adalah sekelompok band kecil yang beruntung. Kami bertemu ketika mengikuti ekstra kulikuler band di SMP dan berlanjut hingga kami sekarang sudah hampir lulus SMA, meski kami tidak satu SMA.
Kami sering mengunggah video-video kami saat main band di youtube dan blog pribadi. Karena banyak yang menyukai penampilan kami, akhirnya kami berani mengambil job manggung kecil-kecilan. Mulai pesta ulang tahun anak-anak, hingga tawaran menjadi band pembuka di acara pensi-pensi sekolah.
Seiring berjalannya waktu dan semakin banyaknya tawaran yang kami terima, maka kami memutuskan mengajak kak Yuni yang kami dapuk menjadi manager. Dia satu-satunya keluarga yang mendukung kegiatan dan pilihanku.
Terus terang, orang tuaku tidak memberi respon berarti saat mengetahui aku menyanyi dari satu panggung ke panggung. Mereka tidak melarang tapi juga tidak memberi dukungan. Mungkin bagi mereka, apapun yang aku lakukan tidak pernah memberi arti apapun. Apalagi kegiatanku sama sekali jauh dari dunia yang selama ini mereka geluti.
Namun, suatu ketika mereka pernah memberi komentar.
"Ngapain kamu ngamen kesana kemari? Mending belajar yang rajin, supaya kamu bisa menjadi dokter, atau sarjana ekonomi, atau apa, lah. Kerja di Bank atau instansi pemerintahan gitu, lebih bermutu daripada keluyuran siang malam kemana-mana."
Sakit hatiku mendengar komentar mereka. Aku akhirnya tahu, bahwa mereka sebenarnya tidak menyukai kegiatanku. Tapi, bagiku menyanyi adalah jiwa dan napasku. Bagaimana mungkin aku melepas nyawaku. Dengan menyanyi, aku bisa sejenak melupakan semua masalah yang datang padaku.
"Reen, lagi ngapain?" tanya Reno yang tiba-tiba duduk di sampingku. Mungkin dia melihatku sedang melamun tadi.
"Biasa, melamun," jawabku jujur. Memang selama ini hanya Reno, lelaki yang dekat denganku. Dia bagai kakak lelakiku, yang selalu siap melindungiku. Yaah, meskipun Anton juga selalu melindungi dan menyayangiku, tapi kurasa, Reno lebih perhatian daripada Anton.
"Jangan banyak melamun. Nanti kesambet baru tau rasa," selorohnya. Aku hanya tertawa pelan. Mungkin hanya dia yang tahu, kalau tawaku tak bernyawa.
"Nok," panggilku lirih.
"Heem," jawab Reno seraya memandangku dalam. Seolah dengan matanya dia ingin mengatakan, "Katakan, aku akan mendengarkanmu, aku akan mendukungmu."
"Kapan, ya, orang tuaku merestui pilihan hidupku?" kataku sendu. Setitik air mata lolos dari ujung mataku. Kudengar Reno menghela napas. Diraihnya tubuhku dalam peluknya. Harum mint dari tubuhnya justru membuatku semakin sesak. Kenapa bukan Papa yang memelukku seperti ini? Kenapa justru lelaki yang tak pernah mengalirkan darahnya di tubuhku yang menyayangiku. Pa, kenapa Pa?
Tanpa terasa aku pun terisak di dadanya.