Setelah lima belas menit perjalanan, mobil Arash kini berhenti di depan bangunan mewah yang menjulang tinggi. Lira baru menyadari bahwa Arash membawanya ke apartemen laki-laki itu ketika ia ditarik kasar menuju satu ruangan di lantai lima belas.
Lira saat ini sebenarnya sangat takut, terlebih saat melihat desain apartemen Arash yang serba gelap dan terkesan sangat horor, namun ia mencoba mengendalikan dirinya karena ia tahu, jika ia berontak... maka Arash akan bertambah marah.
Saat Arash menariknya ke dalam kamar laki-laki itu, berbagai pemikiran negatif bermunculan, terlebih saat ia melihat ribuan note yang tertempel nyaris memenuhi dinding Kamar itu, Lira seperti tidak asing dengan semua kertas note ini, tapi ia mencoba untuk tidak peduli.
"Kamu tahu apa salah kamu?" Pertanyaan Arash membuat Lira bungkam, ia tidak tahu harus menjawab apa sekarang. Dimatanya... Arash begitu berlebihan, apalagi jika masalahnya hanya karena ia datang ke sekolah tanpa seizin laki-laki itu.
"Jawab aku Ailira!" Lira meringis kesakitan, saat Arash mencengkeram erat bahunya, ia dapat melihat nafas lelaki itu memburu menahan emosinya yang suka meledak-ledak. Tanpa sadar... Lira gemetaran.
"Ma-maaf Arash... Maafin aku... Ak-aku gak suka sendirian di rumah, ak-"
"Bukan hanya itu, sayang... Kamu membuat banyak kesalahan hari ini..." Arash tersenyum miring, terlihat menyeramkan dengan mata yang berkabut amarah.
"Kamu berangkat ke sekolah tanpa seizin ku... Kamu berniat menghindari ku dengan tidak keluar dari kelas. Iya kan?" Arash tertawa tanpa suara lalu mengusap wajah Lira yang menegang.
"Tapi kamu salah sayang... Aku tahu semuanya, bahkan saat kamu masih merencanakannya di otak kecilmu,"
Lira tidak tau harus apa sekarang, ia ketakutan, tubuhnya gemetar, namun ia tidak bisa bergerak untuk menghindar dari Arash yang kurang ajarnya mengusap wajahnya pelan.
"Arash...ak-"
"Dan... kamu sengaja memakai seragam kekecilan laknat ini... Mau menggoda laki-laki lain Hehh? Tidak cukup denganku kah?"
Lira menelan ludahnya kasar, matanya terasa sangat panas ingin menangis sekarang, ia sakit hati dan malu dengan ucapan Arash, laki-laki itu jelas mengatakan bahwa ia seperti perempuan murahan. Padahal ia memakai seragam tahun lalu ini terpaksa karena seragamnya yang baru lupa ia taruh dimana.
"Kamu tau... bagaimana marahnya aku saat tau kamu ga dengarin kata-kata aku Lira..."
Lira memandang Arash dengan tatapan Muak. Arash hanya mau dimengerti tanpa mau mengerti dirinya sedikit pun.
"Kamu yang gak pernah ngerti jadi Aku, Rash! Dari awal hubungan ini toxic , aku gak pernah ingin untuk menjalin hubungan sama kamu! Kamu tiba-tiba datang di kehidupan aku dan maksa aku untuk jadi pacar kamu! Kamu tau.... Aku gak pernah mau jadi pacar kamu! Kamu laki-laki gil-"
"CUKUP LIRA!!"
Lira terdiam, ia kehilangan keberaniannya ketika menatap mata tajam Arash, Entah dimana Lira mendapatkan keberanian berbicara seperti tadi, ia hanya muak dan ingin segera lepas dari kungkungan Arash. Namun saat melihat Wajah Arash di depannya yang mengeras, Alarm bahaya seolah berbunyi keras di kepalanya.
"Ar-!!"
Jawaban Lira terjawab saat Arash mengeluarkan pisau kecil dari saku celananya, Mata Lira membulat dengan tubuh bergetar takut, perlahan ia memundurkan tubuhnya dari wajah Arash yang kini tersenyum miring.
"Kamu perlu di hukum, sayang..."
Lira menggeleng cepat, ia tidak menyangka Arash akan Setega itu. Arash kini bukan hanya manusia misterius dimatanya, tapi juga psikopat. Tubuh Lira semakin gemetar ketakutan saat Arash membalikkan tubuhnya menghadap kedepan, dengan posisi membelakangi laki-laki itu. Sungguh Lira hanya bisa berdoa sekarang dengan Apa yang dialaminya, terlebih saat Arash menyingkap Bajunya di bagian belakang.
"Ar-rash kamu mau ap- ARGHHHH!!!" Lira berteriak kesakitan, Air matanya juga ikut turun dengan derasnya. Satu yang Lira tau.... Arash baru saja menyayat punggungnya dengan kasar dan dalam.
"Arash... Saki-it.. Akhhh"
Selama menyayat punggung Lira, Arash hanya tersenyum lebar tanpa mendengar rintihan kesakitan dan Isak tangis dari gadis itu. Baginya... Perbuatannya itu sangat menyenangkan yang juga dapat mengobati jiwa psikopatnya yang meronta.
Berbeda dengan Lira yang kesakitan serta Air mata yang membanjiri pipinya. Punggungnya terasa sangat sakit, kepalanya juga terasa sangat pusing. Dalam hati, ia tak henti-hentinya untuk menyumpah serapahi laki-laki itu. Sungguh, Lira sangat membenci Arash melebihi apapun.
Saat dirasa tak ada lagi pergerakan di punggungnya, Lira sedikit lega, namun ia kembali terkejut saat sesuatu yang lembut menyentuh punggungnya sekilas, Lira jelas tahu apa yang di lakukan laki-laki itu barusan, Arash baru saja mencium punggungnya.
"Aku sayang kamu..." Bisik Arash tepat di samping telinga Lira, hal itu membuat Lira merinding setengah mati, apalagi saat laki-laki itu kembali menciumnya tepat di pipi sebelum berdiri meninggalkan kamar.
Lira sangat sakit hati dengan perlakuan Arash, laki-laki itu sangat kasar dan arogan, ia bahkan tega melukainya fisik hanya karena masalah sepele. Bertahun-tahun ia hidup... Arash orang pertama yang memperlakukannya dengan sangat kasar.
"Sayang..." Lira mengalihkan pandangannya menghadap Arash yang berada di ambang pintu dengan kotak P3K dan baskom kecil berada di tangannya.
Arash tersenyum lebar, ia mendekati Lira yang terbaring menyamping lalu duduk di belakangnya. Dengan telaten, ia mengobati luka Lira dengan sangat hati-hati. ia merasa bersalah, namun rasa senangnya jauh lebih tinggi. Ia menatap hasil karyanya di punggung Lira dengan bangga dan wajah yang berseri-seri bertulis kan "Punya Arash". Laki-laki itu menyeringai puas, yahh... Lira memang miliknya, hanya miliknya.
Setelah membalut luka Lira dengan perban, Arash ikut membaringkan tubuhnya di sampingnya Lira, menelusupkan wajahnya diantara ceruk leher Lira, dan memeluknya ringan dari belakang, berusaha tidak menyakiti Lira.
Sementara Lira sedari tadi hanya diam membisu, ia bingung dengan Sikap Arash yang mudah sekali berubah-ubah dengan cepat. Tadinya seperti monster yang siap menerkamnya kapan saja, dan sekarang berubah menjadi laki-laki yang manis dan lugu.
Embusan nafas yang kasar terasa sangat menggelitik di lehernya, Arash sepertinya sudah tertidur. Lira menghembuskan nafasnya kasar, ia tidak bisa tidur karena badannya yang sakit, ia mau pulang saja, tapi Lira tidak tau bagaimana caranya.
Cukup lama dengan keadaan itu, Netranya tidak sengaja menangkap gantungan kunci yang tergeletak di nakas tepat di sampingnya, Gantungan berbentuk unicorn berwarna ungu yang sangat familiar di matanya, gantungan itu sama persis dengan....
"Sayang... Kamu belum tidur?" Suara serak Arash yang tiba-tiba, membuat Lira tersadar dari lamunannya.
"Ini... Mau tidur kok, Tadi aku cuma... Mimpi" ucap Lira memaksakan senyumnya, hal itu di balas senyuman manis dari Arash.
"Lain kali, kalau mimpi buruk bangunin Aku... Yuk tidur lagi!" Ucap Arash lalu kembali memeluk Lira.