Hari Sabtu. Hari kompetisi band indie yang diadakan oleh salah satu produser ternama dari ibukota. Kak Yuni masih terlihat sibuk menyiapkan aksesoris dan baju yang akan kupakai dalam acara kali ini. Sesekali terdengar senandung riang dari bibir mungilnya. Aku mengikuti setiap gerakan lincahnya yang bagiku terlihat lucu dan menggemaskan.
"Kak ... jangan suka Anton, ya? Please," godaku saat dia hampir selesai menyiapkan semuanya.
"Anton? Hahaha." Tawanya membahana ke seluruh ruang kamarku.
"Malah ketawa," gerutuku pelan.
"Kamu, sih, ada-ada aja. Anton itu cuma bercandaan tau," jawabnya sambil nyengir.
"Awas kalau beneran!" ancamku.
"Aku ga minat ama brondong. Lagian ... aku udah ada gebetan, kok," jawab Kak Yuni malu-malu.
"Sumpah! Siapa?" tanyaku antusias.
"Ntar aja. Sekarang kamu siap-siap, gih. Nanti telat." Kak Yuni menarik tanganku agar beranjak dari tempat tidurku dan mendorongku ke kamar mandi.
"Janji, ya? Nanti cerita ama aku!" teriakku dari dalam kamar mandi.
"Iyaa .... cepetan mandinya!" balasnya tak kalah keras.
*****
"Ma. Reen pergi dulu, ya." Kuraih tangan Mama dan menciumnya sekilas. Mama hanya bergumam dan melirikku sekilas. Mama memang tak sekeras Papa dalam berkata-kata, tapi sikap cueknya justru membuatku merasa bagai tak diinginkan. Apa aku memang membuat suatu dosa yang tak terampunkan buat mereka? Lantas di bagian mana aku harus memperbaiki kesalahanku?
"Reen, jangan lupa makan siang." Aku hanya mengangguk singkat mendengar perintah Mama. Mungkin bagi mereka, itu adalah bentuk perhatiannya, tapi bagiku itu hanya omong kosong pengisi ruang hampa diantara kami.
"Kamu kenapa, Reen?" tanya kak Yuni sambil merangkul pinggangku saat kami sudah tiba di tempat acara. Hanya dia. Hanya kak yuni yang bisa kurasakan keberadaannya di sekitarku.
Aku menggeleng pelan.
"Kaak Yuniiii ... I miss you!!" Anton berteriak sambil merentangkan tangan saat melihat aku datang bersama kak Yuni.
Kak Yuni melempar senyum ceria, baginya berada diantara anak-anak itu adalah kebahagiaan tersendiri. Bisa bercanda dan tertawa, menjadi diri sendiri tanpa harus menjaga gengsi.
"Kak. Inget janjimu padaku!" ancamku melihat kedekatan kak Yuni dan Anton.
"Janji apaan?" tanya Anton curiga.
"Udaah. Biarin aja, tuh, sini-sini." Kak Yuni menarik tangan Anton menjauh. Sialan! Mau apa sih mereka?
"Reen. Kenapa?" Reno mengikuti arah pandangku.
"Tuh, Kak Yuni, ngapain coba deket-deket ama Anton?" celotehku sebal.
"Please, deh, kondisikan hati dan bibir, kenapa?"
"Emang kenapa dengan bibirku?"
"Bikin orang pengen jepret tau, nggak?"
"Reno! Kamu ...."
"Reno! Dipanggil Gilang, tuh!" teriak seseorang dari belakang.
"Okay! Kutinggal dulu, Reen," katanya sambil berlalu meninggalkan aku yang kini sendirian.
"Kamu juga ngapain deket-deket ama Reno?" tanya seseorang sambil menepuk bahuku pelan. Yuwa tersenyum sinis ke arahku.
Aku menatap wajahnya dalam, ingin melihat seberapa besar perasaannya akan tersampaikan dari mimiknya.
"Woii. Ngapain liat-liat kayak gitu?" sahut Yuwa cemberut.
"Kamu cemburu."
"Ha?"
"Iya. Ternyata kamu memang begitu menyukai Reno. Tapi, Yu, kamu juga harus bersiap kalau Reno tidak membalas perasaanmu."
"Karena dia menyukaimu?" balas Yuwa sengit.
"Mungkin." Aku sengaja memancing emosinya.
"Kamu ... cih!" Yuwa berbalik dan meninggalkanku sendiri. Mungkin baginya aku adalah pengkhianat. Dengan sukarela dia membagi rahasianya padaku, tapi dengan kejam aku menusuknya dengan mengambil cintanya.
Aku tak menyukai Reno, Yu. Aku hanya ingin kamu lebih realistis. Reno tak pernah memandangku atau kamu sebagai wanita pujaannya, dia hanya menganggap kita sebagai teman dan adik kecilnya.
Aku menghela napas. Mencoba melepas sedikit beban yang kurasakan sepagi ini. Aku tak ingin semua kejadian ini merusak konsentrasiku pagi ini. Apalagi panggung kali ini sangat berarti untuk kami ke depannya. Aku tak ingin, kegagalanku mengontrol emosi berimbas pada kegagalan teman di timku.
Brak!!
"Auw!" Tiba-tiba kurasakan tubuhku melayang ke belakang. Dan kurasakan juga, tanganku tertarik ke depan dengan seketika. Namun, tanganku terlepas dari pegangannya. Aku memejamkan mata kembali mencoba meredam rasa panas dan sakit yang akan kurasakan bila benar tubuhku menyentuh lantai.
Tapi ....
"Hei!" sapanya di telingaku. "Open your eyes! You're save," bisiknya lembut. Membuat bulu kudukku meremang sempurna.
Pelan kubuka mata. Aku aman? Aku tidak jatuh? Aku melihat sekeliling. Dan, ya Tuhan, apa ini? Dia menahan tubuhku di lengan kekarnya. Posisi tubuhku yang sedikit miring dan tubuhnya di atasku, membuat kami terlihat seperti sedang berpelukan.
"Eh! Maaf, maaf." Aku segera berdiri dan mengangguk meminta maaf padanya.
"No. No. Bukan kamu. Aku yang seharusnya minta maaf." Dia tersenyum menatapku.
"Zeen!"
"Yes! I'm coming!" teriaknya lantas kembali menghadapku. "I'll go first. See you next time. Bye."
"Ah. Ya. Thank you. Bye." Aku pun melambaikan tangan padanya. Aku tak menyadari, berapa banyak lengkungan yang tercipta di bibirku? Berapa banyak pancaran cahaya dari mataku? Dan berapa banyak letupan debar di dadaku?
Siapa dia?
Zeen?