Chapter 3 - 1.3

SELEPAS pertemuanku dengan Nayyara, aku berpikir kalau tidak baik pulang ke kos lalu menyendiri. Aku pun memutuskan untuk mampir ke kosan teman sejurusanku. Lagi pula kosnya juga tidak terlalu jauh dari kosku. Aku pun pergi berjalan ke arah jalan pulang sembari menikmati dinginnya malam minggu yang kurang mengenakkan hati ini.

Temanku ini bernama Radib. Ia dikenal sebagai orang yang sombong, dan tampaknya hanya aku yang cukup kuat untuk bertahan menjadi temannya. Aku bisa bertahan berteman dengannya bukanlah tanpa sebab. Mungkin bagi kebanyakan orang, orang seperti Radib adalah tipe seseorang yang tidak pantas untuk dijadikan teman. Kenapa aku berkata seperti itu? Bayangkan saja, ia bisa dengan mudahnya merendahkan ponsel milik seseorang walaupun baru berkenalan dengan orang tersebut dalam waktu beberapa menit. Walau begitu, sebenarnya itu adalah caranya untuk mencoba sok asyik, namun itu tidak bisa dilakukan ke semua orang.

Selain sombong, ia juga dikenal banyak drama. Misalnya, ia pernah berkata kepadaku kalau ia ingin meminjam uang dua ratus ribu rupiah. Mungkin ia lagi butuh uang, pikirku. Aku pun memberikan uang itu kepadanya. Setelah memberikan uang sesuai dengan nominal yang ia minta, ia pun langsung mengembalikan uang yang kuberikan tadi. Aku pun kebingungan, maksudnya apa? Dengan mudahnya ia berkata, "Aku punya banyak uang. Aku hanya coba mengetes dirimu. Apakah kau mau menolong atau tidak." Aku menerima kembali uangku, memasukkannya ke dalam saku celana, dan memberinya senyum penuh tanda tanya.

Sesampainya di kos Radib, seperti biasa, ia akan dengan senang hati menyambutku. Ia membukakan pintu untukku, mempersilahkan masuk, dan pergi ke warung sebentar untuk membeli beberapa cemilan, dua botol minuman bersoda, serta sebungkus rokok.

Sepulangnya dari warung, ia meletakkan barang beliannya di hadapanku lalu kemudian ia duduk.

"Ayolah, Dharma. Ambil saja langsung. Tidak usah malu-malu."

Aku pun mengambil sebotol minuman bersoda dan membuka sebungkus rokok yang telah dibelikannya.

"Ngomong-ngomong, kau dari mana?" tanya Radib.

"Jadi gini, Dib. Aduh, ceritanya panjang. Aku bakar rokok dulu ya," ucapku kepada Radib dan kemudian menyalakan rokok.

"Masih ingat Nayyara tidak?"

"Ooo, yang katamu kau tergila-gila itu?"

"Terserah deh mau bilang gila atau apa. Yang terpenting, kau mengenalnya," ucapku sembari menarik nafas panjang. "Jadi, tadi aku jumpa dengan Nayyara."

"Jumpa? Ia sedang di Aloga?"

"Iya. Ia sedang berada di Aloga. Bahkan sudah bertahun-tahun."

"Maksudmu?"

"Ya, ia sudah bertahun-tahun ada di kota ini. Ia kuliah di sini, Dib."

"Astaga, Dharma. Bodohnya dirimu. Masa sudah dua tahun kau berada di sini, dan baru ini kau tau kalau ia kuliah di sini juga!"

"Nah. Itulah yang membuatku terkejut, Dib. Aku sudah susah payah mencari keberadaannya, dan ternyata kami kuliah di kota yang sama."

"Wah, sepertinya kau memang kurang pergaulan ya."

"Bukan begitu. Memang teman-teman SMA-ku pun tidak ada yang tahu keberadaannya."

"Hmm. Jangan cari alasan."

"Aku kan sudah pernah cerita kalau habis UN ia menghilang."

"Hmm, iya-iya. Aku akan coba percaya," jawab Radib. "Lalu, sewaktu kalian berjumpa, apa saja yang terjadi? Apakah kau sempat memberi sebuah pelukan? Atau hanya sekedar basa-basi tak ada hasil?"

"Lebih ke basa-basi tak ada hasil sih."

"Tanpa rayuan? Tanpa pelukan? Wah, kau benar-benar belum pantas untuk menyaingiku, Dharma."

"Yang ingin menyaingimu siapa sih?"

"Ya mana tahu kau merasa sudah sejajar denganku. Sekali lagi aku tegaskan, kau itu masih jauh di bawahku!"

"Iya, Dib, iya. Masih mau dengar ceritaku tidak?"

"Baiklah. Lanjutkan."

"Jadi, ketika kami berjumpa, suasananya sangat kaku. Aku sudah mencoba untuk mencairkan suasana, tapi selalu gagal."

"Tampaknya ada yang salah dari tampangmu. Sudah kubilang, kan? Wanita itu sukanya pria sepertiku! Wangi, menarik, dan yang terpenting itu adalah kaya."

"Hmm. Iya. Terserahlah, Dib."

"Kau kan tahu aku gimana," ucapnya dengan tawa yang menyebalkan.

"Iya. Aku sangat tahu. Ya sudah, tolong fokus ke ceritaku dulu," ucapku.

"Baik," jawabnya sambil cengar-cengir.

"Kalau dari yang kulihat, sepertinya ia tidak senang kalau aku mengetahui keberadaannya."

"Kenapa?"

"Ia cerita kalau ia sudah dianggap kacang lupa kulit oleh teman-teman SMA kami."

"Hmm. Kalau aku jadi teman-temanmu, mungkin aku juga akan seperti itu."

"Tapi, Dib, ini semua hanyalah kesalah pahaman belaka. Ia sama sekali tidak ada niatan untuk menghilang. Ia hanya fokus belajar untuk SBMPTN, sehingga menjauhkan dirinya dari ponsel."

"Kau terlalu membelanya. Mungkin karena kau menyukainya. Coba kalau kau tidak memiliki rasa kepadanya. Mungkin responsmu pun akan berbeda."

Aku terdiam sejenak.

"Kok diam?" tanyanya.

"Aku sedang memikirkan perkataanmu."

"Tidak mungkin salah. Ayolah. Jangan pernah ragukan aku!"

Aku pun kembali terdiam dan merenung tanpa menghiraukan perkataan Radib.