Larisa menunggu dengan gusar kedatangan Arvan dan ketiga teman band-nya. Sudah lebih dari satu jam dia duduk di salah satu kursi café ditemani secangkir ice coffee yang hampir habis dia minum, namun sosok Arvan dan teman-temannya tak kunjung menampakan batang hidung.
Larisa sempat ingin menghubungi Arvan untuk menanyakan tentang keputusan pemuda itu namun urung karena mengingat perkataan Arvan tadi saat di sekolah. Dengan lantang Arvan mengatakan untuk yang kedua kalinya bahwa dia sudah tak lagi menganggap mereka sebagai teman, meski itu menyakitkan tapi mungkin memang ini yang terbaik untuk mereka berdua karena sekali lagi kedekatan mereka membuat orang lain salah paham.
Larisa terus menatap layar ponsel dengan raut sendu, berharap ada pesan atau telepon masuk dari Arvan, nyatanya tidak karena layar itu tetap berwarna hitam pertanda tak ada apa pun yang masuk ke ponselnya. Larisa menghela napas panjang karena berpikir Arvan mungkin menolak bantuannya ini.
