Jeritan ketiga orang itu membahana di kamar Rumah Gadang. Tangisan Marini dan Emawati saling bersahut-sahutan. Sementara Sutan Marajo hanya bisa terpaku menatap Datuak Paduko Rajo memuntahkan darah segar dari mulutnya.
"Ayah ...! Ayah kenapa?" Emawati segera memegang bahu pria tua itu, sementara Marini berusaha mengelap darah yang kini membasahi pakaian Datuak Paduko Rajo.
"Biar ... biarkan saja, Mar! Kalian ... tidak perlu cemas. Memang ... janjianku sudah datang. Tidak bisa kuelakkan maut yang menghampiri. Lihatlah! Itu ...." Datuak Paduko Rajo kembali terbalalak, jarinya mengarah ke langit-langit rumah. Ketiga anaknya menatap apa yang dia tunjuk. Kembali Emawati dan Marini menjerit. Sementara Sutan Marajo langsung mengucapkan istighfar berkali-kali.
Di plafon rumah, terlihat sesosok mahluk yang tidak begitu kentara. Seakan-akan tubuhnya dipenuhi asap, mengambang dengan jubah hitam yang menutupi seluruh badannya.
"Apa itu, Uni?" Sutan Marajo merapatkan tubuhnya ke Marini. Kakak tertuanya itu juga tidak kalah takutnya. Mereka berpelukan sambil menahan debaran di dada yang kian menghentak.
"Malaikat mautku sudah datang menjemput. Relakan aku pergi, wahai anak-anakku."
Di antara ketakutan yang membungkam sukma, suara Datuak Paduko Rajo mengalihkan perhatian ketiga buah hatinya.
"Tidak! Ayah tidak boleh berkata seperti itu. Aku ... aku akan usir setan itu." Emawati mengambil tongkat yang biasa digunakan Datuak Paduko Rajo menuntunnya berjalan. Dengan gagah dia mengacungkan tongkat kayu tersebut. "Hei, Setan laknat! Jangan kau berani-berani mengganggu ayahku. Aku akan membuatmu menyesal telah berani macam-macam dengan keluarga besar Datuak Paduko Rajo!"
Marini dan Sutan Marajo sesaat melongo melihat keberanian saudarinya tersebut. Namun, apa pun yang Emawati katakan, sosok itu kian melayang mendekati mereka. Membuat anak-anak Datuak Paduko Rajo mengkeret ketakutan.
Hawa kamar yang memang dingin semakin dingin. Membuat ketiga orang itu menggigil. Sementara Datuak Paduko Rajo tubuhnya diselimuti asap hitam seiring dengan semakin dekatnya sosok aneh tersebut.
Sutan Marajo tidak menduga sama sekali ketika melihat wajah makhluk itu. Sepasang mata merah darah, gigi taring begitu runcing, dan kulit wajahnya dipenuhi sisik mengerikan. Di tangannya memegang sebatang tongkat kepala tengkorak. Sama seperti Datuak Paduko Rajo, tubuhnya juga diselimuti kabut hitam, membuatnya seolah-olah berada di kerumunan api yang membakar.
"Datuak Paduko Rajo ...." Sosok itu mendesis, lidahnya ternyata bercabang bagaikan lidah ular.
Suaranya seolah-olah berasal dari kuburan. Dingin dan menggigit jiwa siapa saja yang mendengarnya. "Waktumu telah sampai. Perjanjian kita berakhir hari ini. Apakah kau sudah siap ikut denganku?" Makhluk itu menyeringai. Sementara Datuak Paduko Rajo semakin merasakan dadanya sesak. Untuk kesekian kalinya dia memuntahkan darah segar.
Melihat lelaki tua itu kembali menderita, Emawati merasakan darahnya menggelegak. Dia melompat dan menerjang makhluk mengerikan tersebut. Mulutnya melontarkan teriakan kemarahan yang mendirikan bulu kuduk.
"Dasar Iblis laknat! Apa yang kau lakukan ke ayahku?" Tangannya yang memegang tongkat, mengayunkan kayu panjang tersebut sekuat yang dia bisa. Namun, yang dia lawan bukanlah manusia. Sosok itu mengentakkan tongkat tengkorak miliknya ke lantai.
Bumi seakan dilanda gempa. Rumah Gadang bergetar hebat. Emawati merasakan tangannya lumpuh ketika tongkat yang dia ayunkan beradu dengan tongkat tengkorak. Dia menjerit kesakitan ketika syaraf-syaraf di tubuhnya terasa kesemutan.
"Jangan ikut campur, Anak Manusia!" Makhluk itu mendesis. Matanya yang merah kian merah. Lidah bercabangnya terjulur keluar semakin panjang. Lalu laksana pisau, lidah tersebut bergerak secepat tusukan pedang.
Sutan Marajo yang melihat Emawati dalam keadaan terancam, secepat kilat dia mendorong tubuh perempuan bertubuh kurus tersebut, membuatnya selamat dari tusukan lidah yang berubah menjadi pedang panjang. Sungguh mengerikan.
"Tolong ... jangan sakiti anak-anakku. Bawalah aku ... aku ... aku sudah pernah berjanji .... Maka aku akan tepati ...." Datuak Paduko Rajo melambaikan tangannya ke udara. Tampangnya kian mengenaskan karena belepotan darahnya sendiri.
Makhluk itu mendesis. Mata merahnya menatap Datuak Paduko Rajo tajam. Dia bergerak mendekat. Tangannya terjulur ke arah leher dada lelaki tua itu. Dalam hitungan detik, jemari-jemari runcing miliknya menghunjam, menembus tulang pelindung jantung Datuak Paduko Rajo.
KRAAAK!
Dada lelaki malang itu remuk seketika. Tanpa peduli dengan lolongan kesakitan yang keluar dari mulut Datuak Paduko Rajo, makhluk mengerikan itu mencabut jantung ayah Sutan Marajo tersebut.
Masih tanpa peduli dengan sekitarnya, dengan penuh nafsu, dia memasukkan jantung tersebut ke dalam mulutnya lalu terdengar bunyi kunyahan yang membuat perut siapa saja yang mendengarnya mual seketika.
Sutan Marajo, Emawati, dan Marini yang tadi ingin menolong ayahnya tertahan oleh suatu kekuatan yang tidak kasat mata. Seolah-olah ada dinding tinggi dan kuat yang membatasi mereka untuk mendekati Datuak Paduko Rajo. Mereka hanya bisa menjerit tanpa suara, karena tenggorokan mereka seakan-akan disumpal sesuatu, terasa penuh dan sesak.
Sementara itu, lelaki yang sangat berpengaruh di desa Galogandang tersebut tidak berkutik lagi. Dadanya berlubang besar dan mengeluarkan darah yang tidak henti-hentinya. Sedangkan sosok iblis pemakan jantung mendesis dan menjilati darah di tubuh malang Datuak Paduko Rajo. Seolah-olah tidak puas hanya dengan memakan jantungnya saja. Darah segar membuat makhluk dari alam gaib tersebut bersendawa keras.
Puas mempereteli jasad Datuak Paduko Rajo, dia kembali menghentakkan tongkatnya ke lantai. Rumah Gadang kembali bergetar. Asap hitam yang tadi mengerubungi tubuh makhluk itu, semakin tebal, bergulung-gulung di dalam kamar, menutupi pemandangan. Sesaat kemudian, asap tersebut perlahan-lahan menghilang.
Suasana terasa hening untuk sejenak. Sutan Marajo dan kakak-kakaknya merasakan sirap yang menyelimuti mereka lenyap. Mereka berteriak dan mendekati ranjang. Namun, kejut mereka bukan alang-kepalang ketika menyaksikan tubuh ayah mereka hanya tinggal jerangkong yang telah memutih dengan dada remuk mengerikan.
"AYAAAH ....!"
Mereka saling pandang. Keringat membasahi kening mereka karena rasa takut yang mengisi ruang hati. Sutan Marajo hendak mendekat, tapi langsung ditahan oleh Marini.
"Ini sudah di luar kuasa kita. Cepatlah engkau panggil Makdang, Makngah, dan Maketek. Kabari kalau sesuatu yang buruk sedang terjadi. Katakan juga Rumah Gadang sedang berkabung. Tapi ingat! Jangan sampai cerita tentang kematian ayah ini menyebar. Tidak ada yang boleh tahu kalau ayah sudah mati! Kamu paham, Sutan?" Perempuan paling tua di keluarga itu menatap Sutan Marajo dengan mata sembab. Lelaki itu menganggukkan kepala dengan cepat. Dia bergegas keluar dari kamar dan menuju pintu Rumah Gadang.
Begitu berada di Langkan Rumah Gadang, dia dibuat bergidik oleh penampakan langit. Bulan purnama yang seharusnya berwarna cerah merekah, kali ini seperti dihiasi warna darah. Merah dan suram. Lolongan anjing mendirikan bulu Roma, sementara angin berdesir melinukan tulang.
"Ya Tuhan, pertanda buruk apa ini? Akankah hidup kami akan baik-baik saja selepas kematian ayah?" Sutan Marajo merasakan beban yang tiba-tiba memberatkan hatinya. Dia masih belum bisa memahami apa yang sedang terjadi dengan ayahnya.
Sungguh, kematian Datuak Paduko Rajo tidak wajar sama sekali. Apakah ayah sudah terikat janji dengan setan? Sutan Marajo membatin sambil kakinya terus melangkah menuruni tangga Rumah Gadang.