Malam semakin larut, sementara Lira masih berkutat dengan buku-bukunya, satu persatu soal matematika ia perhatikan dengan teliti, meski begitu, hanya beberapa soal yang bisa ia jawab, ia benci matematika. Lira lebih memilih menghafalkan beberapa lembar hafalan sejarah dibandingkan mengerjakan satu soal matematika.
Saat ini, ia tidak tau harus meminta bantuan siapa lagi untuk mengajarinya. Besok ada ulangan, dan dia menyesal karena tidak pernah serius belajar saat gurunya menerangkan rumus-rumus matematika di depan kelas.
Pilihan terakhirnya adalah meminta bantuan di grup angkatannya, malam ini ia sedikit menurunkan egonya demi mendapatkan nilai yang paling tidak di atas standar.
Angkatan 29 Smandel
Maaf temen-temen
Di sini ada yang punya rangkuman rumus matematika materi ketiga gak?
Lima menit menunggu tidak ada satupun balasan, Mungkin sudah banyak yang tertidur, atau bermain game, atau karena memang tidak ingin membalas pesannya, Lira menghembuskan nafasnya kasar, lebih baik dirinya tidur saja, toh tidak ada yang peduli.
Tiba-tiba suara ketukan dari pintu balkon kamarnya membuat Lira mengurungkan niatnya untuk tidur, rasa takut kini menjalari tubuhnya, siapa yang berani naik ke balkon kamarnya bahkan di tengah malam begini?, apa maling?.
Lira mengintip di balik jendela saat ketukan itu tak lagi terdengar, tapi ia tidak melihat adanya keberadaan sesorang di sana. saat ia membuka pintu, samar-samar ia melihat sosok yang memanjat dinding pembatas di bagian samping rumahnya, padahal dinding itu sangat tinggi, dan di bagian atasnya juga terdapat kaca beling yang sengaja di taruh untuk keamanan. Pasti orang itu terluka, Lira meringis membayangkannya.
Lira yang berniat masuk ke kamar, kembali mengurungkan niatnya saat menemukan sebuah buku bersampul merah yang tidak sengaja diinjaknya. Saat membuka lembaran buku tersebut, Lira membulatkan matanya senang, ia kegirangan karena buku tersebut berisi rangkuman materi matematika yang ia cari.
Dia siapa sih? Tanya Lira dalam benak.
Pagi ini Lira berangkat lebih awal karena ia kedapatan Piket. Senyum merekah di bibir tipisnya, moodnya sangat baik karena ia tidak perlu khawatir akan ulangannya sebentar. Saking senangnya, kakaknya menganggap dirinya gila saat mengantarnya ke sekolah tadi.
"Ngapain Lo senyum-senyum gitu, mirip orang kesambet lu" Ucap Windy yang baru tiba, ia menepuk keras bahu Lira yang sedang membersihkan papan tulis.
"Ih apaan sih, mau tau aja, sana-sana gue mau piket"
"Giliran ada gue, jadi sensian mulu' lo,"
"Tau sendiri lo nyebelin," Lira melanjutkan aktifitasnya, Windy mencak-mencak tidak jelas lalu duduk di bangkunya.
Selesai piket, Lira memainkan ponselnya tampak santai, berbeda dengan teman-temannya yang lain yang sibuk membuka buku catatan karena sebentar lagi akan ada ulangan, ia cukup yakin bisa mengerjakan soal-soal ulangan karena tadi sebelum berangkat ke sekolah ia menyempatkan diri membuka catatannya.
"Tumben lu santai kek gini, biasanya kalau ada ulangan lo yang paling histeris kaya cacing kepanasan," Lagi-lagi suara Windy menggema tepat di telinga Lira, Ia hanya mendelik tajam, lalu kembali memainkan ponselnya.
"Lo pasti punya contekan kan, ngaku lo!"
"Enak aja, kalau ngomong,"
"Awas aja lo kalau nyontek gak bagi-bagi, gue aduin"
Windy memang semenyebalkan itu, Lira jadi Heran mengapa ia bisa betah berteman dengan gadis itu selama nyaris tiga tahun terakhir.
Bel masuk berbunyi, Bu Risma selaku guru matematika peminanatan akhirnya datang juga. Kertas ulangan kini di bagikan ke seluruh siswa, Lira merapalkan doa melihat soal-soal yang untungnya sedikit mudah.
Setelah nyaris satu jam mengerjakan soal, Lira akhirnya dapat menyelesaikannya juga walau beberapa nomor ia masih terlihat ragu-ragu, meski begitu, ia tetap senang karena soalnya terasa sangat ringan di kepalanya. Lira mengumpulkan Kertas ulangannya paling pertama, satu kelas tampak melongo tidak percaya.
Karena Windy belum selesai ulangan, Lira memutuskan untuk menunggu gadis itu di kantin saja, dalam perjalanan Lira tidak sengaja melirik seseorang laki-laki yang tengah duduk sendirian di dalam uks yang pintunya sedikit terbuka. Lira merupakan anggota PMR, jadi wajar bila ia peduli dengan siapapun yang sedang sakit, namun ia baru ingat jika hari ini bukanlah jadwalnya.
Saat Lira ingin melangkah meninggalkan tempat itu, ia justru tidak sengaja menyenggol tempat sampah yang ada tepat di samping pintu UKS, Lira menunduk merasa salah tingkah karena ketahuan sedang mengintip seseorang.
"Lo siapa?"
Pertanyaan itu membuat Lira mati kutu, dengan gugup ia mengangkat kepalanya, dan terpaku saat melihat sosok yang kemarin sore dia temui di kedai ice cream. Jantung Lira bertalu-talu lebih cepat, ketika melihat netra Abu-abu yang ia tahu pemiliknya bernama Arash. Entah hanya perasaan Lira saja, Laki-laki di depannya menampakkan wajah sedikit terkejut.
"Emm, Ma-maaf, Sa-saya" Lira merutuki dirinya, mengapa sulit sekali rasanya untuk membuat alasan di saat gugup begini, itu salah satu kelemahan Lira dan ia benci itu.
"Kenapa?" Sorot mata tajam laki-laki itu semakin membuat lutut Lira melemas.
"Saya anggota PMR, Saya lupa, hari ini bukan jadwal saya Jaga UKS" hanya Itu satu-satunya ide yang ada dalam otak Lira, tapi di sisi lain ia merasa lega karena setidaknya ia tidak perlu khawatir jika di tuduh yang tidak-tidak oleh laki-laki di depannya.
Laki-laki yang berjarak sepuluh meter darinya itu hanya diam memandangnya datar, Lira risih bercampur takut, tatapan mata laki-laki itu entah mengapa terlihat sedikit, mengerikan.
"Saya balik ke kelas", Lira mulai melangkahkan kakinya.
"Tunggu," Lira menghentikan langkahnya, sejenak ia menutup matanya untuk menghilangkan rasa gugupnya lalu berbalik menatap laki-laki itu dengan pandangan bertanya.
"Sini," Laki-laki itu kembali berujar datar, Lira hanya mengerjab bingung.
"Sini, bentar,"
Lira perlahan melangkah mendekat, saat posisinya sudah tepat berada di hadapan laki-laki tadi, ia justru gugup karena tatapan laki-laki itu seolah mengulitinya.
"Maaf, a-ada apa yah?"
"Gakpapa," Laki-laki itu tersenyum lebar, Tapi itu justru membuat Lira merinding, karena senyuman itu lebih mirip seringai mengerikan.
"Arash, Panggil aku Arash" suara serak laki-laki itu terdengar bersamaan dengan tangan yang terulur ke depan.
Lira bahkan sudah tau namanya karena terlalu banyak di sebut orang-orang. Ia melihat tangan yang terulur di depannya, sebenarnya lira enggan untuk berkenalan lebih dengan laki-laki karena selalu ada kejadian buruk yang terjadi setelah ia berkenalan, tapi ia terpaksa membalas jabatan tangan Arash, karena laki-laki itu sendiri yang menarik tangannya.
"Saya Lir-"
"Udah tau" Lira memberi tatapan bingung kepada Arash, bagaimana dia bisa tau? Lira bahkan baru bertemu dengan Laki-laki ini kemarin sore.
"Nametag kamu"
Lira merasa bodoh, tapi kemudian menganggukkan kepalanya kikuk. Satu menit Hening, Ia baru tersadar bahwa tangan mereka masih berjabatan, saat ingin melepas, tangannya justru di genggam erat oleh Laki-laki itu.
"Awalnya aku gak tau siapa kamu, tapi hanya dengan pertama kali liat kamu, sepertinya aku tertarik,"
Perkataan itu mungkin terdengar biasa, tapi tidak dengan Lira, instingnya mengatakan bahwa laki-laki di hadapannya ini adalah sosok yang mengerikan dan harus ia jauhi.
Lira lantas menyentakkan tangan lelaki di depannya dan berlari sekuat tenaga menjauhi ruangan itu, perasaannya kalut, pertama kali ada yang lancang bersikap seperti itu kepadanya.