Tidur malamku terasa sangat lama. Sesekali aku terbangun menengok jam dinding, ternyata masih tengah malam. Kedua kali aku terbangun, ternyata pukul 2 dini hari. Berulang kali membolak-balikkan bantal, tidurku tak juga pulas. Aku ingin segera menyambut pagi. Hari ini Mama Papa datang dari tanah suci.
Dengan dibantu Mak Cik, aku membersihkan rumah dan merapikan karpet. Mbak Nia memasak di dapur dan menyiapkan teh hangat, sedangkan Leo, terus saja menonton kartun tanpa mempedulikan kami yang sedang sibuk.
"Mik, kemarin yang anterin kamu, siapa namanya?" tanya Mbak Nia padaku.
"Oh, itu Doni, mbak. Kakak kelasku."
"Udah sering kesini? Kok Mbak Nia baru liat."
"Lumayan, non. Mak Cik pernah bikinin minum sebelumnya," sahut Mak Cik dari arah dapur.
Aku merasa gugup saat Mbak Nia bertanya tentang Mas Doni. Kenapa pula aku tak berani mengenalkannya pada keluargaku. Bukankah Mas Doni sudah pernah membawaku bertemu dengan Ibunya. Apakah sebaiknya setelah Mama Papa datang, aku mengundang Mas Doni kemari. Aku berpikir seharian, berdiskusi dengan penghuni otakku.
***
Kaki ku melenggang dengan rasa bahagia. Mama Papa membawa banyak sekali oleh-oleh untukku dan juga untuk Mbak Nia serta Leo. Yang paling ku sukai adalah jaket sweater ungu dengan motif khas ornamen Turki di bagian bawahnya. Hari itu aku memakainya, melapisi seragamku.
Merupakan kesempatan langka jika aku sekarang tengah berdiri dalam barisan yang rapat, dan memberi hormat pada bendera merah putih, bersama siswa lainnya. Teman-teman menilaiku terlalu tinggi, itu sebabnya aku selalu berada dalam barisan belakang.
Kami berbaris sesuai golongan kelas masing-masing. Sesaat ketika upacara bendera baru saja dimulai, Mas Doni menyerobot barisan dan berdiri di sebelahku. Tubuhnya yang lebih tinggi, menghalangi sinar matahari agar tak menyilaukan mataku.
"Ngapaiinn.. barisanmu di sebelah sana." Aku menunjuk ke deretan sebelah ujung barat tempat teman-teman Mas Doni berkumpul.
"Siapa yang mau ngelarang. Ha?" Jawabnya acuh.
Aku tersenyum. Sifat Mas Doni yang tak mudah diatur, muncul. Guru BK berjalan memeriksa barisan namun merasa enggan menegur Mas Doni.
Bagian bawah kemeja seragamnya berantakan. Ikat pinggangnya tak terlihat karena tertutup ujung seragamnya yang keluar. Aku menariknya, seraya berbisik, "Rapiin seragamnya!"
"Biar ajalah." Mas Doni menjawab singkat tanpa menoleh ke arahku. Tatapannya lurus ke depan. Sekali lagi aku melihat Guru BK hendak melewati barisan kami.
"Mas nanti ketauan. Rapiin!"
Mas Doni diam tak menjawab. Justru aku yang kebingungan karena jika Mas Doni ditegur oleh Guru BK, jelas dia akan kembali mendapat poin pelanggaran, yang tentunya sudah berderet di buku besar.
Jarak Guru BK kian dekat dengan kami. Sejenak beliau berhenti dengan jarak sekitar 5 meter dariku. Secepat kilat aku menggerakkan tanganku memasukkan ujung seragam Mas Doni ke dalam celananya. Mas Doni hanya melirik menahan kegelian karena sikapku.
"Kenapa jadi aku yang repot sih," gumamku.
"Ya kali aja kamu pingin pegang-pegang..." sahut Mas Doni berbisik namun tak dilanjutkan perkatannya karena Guru BK telah berdiri tepat di belakang kami.
***
SEPULANG SEKOLAH
"Mas, nanti ketemu Mama dulu ya," ajakku.
"Ha. Serius gak papa?"
"Aku gak enak sama kamu, lama-lama. Mbak Nia juga nanyain kemarin."
Kemudian kami menuju rumahku. Sebenarnya aku sedikit ragu, hendak memperkenalkan Mas Doni sebagai apa, sebagai siapa, karena aku takut jika Mama menolak Mas Doni.
"Ma..," panggilku pada Mama yang tengah menyiapkan makan siang di meja makan. "Ma, ada temen Mika di depan."
"Oiya. Siapa?" tanya Mama singkat.
"Mm.. anu, kakak kelas Mika, Ma."
"Ya udah tunggu bentar, Mama ke depan sebentar lagi."
Aku belum juga melepas seragamku. Ku temani Mas Doni yang sedang duduk di kursi tamu depan. Kami saling terdiam. Hingga mataku tertarik pada tas ransel Mas Doni, lalu kutarik tas nya dan kuletakkan di pangkuanku.
Aku melirik Mas Doni sebentar memberi tanda melalui tatapan mataku, apakah aku boleh membukanya. Dia mengangguk. Pandangannya teralihkan melihat deretan koleksi foto yang dibingkai oleh Mama di dinding ruang tamu.
Perlahan aku membuka resleting tas Mas Doni. Hanya ada beberapa buku tulis kumal dan terlipat di sisi sampulnya. Satu bolpoin dan satu buku materi Fisika tebal. Wow, isi tasnya hanya ini, batinku keheranan.
Rasa penasaranku berlanjut. Ku teruskan membuka bagian kantong luar dari tas tersebut. Terdapat beberapa carik kertas sobek, kartu timezone, headset, kunci (entah kunci apa), dan.. ku temukan 3 batang rokok disitu. Bau tembakau menyeruak keluar memenuhi hidungku.
"Mas.. ini punyamu?" Aku mengacungkan rokok itu dengan tangan kananku. Sebenarnya aku sudah menduganya karena hampir semua genk Roxette merokok di luar kegiatan sekolah. Aku pun pernah beberapa kali mendapati Boy merokok di jam istirahat saat di kantin.
Mas Doni terkejut saat aku menanyakan itu padanya. "Jangan dipegang! Udah sini kembalikan!" pinta Mas Doni.
Di saat yang bersamaan, Mama hadir tepat di depan kami. Bukan kesan pertama yang baik, Mama pasti marah. Hatiku gusar. Mama pun tak kalah terkejutnya melihat aku memegang batang rokok namun berusaha ditutupinya dengan menyapa Mas Doni terlebih dulu.
Mas Doni beranjak mengulurkan tangannya pada Mama dan memberi salam.
"Saya Doni, Ma. Kakak kelasnya Mika."
Mas Doni menyebut Mamaku dengan kata 'Mama'. Aku tidak memintanya dan aku sungguh tak menduganya. Ku lemparkan senyumku melihat Mama begitu welcome terhadap Mas Doni.
"Doni yang biasanya kesini kan?" tanya Mama.
"Iya Ma. Tapi Mika gak pernah bolehin masuk." Jawabnya dengan sedikit menahan malu.
"Yaa harusnya masuk aja gak papa. Pamitan dulu sama Mama, jangan main kucing-kucingan."
Mas Doni melirik ke arahku. Bisa ku tebak dalam hatinya seolah berkata, apa aku bilang..
"Oiya, Mama barusan lihat.. apa yang dipegang Mika itu tadi? Punyamu?" Mama mengarahkan pertanyaannya padaku. Nada bicara Mama amat membuat perasaanku tidak nyaman. Di hadapan Mas Doni, Mama berlaku seolah mengadili ku.
Aku menggeleng, "Bukan Ma."
"Ooh berarti itu milik... Doni. Iya? Doni merokok?" tanya Mama mencecar Mas Doni.
Mas Doni diam tak sanggup menjawab. Ditundukkan kepalanya, enggan menatap Mama.
"Itu urusannya Doni, ya. Kalo nakal, jangan ajak-ajak Mika!" seru Mama pada Mas Doni.
"Papanya Mika juga tidak merokok. Jadi jangan sampe kamu merokok di hadapan Mika. Bisa dimengerti ya?"
Mama menambahkan banyak nasehat untuk Mas Doni di pertemuan pertama mereka. Mama tidak melarang jika aku lebih dari sekedar teman dengan Mas Doni, asalkan kami tetap rajin belajar. Apalagi Mas Doni sebentar lagi mempersiapkan ujian akhir kelulusannya.
***
"Mas maaf ya. Mama ku galak."
"Enggak ah, biasa aja. Malah aku seneng bisa ngobrol banyak. Cuman aku belum ketemu sama Papamu, sayang."
"Aku gak yakin respon Papa akan sama dengan Mama. Papa itu protektif ke anak-anaknya."
"We'll see," ucap Mas Doni seraya mengenakan helm full face nya.
***